28. Kesempatan Selalu Ada

.
.

Gyani tidak menyangka jika harus ketinggalan bus kampus di pagi itu yang mengharuskannya berjalan kaki cukup jauh menuju gedung Biologi. Sebenarnya dia masih bisa menunggu, tapi mengingat jarak kedatangan antar bus satu dengan lainnya lumayan lama terlebih sudah banyak yang mengantri di halte, dia pun memilih menyerah.

Gadis itu nggak mau jadi pepes di dalam bus, apalagi ini masih pagi. Pantang marah-marah dan bete di pagi hari, katanya. Yaaa namanya juga hidup. Kalo nggak apes ya apes banget.

Tidak ada yang menarik di kelas hari ini, termasuk materi Genetika yang sudah mengobrak-abrik isi otaknya dengan kata-kata persilangan, alel, intermediat, P1, F1, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, ini tidak sepenuhnya sulit, hanya saja ia merasa harus banyak menghapal di luar kepala. Gyani juga sedikit terbantu dengan duduk di samping Tamara sepanjang hari, mengingat Tamara akan langsung menjelaskan padanya jika Gyani mulai tidak mengerti.

Sedangkan Nanda, akhir-akhir ini dia lebih banyak diam dan duduk jauh dari Gyani. Terkadang dia ingin bergabung ketika Gyani, Tamara, dan teman-teman lainnya makan siang di kantin. Tetapi Gyani langsung bangkit dan pergi dari sana.

Gyani selalu berkata pada diri sendiri bahwa Nanda tidak bersalah sama sekali, tapi perempuan itu juga tidak ingin di dekat Nanda. Yaaa rasanya masih belum ikhlas aja. Entah apa yang harus diikhlaskan.

Setelah kelas berakhir, Gyani pun akan keluar ruangan sambil berjalan lambat dan tatapan jatuh. Baru saja dia melewati pintu, terdengar suara seseorang yang membuat Gyani menoleh cepat.

"Ni...."

Gyani langsung terbelalak dan berseru, "Lho, Kak Marvin? Ngapain di sini, Kak?"

Ya mau ketemu pacarnya lah, pake nanya lagi lo, Gy! Ah, males banget.

"Ah, mau ketemu Nanda ya? Dia ada di dalam lagi beres-beres. Gue duluan ya, Kak—"

"Eh, Ni," Marvin menarik ransel Gyani yang membuat gadis itu tertarik ke belakang secara otomatis. Eh buset, nariknya pake tenaga dalam apa gimana, Gyani hampir aja jatuh seandainya dia tidak bisa menyeimbangkan badan. "Gue mau bicara sama lo hari ini, bisa nggak?"

Mendengar pertanyaan seperti itu, Gyani sekali lagi membalikkan badan menuju Marvin dan membuang napas kuat-kuat. Alih-alih pergi sana dan tidak memedulikan Marvin, Gyani hanya membalas singkat, "Bisa."

Senyum itu, senyum cerah nan manis yang selalu terpatri di wajah Marvin ketika melihat Gyani di hari-hari awal kepanitiaan atau ketika mereka tidak memiliki masalah, kembali muncul. Kedua pipi yang terangkat, binar tatapan penuh pengharapan, dan nada bicara yang antusias dari Marvin sejenak membuat hati Gyani menghangat.

"Gue pengen cerita banyak sama lo, Ni. Oh iya lo bisanya jam berapa? Malam setelah pertandingan basket bisa kan? Kita makan berdua aja."

Gyani lantas mengernyit. "Berdua doang? Lo nggak salah, Kak?"

"Ya nggak lah. Kan gue mau ngomong cuma sama lo, bukan sama yang lainnya. Oh iya ini—" Marvin merogoh saku celana dan mengeluarkan ID Card milik Gyani, "gue mau kembaliin ini ke orangnya. Soalnya gue mau divisi gue full team."

Full team doang? Huft....

Marvin menyodorkan tangan, lalu Gyani menatap ID Card itu sejenak. Baru saja tangannya akan bergerak untuk mengambil benda persegi tersebut, kembali namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang. Refleks, Gyani pun memutar tubuh dan melihat orang yang berteriak dari koridor sebelah.

Senyum Gyani lantas mengembang sempurna, lalu berlari meninggalkan Marvin tanpa berpikir panjang untuk menghampiri Yusuf alias Ucup. Ia dapat melihat tangan laki-laki itu melambai semangat ke arahnya.

"Nih botol minum lo. Ketinggalan waktu futsal kemaren," ujar Ucup ketika sang gadis menghampiri.

Berdiri berhadapan di koridor seharusnya dapat dilihat jelas oleh Marvin di seberang sana. Sayangnya, laki-laki itu tidak dapat mendengar perkataan mereka.

"Makasih ya, Cup," balas Gyani seraya mengambil botol minum ungu berukuran 1 liter tersebut. "Oh iya, Cup. Gue boleh minta tolong, nggak?"

"Boleh, apaan?"

"Peluk gue!"

"Heh!" seru Ucup dengan mata terbelalak. "Gila lo!"

Gyani langsung manyun. "Katanya mau bantuin gueee."

"Ya mau, tapi nggak meluk lo juga. Nanti diliat orang lain gimana?"

"Ya itu tujuan gue, supaya diliat sama cowok yang pake ransel hitam di depan ruangan gue tadi. Coba lo lirik ke kiri deh, dia masih ada di sana, kan?" ucap Gyani yang membuat pandangan Ucup seketika berpendar untuk melihat laki-laki yang dimaksud.

Benar saja, Marvin masih setia berdiri sambil tatapan terpaku pada Gyani dan Ucup.

"Jangan bilang itu Si Anjing yang lo tanyain waktu itu?" tanya Ucup yang langsung diberi anggukan oleh Gyani. "Mau lo balas?"

Anggukan kedua kalinya.

Tanpa berpikir panjang, Ucup langsung menarik Gyani dalam pelukan dan menepuk-nepuk punggung gadis berambut panjang tersebut. Jujur saja, dia jadi ingin mengeluarkan air mata saat itu. Tapi Gyani sadar, orang di depannya ini bukan Gani atau pun orang tuanya. Andaikan Ucup adalah Gani, sudah pasti Gyani terisak hebat.

Setelah itu Ucup melepaskan pelukan dan mengacak ringan puncak kepala Gyani sambil mengatakan, "Sorry ya, tapi yang jadi pacar gue nanti itu si Fatma—"

Gyani langsung tertawa lebar dan meninju bahu Ucup membuat laki-laki itu meletakkan kembali tangannya. "Ya tauuu, lo kan cuma sahabat gue."

"Nah gitu dong...."

"Btw Ucup terima kasih ya udah repot-repot bawain ini," acap Gyani seraya memainkan botol minum kosong itu di tangan.

Ucup mengangguk pelan. "Santai, kek siapa aja."

Setelahnya, Ucup pun izin undur diri. Sebelum pergi, cowok itu mengatakan bahwa ia memulai persiapan untuk tanding nanti sore dengan menjadi cadangan di pertandingan cabang basket.

Ah iya, Ucup selain aktif di futsal, dia juga bagian dari tim basket fakultas. Memang 11 12 lah sibuknya kayak Gyani.

Semakin lama, Ucup akhirnya menghilang dari pandangan. Ini sontak membuat Gyani memutar tubuh ke arah tempat Marvin berdiri sebelumnya dan kembali ia melihat hanya punggung laki-laki itu yang semakin lama semakin menjauh.

.
.

.
.

"Cuy, mau gabung, nggak?" tanya Sera pada Gyani yang kini sedang merapikan beberapa air minum kemasan di atas meja di sudut ruangan tim yang akan bertanding hari ini.

Sebelum para peserta datang dan memasuki ruangan ganti masing-masing, panitia memang selalu menyiapkan kebutuhan mereka termasuk minuman kemasan dan makanan ringan.

"Mau ngapain?" tanya Gyani tanpa memandang Sera sama sekali.

Tangan Sera mengikuti gerak tangan Gyani di atas meja. "Karokean. Abis pertandingan ini tapinyaaa."

"Tapi kan ada eval, Ser."

"Emang lo pikir Humas nggak ada eval juga. Paling nggak lama kok evalnya, abis itu kita cauw. Mau, nggak?"

Gyani berpikir sebentar hingga akhirnya ia mengangkat wajah dan menilik ekspresi Sera yang kini sedang menaik-turunkan alis, sepertinya berharap Gyani ikut.

"Yang join siapa aja, Ser?

"Cuma gue, Mutia, sama Sofie. Mau ikut, nggak?"

"Ehm ... liat nanti deh ya, takutnya Logstran mau ngapain lagi gitu. Maklum divisi kuli ye kan."

Gyani dan Sera pun berbagi senyum setelahnya.

Tidak lama kemudian, tim basket dari kedua tim yang tidak lain ada mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas SRD pun mulai memasuki dua ruangan yang berbeda. Setelahnya, Fakultas Perikanan dan Sastra yang akan saling sikut. Rasanya pertandingan malam ini akan seru, mengingat keempat fakultas tersebut memang menonjol di basket.

Jangan tanyakan bagaimana Fakultas Perikanan yang selalu menjadi juara pertama di cabang ini tiap tahunnya. Mungkinkah malam ini mereka akan menyerahkan gelar atau mempertahankannya? Layak banget buat disaksikan.

Malam ini adalah penentuan fakultas mana yang berhak menuju partai final basket putra NFD.

Melihat antusias seluruh pemain, official, dan suporter yang mulai mengisi tribun, Marvin pun mulai mengerahkan para panitia Logstran agar melakukan jobdesk mereka. Tidak boleh leha-leha, katanya melalui HT.

Hingga akhirnya pertandingan pertama antara Fakultas Ekonomi dan Fakultas SRD beradu. Gyani yang berdiri di sudut kiri gym—dekat dengan pintu keluar—bisa menyaksikan ekspresi Cici dan Rian yang menggebu-gebu.

Terkadang Cici akan mengumpat, lalu dibalas pula umpatan yang dua level lebih kasar lagi oleh Rian. Mendengar teman-temannya yang berdiri di sampingnya itu, Gyani hanya geleng kepala sambil tersenyum. Memang sudah jadi kebiasaan absen kebun binatang.

Kemenangan ini akhirnya diraih Fakultas Seni Rupa dan Desain membuat Cici dan Rian melompat-lompat ringan sambil berpelukan. Tak berselang lama, mereka berdua bergabung dengan suporter SRD yang merayakan di lapangan sambil menyanyikan yel-yel andalan.

Untuk partai selanjutnya, Gyani mengernyit sebentar ketika Wita bergabung dengan suporter Fakultas Perikanan. Tapi Gyani tidak protes, mungkin saja memang Marvin yang memperbolehkannya mengingat apa yang terjadi selama ini dengan Wita. Mungkin dengan menjadi bagian suporter, dia bisa berteriak dan mengeluarkan semua yang dia rasakan selama ini.

Entahlah, ini hanya kesimpulan singkat Gyani. Soalnya dia juga tidak tahu apa yang ada di pikiran Marvin, padahal sosok laki-laki itu berdiri di lapangan sebelahnya yang secara langsung menjurus ke Wita.

Bohong banget kalo Marvin nggak liat!

Setelah kejar-kejaran poin, sudah dapat diprediksi bahwa Fakultas Perikanan keluar sebagai juara. Ini akhirnya membawa mereka melawan SRD di final nantinya.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.43, seluruh panitia mulai membersihkan gym dibantu oleh petugas kebersihan. Dirasa telah bersih, para panitia duduk melingkar dengan masing-masing divisi termasuk Logstran yang berada di tribun. Iya, evalnya di tribun.

Para anggota pun duduk tidak beraturan. Juan dan Cakra bahkan duduk di atas besi panjang pembatas yang berada di depan tribun.

"Oke, untuk hari ini terima kasih banyak atas kerjasamanya. Oh iya, ada kendala nggak tadi di lapangan?" tanya Marvin dengan pandangan tertuju pada seluruh tim.

Kirana berujar, "Nggak ada sih, Kak. Cuma tadi ada dua papan score meja yang patah—"

"Itu punya siapa?" tanya Jawad.

"Satu punya UKM, satunya lagi punya gym. Itu tuh patah gegara nggak sengaja keinjek anak Divisi Acara. Bete banget deh."

Wita mengangkat tangan yang membuat semua atensi tersita padanya. "Harganya berapaan ya kalo diganti?"

"Kalo nggak salah satu papan itu sekitar 100 sampe 150 ribu deh. Kalo nggak salah yaaa." Juan bersuara sambil menggoyang-goyangkan kaki kayak anak kecil. "Kalo mau beli, gue ikutan ya."

"Gue juga ikut." Rian cengir lebar sambil mengangkat satu tangan. "Soalnya mau liat-liat, kali aja bisa beli sesuatu gitu."

Wita refleks menepuk paha. "Jangan asal beli-beli dulu dong, Kak. Uangnya dulu dipikirin soalnya duit Logstran udah terbatas. Oh iya deng—" Wita langsung menoleh pada Hisyam, lalu menengadahkan tangan dan tersenyum lebar, "balikin duit Logstran 200 ribu, Kak."

"Iya iya gue ganti, buset dah. Santai ... gue juga mikirin cara buat nyolong duit beras ini," jawab Hisyam asal yang membuat seluruh panitia tertawa.

Mereka kemudian membahas beberapa hal yang dirasa bisa diselesaikan hari ini, ya dikerjakan malam ini juga. Mereka tidak ingin menumpuk pekerjaan karena memang pekerjaan Logstran tidak akan selesai kecuali closing telah diadakan.

Akhirnya eval malam itu pun ditutup oleh Marvin. Baru saja beres-beres catatan, Sera dari bawah telah memanggil Gyani.

"Gy, ayuk!" seru Sera sontak membuat Marvin—yang duduk tepat di samping Gyani—pun memegang satu tangan si gadis yang masih menumpu pada tempat duduk.

Ini jelas membuat Gyani terkesiap, hingga keduanya saling terpaku untuk beberapa detik.

"Kenapa, Kak Marvin?" tanya Gyani pelan, "ada yang mau lo omongin?"

"Ah, lo ... itu ... lo mau ke mana?" tanyanya terbata-bata, tidak sadar jika mereka berdua kini jadi tontonan anggota Logstran yang belum beranjak sedari tadi.

"Mau pergi bareng Sera, Sofie, sama Mutia, Kak. Soalnya gue udah janji sama mereka mau jalan."

"Terus gue? Ah ... maksudnya—" ucapan Marvin terhenti sebentar, "Itu lho, yang tadi...."

"Yang tadi emang kenapa, Kak?" tanya Gyani seraya mengerutkan kening.

Bohong jika Gyani benar-benar tidak mengingat apapun. Dalam hati perempuan itu sudah bergema kalimat-kalimat 'Kak gue inget kok apa yang lo bilang di depan ruangan kelas gue tadi. Please, tahan gue. Tahan gue. Ya ampun, mau banget ini gue ditahan biar kek drama-drama gitu.'

Itu adalah harapan si gadis, tapi kenyataannya...

"Ah, nggak jadi deh. Lain kali aja," ungkap Marvin dengan tatapan sayu dan senyum tipis, "have fun ya, Ni."


WOALAH CUY, SUDAH DAPAT DIDUGA!


.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top