6. Belanja Kebutuhan PDD
.
.
Hari Minggu adalah hari yang disukai oleh para pelajar hampir di seluruh belahan dunia. Sebab, mereka dapat menghabiskan waktu dengan bebas. Hal ini pula yang dirasakan oleh Gyani. Tapi, dibandingkan berolahraga di taman kampus yang tidak jauh dari kosan atau bersantai bersama teman-teman, perempuan itu memilih untuk tertidur hingga pukul 9. Ia mengabaikan seluruh notifikasi grup, hingga telepon yang masuk.
Bodo amat dah!
"Gi ... ada yang nyariin, tuh. Dah ditungguin di ruang tamu!" teriak Mbak Dewi dari lantai satu. Emang nggak pernah nyantai perempuan berambut pendek itu. Dia tidak akan berhenti sampai orang yang ia panggil keluar dari kamar dan membalas teriakannya.
Mau tak mau, Gyani pun bangkit dari tempat tidur sambil sesekali menguap.
"Siapa, Mbak?" Gyani membalas dengan berteriak.
"Turun aja udah!"
Gyani pun mendengkus, lalu meraih ponsel yang diletakkan tepat di samping bantal. Dilihatnya notifikasi panggilan tak terjawab dari Gani, kakak kembarnya yang berlawanan jenis kelamin dengan perbedaan usia 5 menit.
Gani kuliah di Universitas di kota sebelah dan tinggal bersama orang tua, berbeda dengan Gyani.
Laki-laki itu memang terkadang datang ke kosan Gyani untuk menengok dan membawakan makanan ringan. Tentu saja, selalu pagi menjelang siang seperti sekarang ini. Karena Gani adalah tamu, dia tak diperbolehkan untuk melengos ke kamar sang adik dan menunggu hingga Gyani sendiri yang mengajak kakaknya ke kamar.
Mengenai cowok yang tidak boleh masuk ke kosan Gyani seperti yang ia sebutkan pada Marvin, itu hanya bualan semata. Soalnya, kosan ini adalah kosan campuran.
"Ganiiiii," ujar Gyani heboh ketika melihat kakaknya itu sedang duduk membelakangi tangga tempatnya berpijak. Perempuan itu dengan santai memeluk leher sang kakak dari belakang.
Karena tak mendapat respons dan aroma tubuh yang menguar rasanya berbeda dari Gani, Gyani pun mengerutkan kening. Ditatapnya pemuda itu dari balik bahu dan betapa terkejutnya Gyani bahwa yang ia peluk sekarang bukanlah kakaknya.
Salah siapa kalo dari belakang mereka berdua mirip? Bahkan potongan rambutnya pun sama! Huh, nyebelin banget.
Gyani pun mundur beberapa langkah seraya tersenyum canggung. Laki-laki yang sudah berdiri menghadap Gyani juga tak kalah kikuknya.
"Ma-maaf ya, Kak Marvin." Sang puan nampak menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali.
Tengsin abis!
"Ehmm itu ... apa namanya ... eh, gue pengen ngajak lo buat beli bahan PDD. Bareng Cici juga, kok," acap Marvin, wajahnya memerah bak kepiting rebus ala-ala.
"Oh itu ... tapi gue belom siap-siap. Gak papa lo nunggu, Kak?"
"Iya, gak papa. Sorry ya gue datengnya dadakan. Soalnya gue udah janji mau anterin Cici, cuma gue gak bisa kayaknya kalo berdua doang. Banyak barang yang harus dicari dan lumayan gede. Sayangnya, gak ada yang bisa pergi lagi," jelas sang adam dengan cepat.
Gyani berasa ngomong sama rapper.
"Sorry ya, Ni."
Huft, lagi-lagi dipanggil Ani, batin Gyani.
"Gue siap-siap ya, Kak. Maaf kalo bakalan nunggu lama."
"Ah, it's okey."
"Gue ke kamar dulu ya."
Tanpa menunggu persetujuan Marvin, Gyani pun berlari ringan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia mengambil handuk yang dijemur di luar, lalu masuk ke kamar mandi.
Sebelum ia membasuh tubuh, Gyani melihat wajah di cermin. Sekali lagi, perempuan itu merutuki dirinya sekali lagi.
Sambil mengamati dan membelai mukanya lembut, Gyani berujar pelan, "Gi, lo tau kalo lo tuh suka malu-maluin. Tapi, gak ketemu Kak Marvin dengan muka ileran, trus maen meluk-meluk gitu aja, dong. Lo parah, sih, Gi!"
Gyani mengacak rambutnya tak karuan. Benar-benar seperti orang frustasi, ketika bayangan memeluk Marvin berlari-lari bak adegan romantis dalam sinema Bollywood bermunculan di pikirannya.
"Nih lama-lama gak bakalan kelar kalo gue gini mulu. Arrgggghhh ... Dah ah, mau mandi!"
.
.
.
.
"Kita jemput Cici dulu ya," ujar Marvin tanpa memandang Gyani yang duduk tepat di samping.
Oh ya, hari ini, Pak Kadiv Terhormat nggak bawa motor seperti biasanya, tetapi mobil. Katanya, belanjaan Cici untuk Divisi PDD bakalan banyak dan nggak mungkin muat di motor. Jadi, si cowok berjaket kulit hitam ini langsung aja bawa mobil ayahnya. Toh, ini hari libur. Ayahnya juga tidak ke mana-mana, katanya.
Tak...
Cici pun masuk ke dalam mobil dan duduk di tengah setelah Marvin dan Gyani menunggu sekitar 5 menit di parkiran kontrakan.
"Maaf ya, Kak, nunggu lama."
Gyani yang mendengar itu pun menoleh ke belakang dengan memperlihatkan senyum manis. "Eh, gak kok."
"Iya, orang kita baru nyampe." Marvin mendukung Gyani.
Cici pun mengangguk pelan, lalu terlihat menggulir layar ponsel dengan begitu cekatan. Rencananya, mereka bertiga akan mengunjungi salah satu peritel perabot rumah tangga terbesar di kota. Cici yakin bahwa mereka akan menemukan banyak barang yang dibutuhkan PDD di sana, kecuali bambu-bambu yang akan digunakan sebagai penyangga.
"Jadi gimana, Ci?" tanya Marvin.
Lawan bicara sang adam lalu menurunkan ponsel di paha sambil berkata, "Apanya, Kak?"
"Waktu itu lo sempat ngobrol sama Rian tentang rencana Divisi PDD, 'kan? Nah, hasilnya gimana?"
"Oh ituuu," Cici terdiam sebentar dengan membuang tatapan ke jendela, "gue sama Kak Rian bahkan udah masuk ke grup mereka, Kak. Udah ngobrol segala macem, tapi tetap gak ada kesepakatan. Mereka tetap pengen pake konsep kemaren."
"Emang gak bisa diakalin gitu, Ci? Ya supaya lebih kuat aja kalo dipasang nanti."
"Hmmm ... mungkin bisa, sih, Kak. Cuma gue gak yakin aja. Dari pada coba-coba, mending dijadiin banner aja gak, sih? Jadinya bisa dicetak banyak, trus bisa dipasang di mana aja. Kalo pun mereka memang pengen buat lukisan di triplek itu, setidaknya mereka harus masang di dalam ruangan biar gak roboh pas kena angin kenceng. Tapi venue pasti gak bakalan muat."
Seraya fokus pada jalanan, Marvin terlihat mengangguk samar. "Iya juga. Gue pribadi lebih suka sama ide kalian berdua."
Cici pun mengangguk setuju. Sedangkan Gyani lebih memilih tetap merekatkan mulutnya.
"Oh iya, jadi sekalian beli bambu hari ini?" tanya Marvin lagi.
"Tinggal mesen aja, sih, Kak. Di ujung dekat Pasar kan ada. Nanti mereka bakalan anterin langsung ke Sekre."
"Oke deh, hari ini gue ngikut aja lo mau ke mana ya."
"Sip sip, Kak."
Sepanjang perjalanan, Gyani masih betah berdiam diri, kadang sesekali tertawa jika Cici ataupun Marvin mengeluarkan kalimat-kalimat jenaka. Jujur saja, ia nggak mampu untuk mengikuti alur pembicaraan kedua panitia tersebut. Pasalnya, Gyani masih kepikiran dengan situasi canggung tadi, saat ia memeluk Marvin tanpa merasa bersalah sedikit pun. Perempuan itu juga menduga bahwa Marvin menutupi perasaan anehnya dengan berbicara banyak kepada Cici.
Wajar jika Gyani berpikiran seperti itu. Sebab, dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar 15 menit tersebut, tak satu kalipun Marvin berbicara pada Gyani. Begitu juga sebaliknya. Jangankan untuk berbicara, menoleh pada gadis itu juga tidak sama sekali Marvin lakukan.
Gyani bagai kambing congek!
Semakin lama, Gyani juga makin bete. Sebab, ia merasa sendirian di mobil itu. Seolah-olah ia hanya nyamuk yang mengganggu Marvin dan Cici.
"Kak Gi, lo sakit ya?" tanya Cici sambil menepuk-nepuk ringan bahu Gyani. Yang ditepuk hanya ber-hah hah saja dengan tampang cengo'. "Iya, lo sakit?"
"Eh, gak kok."
"Tapi kok diem mulu?"
"Ah ... itu ... ehm kepikiran aja soal pembahasan gate kemarin," dusta Gyani, membuang wajah yang merah merona ke luar jendela.
"Oh iya, sih...."
Dan perjalanan pun tetap dilanjutkan dengan pembahasan soal kebijakan, peraturan, dan konsep tiap divisi NFD yang aneh. Dan sekali lagi, Gyani hanya mengangguk, senyum, ataupun ikut tertawa mendengar lontaran kalimat dari mulut Marvin dan Cici.
Ah, Gyani masih tidak dapat menghilangkan perasaan canggung yang menutupi seluruh hatinya. Andai saja ia punya kemampuan teleportasi, Gyani pengen pulang ke rumah saja, melanjutkan untuk berguling di kasur tanpa gangguan.
Huft....
.
.
.
.
Setibanya di tempat tujuan, Cici bergegas masuk ke dalam dengan senyum mengembang. Ia mengambil lengan Gyani dan memeluknya, meninggalkan Marvin di belakang yang sesekali sibuk dengan ponselnya.
Bukannya mengambil barang-barangyang dibutuhkan, Cici dan Gyani malah sibuk liatin furnitur dan alat rumah tangga lainnya. Cici bahkan sudah berandai-andai memiliki perabotan yang bernilai di atas 7 juta yang digunakan untuk menyimpan berbagai riasan di dalam kamarnya kelak. Mendengar pernyataan Cici, Gyani hanya mengaminkan saja.
Tak dipungkiri, Gyani juga pengen.
Tapi jika dipikir lagi, perempuan itu paling malas dandan, jadi sepertinya dia tidak terlalu perlu juga.
"Jadi, mau beli apa aja, Ci?" Suara khas nan berat di belakang sana menghapuskan imajinasi Cici dan Gyani akan rumah impian.
"Cari kuas, yuk, Kak."
Cici kemudian melangkah, kali ini meninggalkan Gyani juga. Alhasil, Marvin dan Gyani berjalan berdampingan dengan masih terdiam mengikuti langkah ringan Cici.
Jika diperhatikan lagi, junior di depan sana terlihat sangat ceria, bahkan berkali-kali jalan tanpa memandang kanan-kiri. Takutnya dia nyenggol barang pecah belah yang harganya seperti UKT Gyani setahun, kan berabe!
Untuk mengakali itu dan terhindar dari kecanggungan dengan Marvin, Gyani sesekali menyuruh Cici untuk jalan hati-hati. Anaknya kadang nurut, kadang juga lupa dan kembali berlari kecil yang membuat Gyani mengembuskan napas panjang.
"Ambil ini aja," anjur Marvin sambil menyerahkan kuas putih paling besar pada Cici setibanya di tempat alat-alat lukis.
"Buset, itu gede banget, Kak. Emang kuli bangunan!"
"Emang yang pake ini cuma kuli bangunan?"
"Gak juga, sih. Tapi jangan gede banget."
Cici nampak memilih-milih kuas berwarna hitam yang lebih halus dan lembut dari kuas putih yang kaku itu. "Yang lo pilih untuk kanvas," ujar Marvin.
"Sama aja, Kak. Yaudah, gue ambil hitam dan putih aja. Tolong ambilin dong, Kak, yang di atas itu. Soalnya gue gak nyampe," suruh Cici dengan sedikit berjinjit, mencoba meraih kuas putih yang tidak terlalu besar yang diletakkan dua jengkal di atas kepala sang gadis.
Dalam sekali gerakan, Marvin berhasil mengambil sepuluh kuas dan menyerahkannya pada Cici.
Gadis muda itu lalu menyerahkan kuas-kuas yang berjumlah dua puluh dengan beragam ukuran pada Gyani yang sedang mendorong trolley. Sebuah trolley yang baru ia temukan, tergeletak begitu saja di sampingnya.
Halah, kosong ini. Paling juga nggak ada yang punya, batin Gyani.
Setelah mencari kuas, mereka kembali melangkahkan kaki untuk mengambil cat air dengan beragam warna yang tidak terlalu jauh dari tempat kuas. Gyani awalnya nggak kepikiran kalau mereka bisa menemukan cat air di sini. Tapi karena barangnya sudah ada di depan mata, puan itu hanya mampu tersenyum tipis.
"Oh iya, gue mau ke toilet bentaran ya," izin Marvin pada Gyani dan Cici, yang membuat keduanya membalas dengan anggukan ringan.
Semenit sepeninggal Marvin, Cici yang tampak mengamati cat air lainnya di bagian Lukisan pun berkata dengan senyum tipisnya, "Gue kaget lo ikutan, Kak. Soalnya gue udah bilang ke Kak Marvin kalo Wita bisa ikut kok. Makanya gue pikir yang duduk di depan tadi si Wita. Tapi siapapun itu, gue seneng, sih. Jadi gak berdua doang, deh."
Gyani yang sedari tadi mengamati beragam warna kemudian mendengkus. "Gue juga gak tau kalo gue diajak. Soalnya gue gak tau apapun, gak megang hp juga. Trus tadi pagi tiba-tiba dia datang ke kosan, bilang kalo gak ada yang bisa nemenin lo, selain gue."
Cici tiba-tiba nyengir lebar. "Serius Kak Marvin ngomong kayak gitu?"
"Iya."
"Padahal ya, Kak, anak-anak yang lain pada bisa kok. Mereka juga gak ada kegiatan yang penting-penting amat."
Gyani seketika membulatkan mata, sedikit sangsi pada ucapan Cici dengan mengatakan, "Tau dari mana?"
Mendengar pertanyaan itu, Cici mengibaskan rambut yang tergerai ke belakang bak model shampoo. "Kan gue follow ig dan ngeliatin instastory sama story wa mereka semua. Hari ini pada santai aja, tuh. Kak Kirana dan Kak Januar lagi olahraga bareng di taman kampus. Kak Hisyam maen game. Kak Jawad masih di tempat tidur, kayaknya bakalan lanjut molor. Cakra dan Juan malah ngajak gue sama Wita nonton, soalnya kata mereka hari ini mereka kosong banget. Kak Rian--" Cici berpikie sebentar, "malah agendanya cuma nyuci motor."
Gyani dan Cici seketika terkekeh pelan.
"Lo udah lama kenal Kak Marvin, Kak?"
Gyani menunjuk ke dadanya. "Gue?" gadis itu menggeleng pelan, "gak, baru kenal di NFD doang."
"Tapi kayaknya kalian akrab banget. Maksud gue, cara natap Kak Marvin ke lo beda banget. Trus lo sering berduaan."
Sang gadis tersenyum miring. "Alah, masa sih?"
"Abisnya di mana ada Kak Marvin, pasti ada Kak Gyani. Berasa ada pawangnya lo, Kak."
"Emang ... gitu ya?"
Cici berdeham, lalu menoleh kembali pada Gyani. "Gue, Wita, Cakra, sama Juan kadang berpikir kalo kalian sebenarnya pacaran. Kayak Kak Kirana dan Kak Januar gitu lho...."
Gyani membelalak, lalu sedetik kemudian mencolek bahu Cici. "Dih, ketahuan lo ya ngomongin gue di belakang."
"Ups, ketahuan deh," ujar Cici sok kaget dan menutup mulutnya dengan kedua tangan yang membuat keduanya kembali berbagi senyum. "Tapi yang baik-baik kok, Kak. Bukan yang jeleknya. Percaya sama Cici Toko Emas ini."
"Halah ... gak gak gak. Gue gak percaya."
"Lagian, mikir coba, Kak. Kalo Kak Marvin gak ada apa gitu sama lo, kenapa hari ini minta lo jalan bareng dia? Padahal gue udah wa dia kalo Wita bisa pergi, jadi kita berangkat bertiga. Tau gak, Kak? Padahal Wa gue di read, lhoooo. Yakali Kak Marvin gak tau." Cici berujar dramatis, hingga menganugrahkan piala pemeran wanita terlebay pun mungkin sangat cocok untuknya.
Cici memang seperti ini. Dia anak yang ceria, lucu, dan menyenangkan. Aktif juga di dunia maya, sehingga teman-temannya sangat banyak. Untuk ukuran mahasiswa yang bukan influencer, memiliki followers instagram hingga 15 ribu lebih rasanya luar biasa.
Gyani pernah bertanya apakah Cici adalah model, konten kreator, atau semacamnya. Dan Cici menjawab tidak. Ia hanya membagikan kesehariannya dan kebetulan banyak yang menyukai postingan gadis itu. Selain menyukai gambar-gambar unggahan, Gyani yakin jika Cici salah satu orang yang punya banyak penggemar, tentu saja mengingat Cici sangat cantik dengan mata besar, hidung mancung, dan kulit sehat dambaan seluruh wanita.
"Trus ya Kak, kalo dia muncul di grup Logstran tuh kadang Kak Marvin nyariin lo duluan. Lo gak ngeh, Kak?"
Hah? Emang iya?
Cici menggeleng pelan setelah mengamati raut kebingungan Gyani. "Pasti gak ngeh, kan? Nerbener dah...."
"Ih, apaan sih, Ci. Buruan gih milih-milih warnanya!" Gyani terlihat salah tingkah.
"Ihhhh mukanya merah," goda Cici yang membuat Gyani menyerongkan tubuh dan mengulum senyum, memincingkan mata ke arah Cici. Yang ditatap cuma nyengir kuda, merasa tak bersalah.
Emang semua itu benar ya?
Ah, Cici bikin overthinking!
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top