39. Resmi Berakhir [END]
.
.
Malam itu benar-benar menjadi malam penuh kejujuran dari para anggota. Semua unek-unek, rasa kesal yang menumpuk di dada selama kepanitiaan, serta perasaan bahagia tercurah. Bahkan Hisyam dan Cakra hampir gondok-gondokan karena adu argumen yang tidak ada ujungnya.
Sepertinya memang Hisyam gemar mencari keributan.
Ketika semua anggota sudah masuk ke dalam villa, mereka melanjutkan dengan bermain gitar dan menyanyi di ruang tengah. Jangan tanyakan bagaimana suara lagu dangdut mulai menggema.
Dari Kirana hingga Cici, tidak ada yang meragukan kualitas vokal mereka. Iya, tidak meragukan falsnya. Suara gitar ke kiri, eh nadanya malah ke arah kanan. Juan saking keselnya sampai harus menutup telinga dengan bantal sofa berulang kali.
Tidak usah menanyakan pendapat pada Januar karena dia tetap akan menganggap suara Kirana setara dengan pernyanyi terkenal, Mahalini ... versi KW Superior.
Gyani lebih memilih untuk duduk berdua bersama Wita di taman yang menghadap langsung ke arah pegunungan di depan sana. Di atas rumput yang terhampar, keduanya sesekali mendongak menatap bintang.
"Kalo gue boleh ngomong, gue berterima kasih sama lo Kak karena sudah peduli sama kondisi gue waktu itu," acap Wita membuat Gyani menggeleng pelan.
"Padahal gue nggak ngelakuin apapun, Ta."
"Nggak, kalo waktu itu nggak ada lo di Sekre, gue nggak tau nasib gue selanjutnya. Belum lagi lo sama Cici nemuin gue di gudang belakang," Wita menatap lurus sambil tersenyum miris, "nggak tau kenapa kok gue bodoh banget, nggak bisa ngelakuin apa-apa untuk membela diri."
"Ta, ngefreezenya elo itu wajar banget. Lo kaget, lo ketakutan...."
Wita mengangguk perlahan, lalu kembali berujar semangat, "Pokoknya gue cuma mau berterima kasih aja Kak. Setelah ini, kita masih bisa ketemuan kan? Yaaaa walaupun fakultas lo jauh banget di belakang."
Gyani tergelak kecil. "Yaiyalah, tinggal calling." Gyani mengangkat tangan dan memperlihatkan pose sedang mengangkat menelpon.
"Gue cewek panggilan," celetuk Gyani yang langsung mendapatkan pukulan ringan pada bahu.
Wita menoleh ke belakang dan menemukan bahwa Marvin telah berjalan ke arah mereka berdua. Wita kemudian memberikan isyarat kepada Gyani akan kedatangan laki-laki yang hanya diberikan anggukan ringan oleh Gyani sebagai respons untuk Wita.
Sebelum meninggalkan Gyani sendirian, Wita sempat berbisik, "Mulai sekarang nggak usah pura-pura nggak suka, keliatan soalnya kalo hati lo beda dengan perkataan lo Kak."
ASLI YAAAAA SIALAN EMANG WITA.
Gyani tersenyum menyambut Marvin yang tiba-tiba duduk di samping dengan kedua kaki ditekuk, tidak seperti Gyani saat ini yang menyelonjorkan kedua kaki lengkap dengan tangan yang menyanggah tubuh di belakang.
"Gimana?" tanya Marvin.
"Gimana apanya?"
"Lokasinya lah."
Gyani menaik-turunkan kepala berulang kali. Lalu setelahnya ia berucap, "Bagus, gue suka Kak. Tenang banget di sini, trus dingin juga nggak kayak Jakarta."
"Jauh lah kalo dibandingin sama Jakarta, yaaa namanya juga kota pasti rame. Tapi bagus deh kalo lo suka di sini."
Tidak ada pembicaraan selama beberapa detik membuat degup jantung kembali memacu. Rasanya suasana dingin yang semula menyelimuti mereka berubah menghangat seiring perasaan membucah yang mereka rasakan satu sama lain.
Malam itu, Gyani tidak memikirkan apapun. Meskipun perasaannya bak kembang api yang meletup-letup, tapi dia tidak ingin mengharapkan apapun lagi. Toh, berharap tidak ada gunanya juga karena terkadang hal itu berbanding terbalik dengan kenyataan.
Fokus Gyani saat ini adalah pemandangan ke arah gunung yang di bawahnya terdapat kota kecil dengan pencahayaan indah. Begitu memanjakan mata.
"Hmmm ... kalo gue?"
Pertanyaan Marvin itu membuat Gyani seketika menoleh ke kiri.
"Kalo Kakak kenapa?"
Tatapan dua manusia akhirnya terpaku di satu garis lurus, tak mampu berpaling walau hanya sebentar. Suasana malam ini benar-benar mendukung romansa yang ada.
"Lo suka nggak?"
Gyani langsung tersenyum lebar, lalu berucap santai, "Kalo gue, lo suka nggak Kak?" tanyanya balik.
Marvin mengangguk mantap. Gyani dapat melihat rambut laki-laki itu bergerak cepat mengikuti gerakan kepala. Begitu tegas dan meyakinkan.
"Iya, gue suka sama lo. Gue sayang sama lo."
Ternyata permainan truth tadi melupakan beberapa kejujuran yang seharusnya memang terungkap. Catat, seharusnya. Tapi mungkin saja semua orang menyimpan dengan rapi apa yang harus mereka tanyakan, hingga hanya Marvin yang mampu mengungkapkan pada Gyani di saat berdua saja seperti ini.
Gyani yang mulai salah tingkah menggerakkan jemari dalam mencabut rumput sambil menunduk membuat Marvin berusaha menyembunyikan senyumnya.
"Sejak kapan, Kak?"
"Apanya?"
"Sejak kapan lo ... suka sama gue?"
"Sejak pengenalan kampus!"
Jawaban Marvin kontan membuat Gyani mengangkat wajah dan menatap laki-laki itu seolah sedang melihat arwah mati penasaran. Netra terbelalak lebar dan mulut terbuka membentuk huruf O. Untung saja Gyani dengan cepat mengembalikan kesadaran.
"Ka-pan? Gimana ceritanya?"
Marvin tersenyum manis dan mulai menepuk-nepuk rerumputan di samping kanan sambil berkata, "Deketan donggg baru gue ceritain."
Memang jarak antara Gyani dan Marvin hanya sejengkal, namun laki-laki itu merasa bahwa Gyani terlalu jauh hingga ia harus memintanya sendiri untuk lebih dekat. Gyani juga tidak keberatan dengan itu, terbukti dengan tubuh sang gadis yang tiba-tiba mendekat.
"Waktu gue duduk depan toilet, tau kan kalo toilet dekat gedung serbaguna itu bisa dipake siapa aja, cewek atau pun cowok. Nah di bagian depan kan ada taman gitu, gue duduk di sana buat istirahat bentar. Tiba-tiba datang satu cewek sambil nangis di samping gue.
Dia bilang gini, 'Ternyata crush gue udah jadian sama cewek lain. Mana ceweknya jelek, lebih jelek dari gue lagi. Astaga...' Yaaaa gue kaget sih. Tapi gue ngeliat penampilan perempuan itu, ah ini mah maba. Gue perhatiin name tag dan gugusnya. Yakali aja kan kalo dia pingsan di sini bisa langsung gue seret balik ke gugusnya."
Gyani yang mendengar itu pun termangu. Ini benar-benar kejutan. Ya, bagaimana mungkin Gyani tidak tahu jika yang diceritakan oleh Marvin saat ini adalah diri si gadis yang saat itu menangisi laki-laki yang hanya teman satu SMA. Tidak akrab pula!
"Jadi yang pake kostum badut ayam itu elo, Kak?!" seru Gyani yang diberi anggukan oleh Marvin.
"Gue pake kostum itu mewakili Fakultas Pertanian, tapi kalo diingat lagi kok gue jadi ayam ya? Harusnya gue pake padi-padian nggak sih?" ucap Marvin membuat Gyani yang semula masih shock akhirnya tertawa terbahak-bahak.
"Ihhhh astaga malu banget woi kalo diingat," acap Gyani heboh sambil sesekali menutup wajah dengan kedua tangan. "Mana gue nangisnya kek bocah, ingus-ingusnya keluar. Yaaa mana gue tau itu lo Kak, kan lo pake kepala badut yang gede jadi nggak keliatan."
"Iya juga ya. Oh iya bener, ingus lo sampe meper ke kostum ayam jago gue ya, tolong. Itu kan modal pinjem doang."
Keduanya tak mampu lagi membendung tawa.
"Gue berusaha nyari tau tentang lo sejak saat itu. Tapi sayangnya karena kesibukan kuliah sama proyek BEM, gue mulai lupa tujuan gue di awal. Gue baru tambah semangat setelah tau lo itu sejurusan sama Nanda."
Marvin kembali menambahkan, "Lo masih ingat waktu di kantin? Awal lo minta nomor gue? Itu sebenarnya udah gue rencanain sama Nanda."
"Ahhhh ya kannn, udah gue duga!" Gyani merespons semangat. "Yaaa laki-laki mana coba yang nulis kontak kayak gitu. Sok cakep banget—"
"Tapi emang gue cakep kan?"
"Another question, please!"
Marvin dan Gyani tersenyum kecil tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Tak lama kemudian, tangan Marvin bergerak mencari sesuatu dari dalam kantung celana.
Laki-laki itu membuka sebuah kotak beludru kecil berwarna merah yang membuat Gyani terperangah hebat untuk kesekian kalinya.
Kalung emas putih?
"Gue suka sama lo, gue sayang banget sama lo. Gue selalu denger tentang lo dari Nanda dan gue rasa itu belum cukup buat gue untuk mengenal lo lebih dekat lagi. Gue pengen denger semua cerita dari mulut lo sendiri, Gyani. Ngabisin waktu bareng. So—
Will you be mine?"
Gyani terpaku beberapa detik sembari mencerna semuanya. Mulut rasanya tercekat dan tatapan itu mendadak meneduh. Bahu yang semula semangat bercerita kini jatuh bebas.
Perempuan itu sudah benar-benar menjatuhkan ekspektasinya ke dasar jurang sejak pertama kali tiba di villa ini karena pengalamannya. Tapi apa yang justru dia dapatkan malam ini telah membuatnya bak patung.
Inikah yang dia tunggu selama ini?
Inikah yang dia harapkan dari Marvin?
Gyani kembali memantapkan hati, lalu mengangkat wajah dan memamerkan kedua sudut bibir melengkung ke atas.
Perempuan itu mengangguk sambil berujar, "Mau, gue mau!"
Beban berat di pundak Marvin akhirnya benar-benar lepas, dia lega-selega leganya. Napas yang semula tertahan akhirnya berembus kuat-kuat.
Dengan gerakan cepat, Marvin kemudian melingkarkan kalung dengan liontin berlian kecil di bagian tengah. Lantas keduanya saling memeluk satu sama lain selama beberapa detik.
Setelah pelukan terurai, Gyani bertanya, "Kak, gimana sama Gani?"
"Itu jadi urusan aku, Sayang. Kamu nggak usah khawatir."
Satu tangan Marvin bergerak menangkup wajah Gyani membuat perempuan itu seketika memejamkan mata.
Wajah mereka hanya terpaut beberapa senti sebelum akhirnya samar-samar terdengar langkah yang membuat Gyani dan Marvin mengurungkan niat.
"PRITTT PRITTTTTT," ucap Hisyam berlagak bak wasit di lapangan.
Januar bahkan memperlihatkan kartu UNO berwarna merah dan diangkat tinggi-tinggi seolah Marvin dan Gyani adalah pesepak bola di lapangan yang melanggar peraturan. Tapi memang mereka telah melanggar, sebabnya telah diucapkan lantang oleh Hisyam.
"Peraturannya cuma sampe 'Ya atau Tidak', kalo berbuat mesum, gue tendang juga lo berdua ke jurang ya. Menodai mata gue."
"Halahhh," balas Januar pada Hisyam.
Di belakang kedua laki-laki itu, anggota lainnya mulai berlari kecil menghampiri Marvin dan Gyani. Jawad datang paling belakang karena dia membawa kamera dan tripod.
Mereka semua berdiri dan mulai berpose. Persis seperti selama ini yang mereka lakukan saat persiapan, pertandingan, hingga penutupan NFD. Kamera polaroid itu mengambil suasana paling tepat.
Sambil menunggu foto-foto itu tercetak, para panitia pun mulai berkumpul dan mengucapkan selamat pada Gyani serta Marvin.
Ah ya, semua ini memang sengaja disiapkan oleh sang Kadiv untuk anggotanya. Selain untuk refreshing, tentu punya maksud terselubung lainnya juga di dalam.
"Kalo begitu sekarang kalian semua istirahat," suruh Marvin lembut.
"Apa? Istirahat? Ya nggak lah, ini harus dirayain nggak sih? Ini nih yang resmi soalnya info yang kemarin cuma omdo," acap Cici yang dibenarkan oleh semua orang.
Mereka tidak sadar jika sekarang mereka membentuk lingkaran lagi, sama seperti yang mereka lakukan. Hari-hari bersama membuat gerak tubuh mereka terkoneksi otomatis. Tapi kali ini beda, lingkaran mereka terpaut satu sama lain dengan saling memeluk anggota yang berada di kanan dan kiri mereka.
"Barbeque-an?" anjur Januar.
"Karokean?" sela Juan.
"Ngobrol sampe gumoh, gimana?" Wita menyarankan.
"Main UNO aja nggak sih?" acap Kirana tidak mau kalah.
"Ada billyard di belakang, kali aja pada mau main," tandas Rian.
Cakra mengangguk sambil berujar, "Boleh main apa aja, asal yang kalah masuk ke kolam renang. Deal?"
"DEALLLL."
"Bagaimana Ibu Ketua?" tanya Rian pada Gyani yang membuat seluruh tatapan menjurus ke perempuan itu.
Tanpa berpikir panjang, Gyani langsung mengangguk cepat. "Boleh, boleh banget. Kita lakuin semuanya sampe pagi kalo perlu."
"YEAHHHHH."
"Ok, last but not least," Marvin mengulurkan tangan di tengah-tengah lingkaran membuat semua anggota paham maksud gerak tubuh itu.
Mereka pun satu per satu menumpuk tangan hingga tangan Gyani menjadi yang paling atas dan Marvin paling bawah.
Keduanya bak pilar dari Divisi Logstran.
Marvin kemudian teriak lantang, "LOGSTRAN!"
"KERJA KERJA KERJA!"
Malam itu diakhiri dengan teriakan motto dan resmi bubarnya DIVISI LOGISTIK DAN TRANSPORTASI NEO FIELD DAY tahun ini.
Kenangan-kenangan yang mereka lalui kini bisa selalu terlihat dalam album yang disiapkan oleh Rian, album penuh foto-foto dari masa pengenalan anggota hingga hari terakhir.
Semoga hubungan mereka selalu dekat seperti sekarang....
—END—
.
.
Terima kasih untuk teman-teman yang selalu setia menunggu update-an dari cerita ini. Maaf jika penulisan tidak sempurna. Jika ada pertanyaan, silakan tanyakan di kolom komen. Sekali lagi, terima kasih. Sampai jumpa di epilog.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top