3. Hobi: Malu-Maluin

.
.

Siang itu, Gyani akhirnya mengakhiri praktikum salah satu materi tentang Botani yang membuatnya muak. Bagaimana tidak, Botani yang khusus membahas berbagai jenis tanaman itu memiliki banyak aspek yang harus diketahui dan dihapalkan. Dan tentu saja, Gyani tidak terlalu paham. Bagi Gyani, seluruh daun, batang, dan akar bentuknya sama saja, paling hanya beda berapa sentimeter.

Ah, memang dasarnya dia tak terlalu suka dengan mata kuliah yang membahas Botani. Bandingkan dengan materi Zoologi, sudah pasti dia rela hapalkan seluruh bagian tubuh hewan bahkan jika harus begadang.

"Nan, gue langsung ke sekre BEM KM hari ini. Sorry ya gak bisa ikut lo ke mall, padahal gue dah janji," ringis Gyani.

Nanda yang saat ini masih membereskan seluruh alat tulis menulisnya pun menoleh dengan cepat mendengar perkataan Gyani. Sudah pasti dia terkejut, soalnya Gyani semalam telah berjanji untuk menemaninya membeli beberapa potong pakaian, hadiah ulang tahun untuk teman kecilnya dari Fakultas Teknik.

"Yah, kok gitu? Kok dadakan banget kek tahu bulat," acap Nanda, merenggut.

Tangan Gyani masih sibuk untuk melipat jas lab berwarna putih yang aromanya tidak karuan. Iya, karena Gyani tidak mencucinya selama hampir dua bulan. Ketika ditanya alasan belum mencuci jas lab, Gyani akan menjawab, "Dipakenya cuma sesekali ini. Cuma 2 jam doang setiap hari. Ya kan gak kotor, gak nempel keringat juga." Ew...

Perempuan berambut gelap diikat satu menghela napas. "Yahh abisnya hari ini undian gue naek, jadinya gue bareng Kadiv disuruh ke sekre BEM sebagai perwakilan divisi."

Gyani ingat bagaimana beberapa jam yang lalu, pukul 13.00 siang, Marvin tiba-tiba saja muncul di grup Logstran dan mengabsen satu per satu anggotanya. Tak disangka, semua anggota memberikan respons, sementara Gyani yang saat itu belum mengisi daya ponselnya tidak tahu menahu tentang kebisingan grup. Gadis itu baru saja mengisi daya di laboratorium, saat waktu telah menunjukkan pukul 14.00, yang berarti Gyani telat merespons selama sejam.

Yang lebih menjengkelkannya lagi adalah keputusan di grup chat tersebut yang menjelaskan bahwa anggota yang tidak muncul, otomatis akan menemani Marvin ke Sekre BEM untuk pertemuan.

"Hah..." desah Gyani.

Setelah seluruh barang dimasukkan dalam tas, Nanda kembali melirik Gyani. "Siapa, sih, Kadiv lo? Mau gue ajak kenalanlah. Kali aja bisa diajak minum kopi!" Nanda gemas sekali nampaknya.

"Eh, gue belom cerita ya?"

Nanda menggeleng. "Gak tuh. Emang siapa?"

Gyani seketika mengerucutkan bibir. "Noh, Marvin, cowok yang lo bilang ganteng puolll."

Seketika ekspresi Nanda berubah cerah-ceria, senyumnya terlihat lebar sore itu yang membuat Gyani sempat menatapnya seram. "Ahhhh buset ... padahal nih kampus gede, mahasiswanya juga banyak bener. Satu angkatan aja lebih dari serebu kaleee. Tapi kok bisa ya? Kok bisa gitu? Kek takdir gak sih?"

Gyani mengedikkan bahu. "Apaan takdir takdir? Noh satpam depan gerbang utama namanya Pak Takdir. Ah, jangan tanya gue. Coba tanya semesta."

"Sok anak senja lo!" hardik Nanda. "Yodahlah, ikutin aja Kadiv lo sana!"

"Sorry ya." Gyani memperlihatkan ekspresi imutnya yang membuat Nanda menautkan kedua alis, jijik.

"Gak papa. Tapi bentar malam bawain gue martabak."

Ogah!

Gyani saja tidak tahu sampai jam berapa ia berada di Sekre bersama Bapak Kadiv. Syukur jika itu tak sampai tengah malam. Tapi kalau memang pertemuannya akan berakhir larut malam, sudah dapat dipastikan bahwa jatah tidur Gyani akan berkurang, mengingat dia harus belajar untuk mempersiapkan kuis esok hari.

Hah, siapa yang tidak SKS (Sistem Kebut Semalam) di era sekarang ini?

"Dih, minta sama Dodit gih!"

Dodit, mahasiswa Fakultas Perikanan tercaper sedunia yang juga ngekos tepat di depan kosan Nanda. Nampaknya seluruh penghuni gang Dodol --julukan untuk gang kosan Gyani dan Nanda-- tahu jika ia menaruh perasaan pada Nanda yang memang primadona fakultas MIPA. Terkadang Dodit akan mengirimkan martabak, cokelat, snack, atau apapun itu dan digantung di pagar kosan Nanda. Lengkap dengan kata-kata romantis yang membuat bulu kuduk berdiri.

Dan memang benar, memiliki tubuh semok dan seksi menjadi nilai lebih Nanda di mata sebagian besar kaum hawa dan adam. Tak sedikit yang mengatakan perasaannya pada Nanda, tapi perempuan itu menolaknya mentah-mentah. Bagi Nanda, dia sudah punya kriteria tersendiri. Tetapi, ia belum menemukannya pada pemuda-pemuda yang menyatakan perasaannya. Entahlah, pikiran Nanda memang sulit ditebak.

"Ah, lo mah gitu." Nanda merajuk kayak bocah di depan gang kosan yang dipanggil ibunya saat sedang lagi seru-serunya bermain lumpur.

Berbicara tentang tempat tinggal, kosan Gyani memang bersebelahan dengan kosan Nanda, dipisahkan oleh dinding tipis. Setipis dompet.

Mereka baru menyadari jika mereka tinggal satu gang setelah acara ramah tamah penerimaan mahasiswa baru jurusan Biologi berakhir. Hari itu, mereka berdua pulang dengan jalan yang berbeda. Setelah Gyani tiba di kosan, begitu pula Nanda, mereka saling bertatapan di depan pagar dan menyapa satu sama lain.

Sejak saat itu dan mengingat mereka satu jurusan juga, mereka pun semakin dekat. Tidak terpisahkan, bahkan sepertinya ini adalah pertama kali Nanda akan berangkat ke mall tanpa Gyani. Huft...

"Ya gue mana tau selesai jam berapa, Nan."

"Iya juga, sih. Tapi kalo sempet, beliin ya? Mau nginep di kamar gue gak?"

"Pengen, tapi kayaknya gak bisa soalnya gue mau belajar buat kuis besok."

Nanda melambaikan satu tangannya. "Alah, sejak kapan lo belajar? Besok minta contekan ke Tamara aja."

Ah, ya, Tamara, mahasiswa peraih IPK hampir sempurna itu di setiap semester memang sangat baik hati, selalu memberikan contekan. Makanya tak sedikit yang senang dengannya. Nanda langganan nyontek di Tamara, tapi tidak dengan Gyani. Motto hidup Gyani, selama masih bisa mengerjakan sendiri ya dikerjakan tanpa bantuan orang, kecuali jika ada orang yang menawarkan bantuan. Nah, itu beda cerita.

"Nanti diliat, deh. Sekarang gue harus cus ke Sekre. Ya ampun, mana jauh banget lagi."

Gyani membuang tatapannya keluar lab, memikirkan dirinya yang harus berjalan kaki di tengah hari panas ini, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 tapi tak ada tanda-tanda suhu akan menurun.

Gadis itu bisa saja berangkat menuju halte dan menunggu bus kampus. Sayangnya, ia mungkin sudah sangat terlambat mengingat saat ini halte pasti telah penuh sesak dengan mahasiswa dari dua fakultas lain yang juga akan pulang, Kedokteran dan Pertanian. Jarak antara satu bus dengan bus yang lain sekitar 15 menit. Jadi, Gyani memutuskan untuk berjalan kaki saja, melewati kebun-kebun Fakultas Pertanian. Jika beruntung, Gyani terkadang bertemu sahabatnya, monyet-monyet bergelantungan di pohon sambil memperlihatkan cengiran lebar.

"Yodah sono! Liat nih, udah gak ada orang di Lab," suruh Nanda.

"Turunnya bareng aja, yuk," ajak Gyani.

Membayangkan turun ke lantai dasar sendirian membuat Gyani bergidik, soalnya gedung memang sudah kosong melompong. Cepat banget matinya nih gedung!

Laboratorium jurusan Biologi memang terletak di lantai 5 gedung. Biasanya mahasiswa akan menggunakan lift secara bergantian. Tapi, berhubung liftnya macet dimakan usia, mereka harus berolahraga perbesaran betis.

Perasaan sial mulu gue hari ini, batin Gyani.

"Yaudah deh, yok yok. Gak usah nangis gitu. Muka lo dari jelek tambah jelek," cibir Nanda seraya bangkit dari duduknya.

Tak terima, Gyani menatap Nanda dongkol. "CIHHHH."

.

.

Gyani akhirnya tiba di gedung BEM KM, gedung yang hampir sebesar setengah gedung fakultas. Sejujurnya, ini pertama kali Gyani berkunjung ke gedung BEM. Sebab, dia memang selama ini tak punya kepentingan dan jaraknya dari Fakultas MIPA lumayan jauh.

Dari banyaknya mahasiswa yang lalu-lalang, tak ada satupun yang Gyani kenal. Sehingga mau tak mau, ia masuk seorang diri. Ketika kakinya menapak pada pintu utama, dua orang perempuan yang Gyani perkirakan adalah senior pun menegur. Harus ditegur, soalnya Gyani sekarang seperti anak ayam yang kehilangan induk, celingak-celinguk tidak jelas.

"Nyari siapa ya?" ucap salah seorang perempuan berkulit sawo matang dan bergincu merah merona. Benar-benar menarik perhatian Gyani.

"Ah, itu, Kak, hari ini ada pertemuan perwakilan tiap divisi untuk NFD (NEO Field Day). Nah, saya jadi salah satu perwakilan. Saya pengen nanya, ruangannya di mana ya, Kak? Mungkin Kakak tahu," ujar Gyani dengan senyum kikuk.

Kedua perempuan itu sempat saling menatap untuk beberapa detik, sebelum salah seorang lainnya menunjuk ke arah lorong sebelah kanan. "Di sana. Kalo ruang pertemuannya gak tau ya. Tapi coba ke sana dulu aja, soalnya ruangan utama untuk seluruh panitia NFD ada di sana."

Gyani sempat melirik sebentar ke arah lorong dan menyadari bahwa ruangan di gedung ini sangat banyak, hampir semuanya ruangan yang berdempetan satu sama lain.

"Maaf, Kak, tapi yang mana ya?"

Perempuan berkulit putih memakai kacamata pun menaikkan jempolnya, menunjuk ruangan kedua dari ujung. Tentu saja ini membingungkan bagi Gyani, sebab seluruh pintu berwarna sama, yaitu cokelat. Ditambah dengan tak ada tanda di depan pintu yang menunjukkan ruangan apa saja di sana.

"Oh itu ya, Kak? Yang di sebelah kiri?" Gyani kembali memastikan.

"Iya bener."

"Sebelumnya makasih banyak ya, Kak." Gyani tersenyum ramah.

"Sama-sama."

Dengan langkah cepat, Gyani pun berhenti di depan pintu dan menemukan telah banyak sepatu yang berjejer rapi di atas lantai.

Jika dilihat kembali, memang Gyani sudah terlambat mengingat Marvin memberitahu di grup bahwa jadwal pertemuannya adalah pukul 16.00 dan Gyani tiba pukul 16.18. Jangan ditanya lagi bagaimana gugupnya gadis itu yang mungkin beberapa detik lagi akan menjadi pusat perhatian. Gyani hanya berharap bahwa di dalam sana sudah ada Marvin.

Tok... Tok... Tok...

Pintu pun berhasil ia buka, dan benar saja seluruh tatapan perwakilan divisi pun tertuju padanya. Gyani dapat bernapas sedikit lega ketika melihat Marvin telah duduk bersila dan melingkar bersama panitia lainnya di atas karpet hijau. Tak seperti yang lain dengan wajah datar, Marvin sendiri tersenyum simpul ketika melihat anggotanya.

"Permisi, Kak. Saya Gyani, perwakilan Divisi Logstran. Maaf, Kak, saya terlambat karena baru selesai praktikum. Saya izin masuk forum. Boleh?" ujar Gyani dengan suara pelan.

Brian, sang ketua pun mengangguk pelan. Seraya menengadahkan satu tangan, dia mempersilakan Gyani bergabung.

Derap gadis itu kemudian berhenti tepat di samping Marvin yang sedari tadi sudah memanggilnya dengan lambaian tangan.

"Maaf, bisa agak kesanaan dikit, gak? Biar Gyani di sini," suruh Marvin lembut pada seorang perempuan yang duduk tepat di sampingnya.

Sejujurnya, Gyani sedikit tak enak hati dengan perlakuan Marvin. Sebab, beberapa perwakilan terlihat duduk di mana saja, tidak harus duduk berdampingan satu divisi.

"Maaf ya, Kak," imbuh Gyani pada panitia perempuan yang diketahui bernama Sofie, lalu mendudukkan dirinya tepat di samping kanan Marvin.

"Oh iya, gak papa kok. Santai aja," balas Sofie dengan senyum manisnya.

Marvin sempat menoleh pada Gyani dengan wajah cerahnya itu seraya berbisik, "Makasih ya udah dateng."

Mendengar itu, hati Gyani mendadak bergetar. Padahal Marvin cuma mengucapkan terima kasih dan menyediakan tempat duduk untuknya, bukan perlakuan romantis ala Dodit atau memberikan kata-kata menghujam nurani seperti di belakang mobil truk.

Lalu, apa yang membuat Gyani sekarang terlihat salah tingkah dengan wajah memerah? Ah, mungkin senyum manis Marvin yang membuatnya menjadi seperti ini.

Sepertinya karma mulai menimpa perempuan itu. Beberapa hari yang lalu, dia tidak menganggap Marvin tampan, justru sebaliknya ia menyarankan Nanda yang notabene paling ngebet minta nomor Marvin untuk mencari pemuda lain. Tapi sekarang, Gyani mulai memandang Marvin yang sangat menawan dengan kaos hitam, rambut ditata yang memperlihatkan kening, celana jeans tidak robek-robek alias normal. Dan yang paling penting, Marvin wangi banget.

"Sial!" umpat Gyani yang tersenyum sambil gelenhg-geleng, membuatnya kembali menjadi perhatian.

"Ada apa, Gyani?" tanya Brian diikuti oleh tatapan meminta penjelasan dari seluruh panitia.

"Eh?" Gyani tiba-tiba tersenyum bodoh sambil mengangkat pulpen di depan dada. "Ah, itu, Kak. Tadi apa? Maaf, aku gak denger penjelasannya."

Mendengar itu, Brian sontak menyunggingkan senyum dan kedua alis yang menyatu. "Penjelasan? Ah, kita aja belom mulai pertemuannya, lho, Gyani."

YA AMPUN, MALU BANGET!

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top