4. Makan Bareng



.
.

"Kita mulai aja ya," ucap Brian, "Selamat Sore teman-teman panitia. Terima kasih atas kehadirannya di pertemuan kita kali ini. Aku harap semuanya dalam keadaan baik-baik saja."

Gyani tampak membuka tas, lalu merogoh catatan kecil berwarna hitam dengan gambar bunga-bunga di bagian sudut. Sebenarnya, Gyani sendiri kebingungan. Sebab seharusnya ini menjadi tugas Kirana yang merupakan seorang sekertaris. Lalu, kenapa sekarang jadi Gyani?

Jika boleh jujur, Gyani sekarang ingin menghilang saja. Menahan malu adalah salah satu kelemahannya. Bisa-bisa sampai di kosan ia meraung-raung, mengalahkan suara ibu kos saat musim tagih uang bulanan tiba.

"Hari ini aku sebenarnya pengen berembuk dengan teman-teman terkait rencana Techmeet (Technical Meeting) untuk para atlet tiap Fakultas dan kapan kita bisa membahas pertemuan selanjutnya untuk membicarakan opening NFD. Sebenarnya lebih bagus lagi kalo kita juga membahas sekalian closing, tapi yang kita utamakan dulu lebih tepatnya opening ya. Kita urutin dulu deh, untuk pertemuan seluruh panitia bahas Opening bisanya kapan? Ada saran mungkin?"

Davina yang merupakan panitia Divisi Konsumsi mengangkat tangan. "Hari Sabtu ini bisa kayaknya, Kak."

"Oh boleh juga, tuh. Mumpung pada libur juga kan," seloroh Brian.

Laki-laki berambut pirang di depan Gyani menyela, "Menurut aku bagusnya besok, hari Rabu. Ya ngapain harus nunggu lama-lama, kan semakin cepat semakin baik."

Davina masih kukuh dengan hari Sabtu, sedangkan pemuda yang bernama Alif itu lebih memilih Rabu. Jujur, Gyani tidak sreg saja jika harus di dua hari itu. Sebab, Rabu kemungkinan besar ia akan mengerjakan dua laporan yang harus dikumpulkan pada hari Kamis. Sedangkan Sabtu? Ah, dia juga ingin tidur nyenyak dengan durasi lama sebelum acara NFD dimulai. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya nanti, ketika lagi sibuk-sibuknya dan waktu perempuan itu tersita banyak, lalu dia kekurangan tidur yang membuat kantung mata menjadi besar dan menghitam.

Hihhhh! Bayanginnya aja udah serem...

Memang kekurangan jam tidur sudah menjadi resiko jika terpilih menjadi panitia, dan Gyani paham akan hal ini. Tapi, ada baiknya menyiapkan diri sebelum berperang nantinya, kan?

"Ani, lo gak mau ngangkat tangan?" tanya Marvin pada Gyani dengan pelan.

Mendengar itu, Gyani seketika mengerutkan kening. "Ani, Ani, nama gue Gyani!" ujarnya tak terima.

Marvin mengedikkan bahu. "Ya kan sama aja, Gyani ada unsur Ani-nya juga."

Sang gadis menyikut lengan Marvin. "Jangan asal ngasih nama panggilan dong, Kak. Ani, Ani ... emang situ Rhoma?"

"Lo mau gue jadi Rhoma-nya?" Marvin tersenyum jail.

Gyani memandang Marvin dengan ekspresi datar. Sedatar hidupnya. "Dasar anak aneh lo, Kak."

Sayangnya, Marvin tidak menjawab apapun dan kembali memandang Brian yang tampak kebingungan di depan sana.

"Ah, Kak," Gyani mengangkat tangan yang membuat Marvin menatapnya dengan kedua alis yang terangkat. "Maaf, kalo menurut aku, bagaimana kalo rapatnya Jumat aja. Pertimbangannya gini, hari Sabtu kan kita libur, jadi pasti banyak yang balik ke rumah masing-masing. Otomatis pertemuan kayaknya bakalan gak bisa full team. Nah, kalo Jumat sore, mereka jadi bisa langsung pulang ke rumah setelah pertemuan. Bagaimana?"

Seluruh panitia saling menatap satu sama lain. Gyani bisa melihat beberapa orang mengangguk, lalu mereka kembali menjatuhkan tatapan pada kertas dan karpet.

"Boleh juga, tuh. Yang lain setuju?" tanya Brian pada para panitia dan semuanya mengangguk kompak. "Okey, jadinya Jumat ya."

Ketua Panitia tersebut lantas kembali menatap panitia setelah Naura, sang sekertaris telah mencatat jadwal pertemuan selanjutnya.

"Sekarang aku pengen nanya tiap kadiv, kalian udah tau apa aja yang dibutuhin? Konsep dan segala macamnya?"

Sebagian besar Kadiv mengangguk, tapi tidak dengan Divisi Acara. Nampaknya mereka masih kebingungan dengan konsep mereka sendiri.

Dari kabar angin yang didengar oleh Gyani, Divisi itu bahkan kini terpecah jadi dua kubu. Ada yang menginginkan konsep opening yang megah dengan banyak bintang tamu terkenal. Sedangkan di sisi yang lain hanya ingin satu tamu, selebihnya berasal dari mahasiswa sendiri yang mengisi acara. Dua-duanya sih tidak ada masalah.

Yang jadi masalah, duitnya cukup atau nggak?

Sepertinya Divisi Acara nggak pengen untuk bicarain itu di forum ini. Buktinya, mereka lebih meminta untuk berbicara dengan BPH terlebih dahulu, mencari jalan tengah.

Bukannya lebih baiknya dibicarakan sekarang saja?

Dan rapat pun berlangsung alot setelah Divisi Keamanan angkat bicara terkait dua fakultas yang berpotensi adu urat di pembukaan nanti.

Waduh, nggak bakalan kelar ini mah!

.
.

.
.

Akhirnya rapat berakhir pukul sepuluh malam, benar-benar lelah karena duduk lama.

Sebenarnya, rapat tidak harus berakhir hingga larut seperti ini, mengingat banyak pembicaraan yang terkesan didebatkan namun tidak memiliki jalan tengah. Ujung-ujungnya dilempar juga dengan kalimat, "Yaudah, nanti kita bicarain dengan seluruh panitia di rapat selanjutnya."

Ah, Gyani malas banget ikut rapat kalau tujuannya tidak tercapai di hari itu juga. Bikin numpuk pembahasan dan rapat selanjutnya jadi lama. Syukur kalau tidak berbelit-belit. Kalo iya? Dahlah, Gyani lebih memilih tidur syantik ala barbie aja....

"Pulang sama siapa lo, Ani?" tanya Marvin pada Gyani ketika kakinya sudah menapak di keset bertuliskan 'Welcome' depan pintu utama Sekre BEM.

Gyani yang menoleh dengan tatapan napa-lo-lagi-sih-bisa-enyah-aja-gak-sekarang menjawab, "Masih panggil gue Ani? Buset, nama gue udah indah banget perasaan, udah estetik gitu, Kak."

Mendengar kata-kata sang puan, Marvin hanya tersenyum jail. Sedangkan Gyani memonyongkan bibir sambil mengangkat satu ujungnya, membuang tatapan dari Marvin yang sudah membuatnya kesal hari ini.

Gyani akui, ia memang selalu malu-maluin. Lebih tepatnya selalu malu di depan Marvin dan dia pengen benar-benar hilang aja.

"Makan, yuk?" ajak Marvin seraya menyerahkan satu helm yang berada di tangan kanannya. Tangan kirinya nggak kosong, sih, soalnya ada helm satu lagi. Yakali yang bawa motor nggak pake helm. Bisa berabe ntar ditahan polisi. Yang ada bukan makan, malah misuh-misuh.

"Makan di mana?" Gyani menerima dengan helm tersebut dengan mata yang sesekali melirik pada Marvin.

"Di kosan lo!" Sang Kadiv tersenyum bangga.

"Dih! Kosan gue gak boleh dimasukin sama cowok, Kak. Sorry sorry aja nih ya." Gyani menjawab ketus.

"Yang pastinya di tempat makan lah. Ah, gue punya tempat makan enak. Lo pasti suka!"

"Tau dari mana gue bakalan suka?"

Marvin berdeham dengan membuang tatapan menuju parkiran Sekre, lalu berujar, "Makanan kesukaan, bebek bakar Mang Jaja."

Gyani mengamati lekat air muka Marvin yang masih memasang senyum tipis, seperti orang stress senyum-senyum mulu. Gyani juga ikutan stress, antara menahan kekesalan dan rasa senang karena diajak makan oleh Marvin untuk pertama kalinya.

Udah kayak ngedate, batin sang puan kurang belaian itu.

Namun sedetik kemudian, Gyani menggeleng cepat dengan tatapan masih berada pada Marvin. "Iyuh, gak mungkinlah!" ucap Gyani, salah tingkah.

Mendadak, air muka Marvin yang semula cerah menjadi kecut. Pokoknya jelek banget, tapi gemesin, tapi ganteng, tapi ya ... gitulah.

Merasa bersalah, Gyani dengan satu tangan bebasnya pun melambai di udara dengan mata yang melebar. "Eh, maksudnya bukan gitu, Kak."

"Gue kira lo suka, soalnya lo nulis kayak gitu di kertas wawancara khusus Logstran," acap Marvin dengan dengkusan pelannya. "Ya, gak papa, deh, kita nyari makan yang lain aja, yuk? Lo mau apa?"

"Ah, gak gitu maksudnya, Kak." Gadis itu mengulangi perkataannya.

Gyani kini merutuki dirinya sendiri. Ia tidak bermaksud menolak apa yang Marvin katakan sebelumnya, tetapi ia ingin menepis tentang nge-date alias kencan yang muncul dalam pikiran sang hawa beberapa detik yang lalu. Meskipun begitu, tampaknya Marvin telah salah paham dan itu membuat Gyani tak enak hati.

"Kita ke Bebek Bakar Mang Jaja aja seperti yang lo bilang tadi, Kak," anjur Gyani dengan senyum lebar dan mata berbinar.

"Lho, tadi bilangnya iyuh, kayak gak suka gitu."

Gadis itu menggeleng cepat. "Gak kok, gue suka banget di sana, Kak. Apalagi sambelnya, mantap puolll," acap Gyani sambil mengangkat jempol.

Melihat ekspresi perempuan tersebut, Marvin pun mengangguk pelan. "Lo juga suka? Wah ... itu parah, sih!" seru sang adam.

"Iya, kan? Nah, ke sana aja, yuk?"

"Okey okey."

By the way, mengenai kertas wawancara dengan menyebut makanan kesukaan, pada awalnya Gyani sedikit kebingungan. Baru kali ini ia mengisi formulir pendaftaran kepanitiaan kampus berasa ngisi biodata di binder anak SD kelas 1. Namun, sesaat kemudian perempuan itu menyadari jika di bagian bawah pertanyaan tersebut terdapat kolom yang menanyakan tentang alergi makanan yang diidap. Tentu saja ini menjadi tugas dari Divisi Konsumsi untuk mengakali konsumsi panitia yang memiliki alergi.

Perjalanan dari kampus menuju rumah makan itu cukup jauh, sekitar 20 menitan. Jika macet, lebih dari itu tentunya. Tapi, Gyani nggak merasa bosan sama sekali. Sebab, Marvin dan dirinya terlibat banyak pembahasan yang menyenangkan bin aneh. Mulai dari kenapa monyet jika datang bulan, bokongnya merah. Atau dua alat gerak di bagian depan kucing adalah kaki atau tangan. Nggak penting? Oh, jelas. Akan tetapi ini berhasil membuat perjalanan jadi tidak membosankan dan membuat keduanya semakin akrab.

Marvin dan Gyani nampaknya tidak ingin berbicara terlalu dalam tentang kehidupan mereka masing-masing. Dan ini membuat Gyani sedikit nyaman, karena ia juga tak ingin ditanya-tanya tentang keseharian, pacar, keluarga, IPK, dan lain sebagainya yang menjurus ke arah sana.

Setibanya di rumah makan, Marvin dengan cekatan turun dari motor dan membuka helm Gyani secara perlahan. Hingga helm itu terlepas, Marvin refleks memperbaiki helaian rambut sang gadis yang terlihat sedikit tak beraturan. Perlakuan laki-laki itu membuat wajah Gyani bersemu merah dan kerongkongan nampaknya kering kerontang, kayak Gurun Sahara.

Ah, jangan tanyakan bagaimana degup jantung Gyani sekarang. Soalnya, sudah pasti terdengar seperti drum band militer di acara festival nasional. Meriah....

"Kok bengong? Yuk, dah rame tuh. Nanti kita gak dapat tempat," ajak Marvin seraya menunggu Gyani untuk berjalan di sampingnya.

"Ah, i-iya. Ayuklah, Kak."

Malam itu pun berakhir dengan makan sampai kenyang. Soalnya, Gyani mendapat traktiran dari Marvin dengan boleh makan sepuasnya. Awalnya, perempuan itu menolak dengan halus dan memberikan beberapa alasan dari yang masuk akal sampai tidak terpikirkan sama sekali di otak. Akan tetapi, Marvin tetap memaksa.

Ya ... mau gimana lagi. Masa rejeki ditolak? Kan nggak mungkin, soalnya pamali kata orang tua mah.

Orang tua siapa yang ngomong gitu juga Gyani nggak tahu...

.
.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top