31. Masuk Kandang

.
.

Habis sudah satu hari Gyani untuk mengejar Marvin kemarin, dan hari ini dia bertekad untuk mendapatkan tanda tangan Kadiv dengan beragam cara. Salah satunya mungkin ke Fakultas Pertanian.

Meskipun jaraknya tak terlalu jauh dari Fakultas MIPA, ada rasa enggan juga untuk pergi ke Fakultas tetangga mengingat Gyani tidak memiliki banyak teman di sana. Takut planga plongo kayak orang bodoh.

'Kelas P7 hari ini. Di lantai dasar kok. Dari Lingkaran lurus aja, nggak jauh dari situ.'

Gyani yang membaca pesan itu hanya mendengkus kuat-kuat.

Omong-omong soal Lingkaran, sekarang Gyani sedang duduk di salah satu kursi panjang di tempat tersebut.

Lingkaran merupakan lokasi yang menyerupai lobi gedung Fakultas Pertanian, tempat di mana para mahasiswa duduk ngemper jika tidak mendapatkan meja panjang. Wi-Finya luar biasa kencang, jadi wajar jika di sini menjadi tempat favorit.

Tidak melulu harus mahasiswa Fakultas Pertanian, mahasiswa dari fakultas lain juga bisa duduk dan berkumpul di sana. Tidak ada larangan sama sekali, meskipun terkadang ada satu-dua mahasiswa yang rese' juga menyindir atau bahkan tidak memperbolehkan secara langsung.

Setelah ia membaca pesan itu, Gyani berujar, "Ini gue nggak mau dijemput apa? Biasanya dia juga nawarin buat dijemput dah."

Perempuan itu lantas memutar badan menuju meja di belakangnya yang terdiri dari beberapa mahasiswa. Dari pin yang dikenakan, Gyani tahu bahwa mereka satu tahun lebih muda. Beda sekali dari fakultasnya yang tidak mengenakan pin sama sekali, jadi semua terlihat seangkatan.

"Permisi, mau numpang nanya. Kelas P7 di mana ya?"  tanya Gyani ramah.

Kelima mahasiswa itu kompak mengarahkan bahwa Gyani hanya perlu lurus saja dari tempatnya saat ini, lalu berbelok ke kiri.

"Oh iya terima kasih."

"Sama-sama, Kak," jawab mereka sekali lagi dengan berbarengan.

Saat Gyani membereskan barang-barang hendak beranjak dari tempat tersebut, samar-samar ia mendengar kalimat-kalimat dengan nada berbisik dari kelima mahasiswa yang ia tanyai sebelumnya.

"Mirip pacar Kak Marvin Airlangga nggak sih?"

"Yang di wallpaper laptopnya kan?"

"Ih iya mirip. Kalo lo nggak bilang gue nggak tau."

"Cantik ya Kakaknya."

"Tapi beneran nggak sih? Nanti cuma mirip aja padahal bukan."

"Nanti pas acara LDK kita liat aja lagi di laptopnya hahaha."

"Noh tanyain sekalian mumpung masih ada orangnya."

"Emang lo berani?"

"Ihs, buruan...."

"Nggak mau, malu!"

Setelahnya mereka terdiam dengan memperlihatkan senyum kecil ketika Gyani bangkit dari duduk dan berjalan meninggalkan mereka.

Dalam hati, Gyani ingin sekali berteriak, 'SIALAN! BIKIN GUE GEER AJA.'

.
.

.
.

Langkah Gyani terhenti ketika ia melihat tiga mahasiswa, dua laki-laki dan satu perempuan sedang berdiri di luar kelas. Mereka tampak mengobrol dengan serius, sesekali terlihat sang gadis melipat tangan di dada sambil mendengarkan kedua teman laki-lakinya sedang berbicara.

Sebenarnya Gyani tidak ingin mengganggu, tetapi Marvin mengatakan bahwa hari ini dia hanya punya waktu pagi hari saja. Selebihnya dia memiliki kelas, praktikum, dan rapat dengan para Kadiv serta BPH hingga malam.

Gyani juga tidak memiliki banyak waktu mengingat Hisyam dan Wita akan mengambil suratnya siang ini, pas waktu makan siang.

"Permisi, Kak."

Ketiga orang tersebut seketika menoleh ke asal suara membuat Gyani gugup untuk beberapa detik. Yaaa masalahnya untuk ukuran senior di kampus, mereka terlalu cantik dan tampan yang nggak ngebosenin gitu lah.

"Kenapa, Dek?" tanya perempuan tersebut yang ternyata bernama Via, terlihat dari papan nama di baju angkatan mereka.

"Di dalam ada Kak Marvin Airlangga nggak ya, Kak?"

Mereka saling berpandangan satu sama lain, lalu Via tersenyum dan mengangguk. "Ada kok, masuk aja!"

"Nggak papa Kak ini langsung masuk aja?"

"Sante, Dek. Lo Gyani kan?"

Mendapatkan pertanyaan tersebut, Gyani langsung melotot bahkan bola matanya hampir keluar. "Kok Kakak tau?"

Ketiga kembali tertawa kecil yang membuat Gyani mengerutkan kening. "Ini mau gue panggilin?"

"Ah, iya. Boleh, Kak."

Via pun akhirnya berbalik badan. Gyani kira perempuan itu akan masuk ke kelas, tapi dia justru berdiri di pintu dan berteriak ke dalam, "MARVIN, CEWEK LO NIH!"

ANJIR ANJIR ANJIR SEJAK KAPAN GUE JADI CEWEK KAK MARVIN?! MEREKA TUH SALAH ORANG DARI TADI! batin Gyani berontak.

Pengen balik ke kelas Bio, tapi Gyani sudah terlanjur di sini. Tapi kalau dia kembali, tanda tangan Marvin di dokumennya gimana? Mana hari ini hari terakhir!

Samar-samar terdengar suara, "Suruh masuk aja!"

"Masuk aja, Dek!" suruh Via lagi.

Meskipun sangat ragu, langkah demi langkah pasti Gyani akhirnya masuk ke dalam kelas berbentuk tribun tersebut.

Keringatnya mengalir deras bahkan di suhu ruangan dingin ber-ac ini. Gadis itu hanya mampu menelan ludah dengan susah payah setelah mendengar berbagai kalimat, seperti "Ohhh jadi ini....", "Cantik!" dan pujian lainnya.

Gyani menuruni tangga dengan cepat menuju Marvin yang sedang duduk di baris kedua dari bawah, sedikit risih dengan tatapan para seniornya.

"Duduk dulu, Ni!" titah Marvin seraya menarik ransel agar Gyani dapat duduk di sampingnya.

Setelah bokongnya mendarat di kursi kayu tersebut, si gadis mengeluarkan dokumen yang harus Marvin tanda tangani. Sementara laki-laki itu sibuk membaca isinya, mata Gyani mengedar sempurna. Ia dapat melihat banyak pasang mata yang memperhatikannya disertai seringai jail.

Ini jelas membuat Gyani tak nyaman dan ingin buru-buru pergi.

"Nggak usah perhatiin mereka, Ni," ucap Marvin datar tanpa memandang Gyani sama sekali. "Mereka emang kayak gitu kalo liat cewek cantik."

"Itu kertasnya nggak usah dibaca sih Kak, langsung tanda tangan aja," sergah sang gadis tak sabaran.

"Nggak boleh gitu dong, nanti salah lagi kayak kemarin-kemarin—"

"Kalo di kertas itu udah pasti bener kok, Hisyam sama Wita udah mastiin.

Tangan Marvin yang memegang pulpen pun langsung menurunkan alat tulis itu, lalu ia mengangkat kepala menuju Gyani. Mata Marvin seolah mengamati wajah si gadis yang semakin ditekuk. Mulut Gyani bahkan sudah manyun beberapa senti.

Melihat ekspresi tersebut, Marvin lantas memutar tubuh menuju teman-temannya dan berucap, "Guys ... please!"

Seketika seluruh teman-teman Marvin bersorak kecewa. "Sorry, Bos!"

Mereka akhirnya kembali mengobrol dan beraktifitas seolah-olah Gyani tidak ada di sana. Ini membuat perempuan itu mulai lega sedikit demi sedikit.

"Gue ketua kelas—"

"Gue nggak mau tau sih, nggak peduli juga," ucap Gyani memotong perkataan Marvin yang justru membuat laki-laki itu tersenyum tipis dengan kembali membaca kertas-kertas tersebut.

"Nanti gue anterin lo balik."

"Nggak perlu," jawab Gyani ketus.

Senyum Marvin semakin lebar dan ia menggeleng perlahan. "Yakin, Ni?"

Gyani lantas menghembuskan napas kuat-kuat dan berujar, "Bisa langsung tanda tangan aja nggak sih, Kak? Gue juga ada kelas!"

Marvin langsung mengikuti perkataan sang gadis, setelah itu Gyani menarik kasar kertas-kertas dan memasukkannya ke dalam map.

Saat Gyani telah bangkit dan bersiap menapaki tiap anak tangga, ada rasa tidak nyaman ketika melihat sekumpulan laki-laki telah berdiri di ujung tangga sana sambil bercerita seru.

Tidak, tidak. Dia harus bodo amat!

"Permisi, Kak!" ucap Gyani datar, tetapi teman-teman Marvin tidak mendengar sama sekali membuat si gadis kesal. Berulang kali ia mengucapkan kata tersebut, namun respons mereka tetap sama.

Gyani menghentakkan kaki kesal, lalu kembali turun ke arah tempat duduk Marvin.

"Kakak!" acap Gyani pada Marvin yang justru terdengar menggemaskan, benar-benar seperti adik kecil yang mengadu pada kakaknya.

"Kenapa, Ni?"

"Temen-temen lo nih! Gue pengen keluar dari kelas, tapi mereka malah halang-halangin." Kerutan di kening Gyani sudah berlipat-lipat dan bibir tipis itu semakin manyun tak terhingga.

"Udah gue bilang apa. Gue anterin sampe depan."

Marvin lantas menarik lembut tangan Gyani yang berjalan tertatih-tatih di belakang laki-laki itu karena langkah Marvin terlalu besar.

Hanya dengan satu kali anggukan dari Marvin, sekumpulan laki-laki tersebut langsung membuka jalan membuat Gyani dongkol setengah mati.

Selepasnya dari kelas tersebut dan tentu saja Pak Kadiv Logstran, Gyani berujar dalam hati, 'Dihhh awas aja ya, gue bakalan jadi Ibu Negara lo semua. Lo bakalan tunduk sama gue!'

Lantas setelahnya Gyani menyesal. "Anjir! Siapa juga yang mau jadi pacar alias Ibu Negara Kak Marvin. Nggak, nggak mungkin!

Hih, ini mah gue beneran masuk kandang singa."



.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top