38. Puncak Day 1

.
.


Datang paling telat, Kirana dan Januar kini menjadi tontonan anggota lain saat kaki mereka telah menapak sempurna di depan pagar utama villa lantai dua di Puncak. Seperti diketahui mereka memilih untuk mengendarai motor dibandingkan menggunakan mobil milik Rian atau Marvin.

Marvin, Juan, Cakra, Hisyam, Rian, dan Jawad bahu-membahu mengangkat koper diikuti oleh Januar yan datang terakhir. Tidak usah disebutkan bahwa koper besar berwarna merah muda yang kini didorong Januar adalah milik Kirana.

Cakra membuang napas panjang, terengah-engah ketika ia berdiri di tempat parkir mobil dan langsung menghadap ke para gadis.

"Kita di sini cuma dua hari satu malam, tapi kenapa koper kalian jumlahnya harus lima?" Cakra memperlihatkan angka lima dengan jari. "Kenapa sebanyak itu? KENAPAAA?!" Gemas laki-laki tersebut lalu pergi tanpa menunggu jawaban dari para cewek.

Cici hanya mengedikkan bahu sementara Gyani, Kirana, dan Wita melipat kedua tangan sambil mengamati para cowok yang lalu lalang mengangkat koper mereka.

Sebenarnya tidak ada yang menyuruh para lelaki mengangkat barang para anggota cewek, tapi ini murni adalah inisiatif mereka sendiri. Juan bahkan sebelumnya berujar bahwa jika para cewek mengangkat barang, maka akan lama dan ujung-ujungnya juga minta dibantu.

Jadi sebelum cewek-cewek membeo minta tolong, mending sekalian saja.

"Ada satu orang lagi yang ngedumel tentang barang-barang kita, gue tarik cambangnya!" ancam Cici yang membuat ketiga perempuan lain tersenyum kecil.

Tak lama kemudian, Marvin pun menghampiri keempat anggotanya itu dengan berlari kecil. Baru saja ia akan berbicara, Cici langsung memotong, "Kakak mau protes juga? Maaf ya Kak, kita ini cewek, banyak kebutuhannya makanya kita bawa banyak barang. Kakak nggak usah protes deh!"

Mendengar itu, Marvin tersenyum sambil menggeleng. "Paham kok, gue cuma mau manggil kalian masuk soalnya mau ngasih liat kamar kalian. Ya masa dari tadi kalian di luar doang."

Cici lantas menjentikkan jari. "Nah gitu dong!" acap Cici yang langsung tersenyum lebar sambil berjalan beriringan dengan Wita dan Kirana. Gyani memutuskan jalan belakangan setelah Marvin tidak beranjak sedikit pun.

Segera Marvin menghampiri Gyani dan meraih satu tangan perempuan itu. Lantas Marvin pun menunjuk dagu ke arah Cici sambil berkata, "Kenapa?"

"Cici? Ah, paling lagi sensi aja Kak," kata Gyani yang kini sudah menampilkan tarikan ke atas di sudut-sudut bibir. Terlampau bahagia karena sejuknya udara, kini berganti dengan kehangatan sentuhan Marvin.

Berjalan sangat lambat menuju pintu villa dengan agak menanjak membuat mereka berjalan pelan sambil sesekali mencuri pandang dan melempar senyuman. Sedikit malu, tapi rasanya enggan untuk mengakhiri di sini. Jarak antara parkir mobil dan pintu utama dirasa sangat jauh dan menyenangkan.

Kata Hisyam dunia milik berdua, mungkin memang benar adanya.

Baru beberapa detik saling menatap, Cakra yang saat itu membawa dua ransel-satu di punggung dan satu lagi ditenteng-dari arah belakang langsung melepaskan tautan tangan Gyani dan Marvin yang membuat mereka berhentikan langkah sambil berujar, "Halahhhh, nutup jalan aja!"

Setelah Cakra berlalu, Marvin dan Gyani lalu memutar tubuh dan menemukan Hisyam telah mengangkat dus minuman, Jawad menenteng tas makanan ringan, Januar mengangkat kayu untuk api unggun di belakang villa, Juan membawa dua galon kosong, dan Rian menenteng bahan-bahan makanan dalam dus. Mereka secara bergiliran melewati Marvin dan Gyani dengan senyum tertahan.

Ada aja halangannya kalau mau berduaan....

Setelah mengangkat barang-barang dari mobil Marvin dan Rian, kesebelas anggota Divisi Logstran pun berkumpul di ruang tengah dengan pakaian yang masih sama sejak kedatangan.

Beberapa dari mereka duduk di sofa, ada yang berdiri di berbagai sisi, dan juga duduk di lantai beralaskan karpet. Mereka mendengarkan perkataan Marvin yang kini telah berdiri di depan kesepuluh anggotanya.

"Lantai dua itu khusus cewek ya, jadi yang cowok nggak boleh ada yang naik. Yang cowok tidurnya di lantai dasar sini, terserah mau di kamar atau di depan TV juga nggak masalah. Paham?" tanya Marvin yang langsung diberi anggukan singkat.

"Kedua, di belakang itu ada kolam renang sama taman. Malam ini gue rencananya sih mau buat campfire di sana—"

Juan seketika mengangkat tangan yang membuat seluruh perhatian tersita padanya. "Hmm itu Kak, buat campfire-nya di atas kolam renang?"

Hisyam lantas mengambil cushion sofa dan melemparkannya pada Juan yang duduk di lantai. "Gimana caranya, pe'a! Maksud lo tuh kayu melayang di atas air, gitu? Udah kek avatar lo gue liat-liat," Hisyam menggeleng cepat, "ahh, nggak paham gue sama otak mungil lo!"

"Maksudnya buat di sekitar kolam gitu lho Kak—"

"Auto meledak itu keramik karena panas, Ju! Ada-ada aja lo," sela Jawad yang membuat anggota lain tergelak kecil.

Marvin kembali melanjutkan, "Nggak di sekitar kolam, tapi agak jauh ke arah taman sih. Sekalian maen game kecil-kecilan gitu lah."

Semua anggota mengangguk paham.

"Jadi, kalian sekarang bisa istirahat bentar abis itu kita siapin semuanya mumpung masih ada beberapa jam sebelum gelap."

Dalam hitungan detik, mereka semua sudah bubar.

.
.

.
.

Setelah menyantap makan malam yang disiapkan oleh koki utama, Gyani, mereka pun bersiap menuju taman belakang lengkap dengan alat tempur berupa jaket tebal. Maklum, Puncak lagi dingin-dinginnya saat ini. Atau mungkin memang setiap malam selalu dingin?

Di depan mereka sudah ada api unggun yang dibuat susah payah oleh Januar dan Hisyam. Iya, susah payah. Soalnya adu bacot mereka terdengar sampe dalam villa. Yang satu bilang pake bensin sebagai bahan bakar, tapi yang satu lagi inginnya pakai minyak tanah. Tidak tahu juga yang mana akhirnya yang berhasil membuat api sebagus ini.

Mereka semua duduk di kursi melingkari api dengan tertib, hanya cewek-ceweknya yang tidak berhenti mengoceh.

Lantas Rian yang terpilih sebagai pemandu pun berkata, "Kita mulai permainan ya. Klasik sih, truth or dare. Tapi sekarang nggak ada dare ya, cuma truth doang."

Rian terdiam sebentar untuk memperbaiki posisi duduk, lalu kembali berujar, "Jadi lempar truth-nya terserah ke siapa aja. Kalo diliat dari lingkaran ini, Juan yang akan mulai duluan dan berputar ke arah kanan. Ngerti ya semuanya?"

"NGERTIIIII."

Beberapa detik ada keheningan, Juan langsung menunjuk dirinya sendiri sambil menatap Rian yang membuat sang pemandu mengangguk tegas.

"Gue duluan nih?" tanya Juan sekali lagi.

"Iyeeee," ujar para cewek kompak.

"Oke, pertanyaan ini khusus buat Kak Jawad," ucap Juan yang membuat Jawad langsung membelalakkan mata dan tersenyum merekah. "Menurut lo Kak, gue itu cocok banget sama adek sepupu lo kan?"

"Anjir, masih dibahas dong," celetuk Wita yang sudah cengir lebar membuat Jawad menatap perempuan itu dengan ekspresi yang sama.

Jawad menggeleng dan melipat kedua tangan di depan dada. "Bahkan seujung kuku pun lo nggak ada cocok-cocoknya sama adek gue."

"—tapi kan Kak..."

"Ya ya ya ya, tidak ada pertanyaan lanjutan ya pemirsa," ujar Rian menengahi Jawad dan Juan. "Oke selanjutnya Cakra."

Seketika semua langsung senyap. Ya iyalah, ini Cakra gitu lho... semua rahasia baik yang beneran rahasia atau rahasia publik sekali pun tidak ada yang dia tidak tahu. Semua informasi memang berasal dari Cakra seorang dari awal kepanitiaan berjalan.

"Gue pilih Cici," ungkapnya yang membuat semua orang kembali heboh. "Ci, lo tuh sebenarnya punya rasa sama salah satu cowok di sini kan?"

"ANJING!" Cici berseru heboh sambil bangkit dari duduk. Ia terlonjak kaget dan malu hingga wajahnya mesem-mesem membuat Cakra dan Juan terbahak-bahak menyaksikan respons si cewek.

Rian menggeleng. "Ci, jawabannya iya atau nggak. Bukan nyebutin hewan peliharaan lo di toko emas!"

"Oh iya deng." Cici kembali duduk dengan anggun, lalu membelalakkan mata ke arah Cakra seperti mati-lo-hari-ini. "Ehmm... iya."

"CIYEEEEEEE." Lingkaran mereka kini sudah terbongkar, bahkan Cakra dan Juan sampai tertawa dalam kondisi berdiri. Saling memukul bahu satu sama lain karena kegelian mendengar jawaban jujur Cici.

Kirana celingak-celinguk. "Eh siapa? Siapa? Yang disuka Cici jadinya siapa?" tanya Kirana di sela-sela tawa semua orang yang berakhir tanpa jawaban juga.

"Semangat sekali ya kolega-kolega saya ini," tutur formal Rian.

"Lanjut ke Gyani."

Akhirnya sampai juga di Gyani yang membuat semua orang kembali merapatkan mulut mereka. Entah mengapa degup jantung Gyani berdetak lebih cepat saat suasana hening menimpanya. Beda, suasana sepi ini berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Tanpa pikir panjang, Gyani langsung menunjuk Marvin yang duduk tepat di seberangnya.

"Hmmm... oke...," Gyani membuang napas kuat-kuat, "waktu itu gue setengah mati nyariin lo, gue bahkan harus ke fakultas lo cuma demi tanda tangan. Sejauh itu Kak. Trus juga tiba-tiba ada inspeksi dadakan dari Kak Alfian yang buat gue kelabakan. Ujung-ujungnya semua kembali ke elo juga.

Pertanyaan gue masih sama kayak dulu, Kak. Lo itu .... lagi ngerjain gue kan? Tujuan lo apa?"

Marvin yang semula duduk dengan santai sambil menyandarkan punggung pun akhirnya memajukan tubuh. Kedua sikunya menumpu pada lutut dengan tatapan lurus ke arah Gyani. Jangan lupakan bagaimana Marvin menyeringai mengerikan dengan menarik satu sudut bibir ke atas.

Tatapan itu... seperti singa yang sedang mengintai mangsa. Dibilang santai, tidak juga. Tapi disebut serius, mungkin terdengar berlebihan.

"Iya, gue emang cuma ngerjain lo waktu itu," kedua tangan Marvin ditautkan tapi tatapannya tetap memaku di Gyani, "tujuannya simpel, cuma pengen nyari perhatian lo doang. Abisnya lo gemesin sih."

"JIAHHHHHHHHHH."

Kehebohan untuk kesekian kalinya kembali tercipta membuat Gyani hanya mampu terdiam dengan tatapan sayu pada Marvin. Salivanya ia telan berkali-kali dengan susah payah. Sedangkan Marvin sudah tersenyum puas di depan sana.

"Tolong tahan teriakan kalian para penonton bayaran ya harap tenang," suruh Rian sambil mengangkat kedua tangan, "Selanjutnya, Hisyam."

Hisyam berdeham kecil lalu mengedarkan pandangan pada para anggota satu per satu.

Lantas, satu tangannya bergerak menunjuk Gyani untuk menjawab pertanyaan. Perempuan yang semula menegang parah itu kemudian menghela napas panjang. Senyum tipis mulai terlihat di wajahnya.

"Pertanyaa gue adalah ... Lo cemburu waktu pertama kali lo ngeliat Kak Amora dan Kak Marvin berduaan di pinggir lapangan bola kan? Yang waktu Kak Amora bawain Kak Marvin minuman," tanya Hisyam seraya menunjuk ke arah Gyani.

HISYAM SIALAN!

Gyani tidak pernah menyangka bahwa laki-laki itu akan membawa Amora ke sini. Tapi tidak apa-apa, memang seharusnya ini tidak ditutupi. Akan tetapi, malu juga karena pernah ketahuan melihat mereka bersama.

Ah tidak, ayo jadikan ini skornya satu sama.

Gyani berdeham kecil, lalu bertutur lembut dengan tatapan yang ia berikan sepenuhnya pada Marvin, "Iya, gue cemburu ... cemburu banget!"

Dan ini berhasil membuat Marvin yang semula tertawa terbahak-bahak akhirnya terdiam. Tatapan laki-laki itu meneduh dan tampaknya ia mulai kehabisan kata-kata karena ia tidak pernah menyadari bahwa Gyani benar-benar cemburu dengan Amora, bukan dengan Nanda seperti yang selama ini ia kira?

Puas lo? Dasar laki-laki tidak peka!

Chapter selanjutnya adalah chapter terakhir dari DIVISI. Sampai bertemu di chapter akhir dan epilog

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top