26. "Sorry...."
.
.
Bodoh, satu kata yang berulang kali Gani ucapkan saat Gyani curhat padanya tentang Si Kadiv beberapa hari yang lalu. Lengkap dengan air mata dan sesenggukan tiada henti sepanjang malam. Habis sudah satu kotak tisu cadangan untuk nonton drama korea.
Bodoh?
Mungkin Gyani memang sedari lahir sudah seperti itu, selain malu-maluin, tentunya.
"Selamat sore semuanya, kenalin nama gue Gyani, panitia Divisi Pertandingan yang bertanggung jawab di pertandingan futsal hari ini," ungkapnya penuh senyum lebar ketika berada di pinggir lapangan dengan kedua tim yang berada di hadapan gadis itu.
Cabang yang akan bertanding diketahui adalah futsal putra dengan Fakultas MIPA melawan Fakultas Hukum. Sebagai panitia tentu Gyani akan bersikap profesional, walaupun hari ini ia ingin sekali berteriak sebagai suporter dari bangku penonton.
"Untuk waktu, peraturan, dan lain sebagainya udah dijelasin di technical meeting. Pelatih dan juga penanggung jawab futsal tiap fakultas yang ikut techmeet, pasti juga udah info ke kalian kan ya? Kalo misalnya masih ada pertanyaan yang belum terjawab, silakan langsung bertanya pada panitia yang tersebar di pinggir lapangan.
Oh iya, gue juga minta tolong ke manager tiap tim buat ngumpulin Kartu Tanda Mahasiswa untuk diserahkan ke panitia humas sebagai bagian dari administrasi.
Terima kasih atas perhatiannya dan tetap junjung tinggi sportifitas."
Gyani menarik tangan salah satu panitia Humas yang sedang berdiri di sampingnya agar segera menangani dokumen diri para pemain. Setelah itu, Gyani pun pamit mengundurkan diri dari pinggir lapangan.
Sebelum beranjak, ia sempat melirik ke arah tribun dan melihat Marvin sedang berdiri seraya melipat kedua tangan. Tatapan laki-laki itu lurus ke arah Gyani yang membuat sang gadis tidak nyaman, lalu melenggang begitu saja menuju meja informasi.
Tidak mengherankan Marvin berdiri di sana dengan tatapan tajam, mengingat Aries ikut bermain hari ini dan Aries nampaknya sangat dekat dengan Gyani. Sebelum bertanding pun keduanya sempat mengobrol santai hingga tawa gadis itu menguar. Rasanya kesedihan perempuan itu lenyap untuk beberapa saat.
Selain itu, Marvin juga harus menyaksikan kedekatan Ucup dan Gyani. Seketika darah laki-laki tersebut mendidih dan itu terlihat jelas dari tingkah laku serta kata-kata ketus yang dilontarkannya pada beberapa panitia.
Halah! Cuekin aja laki-laki itu.
"Jobdesk lo di sini, Ser? Nggak jadi di lapangan voli?" tanya Gyani pada Sera, panitia Divisi Humas yang sedang duduk sendiri di meja informasi.
Sera, pemilik lesung pipi itu tersenyum dan menggeleng pelan. "Iya nih, harusnya gue di sana ehhh tiba-tiba Kak Afdal nyuruh gue tukeran tempat sama yang lain, jadi yaudah gue ke sini deh."
Sera sempat celingak-celinguk sebelum kembali lagi berujar, "Tumben lo sendiri. Anak Logstran yang lain pada di mana?"
Gyani mengangkat tangan di depan dada dan bergerak seolah-olah sedang menepuk udara. "Biasalah, Logstran pada ke lapangan voli. Cuma gue sama Kak Marvin di sini. Yaaa lo tau sendiri panitia Logstran kan rata-rata laki-laki. Nggak bisa liat cewek pake rok atau celana pendek voli—"
"—eh ya ampun, lemah amat," ucap Sera cepat membuat keduanya kontan tertawa. "Baru paha tuh, belom yang lain."
"Heh! Mulut lo ya," sergah Gyani di sela-sela kekehan mereka.
Sebab sudah terlalu sering berada dalam satu tugas kepanitiaan yang sama, Gyani dan Sera nampaknya mulai menghilangkan rasa canggung satu sama lain. Terlebih Gyani yang mudah berbaur pada siapapun membuat Sera nyaman.
Percakapan terus berlanjut dengan topik ringan tentang tempat makan enak di sekitar kampus, kebiasaan ketika di kelas, dan lain sebagainya. Mereka larut dalam percakapan yang ternyata kebiasaan mereka tak berbeda jauh. Ini semakin menambah keseruan.
Hingga akhirnya Sera menutup rapat mulut ketika seorang perempuan mendekati Gyani dengan berbagi senyum tipis.
Meja informasi yang berada dekat dengan pintu utama gymnasium itu kedatangan satu orang lagi, tapi dia bukan panitia NFD.
Perempuan tersebut secara perlahan berdiri di samping Gyani, namun lawan bicaranya masih fokus ke arah Sera dibandingkan orang tersebut. Gyani bahkan tidak menyadari kehadiran si gadis.
"Gy ... gue boleh ngomong, nggak?" ujarnya dengan pelan dan hati-hati.
Mendengar itu, Sera kembali menunduk sambil memeriksa tumpukan kertas yang ada di hadapannya. Sebisa mungkin mencoba tak mendengar percakapan Gyani dan perempuan yang tak ia ketahui namanya.
Gyani masih di posisi semula dengan kedua tangan terlipat dan menumpu di atas meja informasi tersebut. Tanpa repot memandang, Gyani sudah kenal dengan suara tersebut dan membalas, "Tinggal ngomong sih, Nan. Kek orang lain aja."
Ada hening beberapa detik.
"Lo ... kenapa ngejauhin gue?"
HELLOW??? PERTANYAAN APA ITU?!
"Gue nggak ngerasa jauhin lo," Gyani sontak memutar kepala menuju sang penanya dengan wajar datar, "perasaan lo aja, Nan."
"Akhir-akhir ini lo nggak duduk di samping gue kalo di kelas. Trus lo selalu jalan sama Tamara. Sampe-sampe anak kelas pada bilang kalo gue sama lo ada masalah—"
"Gue nggak ada masalah sama lo," acap Gyani cepat seraya menghadapkan tubuh ke arah Nanda, "kecuali kalo lo sendiri merasa ada masalah sama gue. Lagian bentar lagi mau ujian, gue butuh Tamara."
"Alasan lo nggak banget, Gy. Kek bocah!" ucap Nanda dengan nada sedikit mengejek. "Kalo misalnya kita nggak ada masalah harusnya kan hari ini lo ngajakin gue nonton pertandingan seperti yang biasa lo infoin ke gue. Atau ... nggak usah jauh-jauh deh, gue nggak suka ekspresi lo itu. Lo kalo nggak suka sama orang keliatan banget soalnya."
Gyani hanya mengembuskan napas kuat-kuat sambil menggeleng pelan, bersiap untuk memutar tubuh dan kembali menuju tribun.
Dia benar-benar tidak ada energi untuk meladeni temannya itu setelah berkutat dengan pikiran sendiri. Terlebih, ia juga harus bertanggung jawab di beberapa pertandingan minggu ini yang sudah membuat kepalanya terasa mau pecah.
Sayangnya, langkah perempuan itu terhenti ketika Nanda secara refleks memegang tangan Gyani.
"ANJING! BISA NGGAK SIH NGGAK USAH MEGANG-MEGANG?!" bentak Gyani kasar dengan suara yang menggema. Intonasi tinggi tersebut bahkan mengalahkan peluit milik wasit yang saat itu masih bertugas di lapangan.
Tanpa berpikir panjang, Gyani menghempas tangan Nanda dan membuat si gadis mengatupkan rahang sempurna. Entah ia sadar atau tidak, tapi Gyani sudah muak.
"GUE CAPEK!" ungkap Gyani sekali lagi pada Nanda yang sudah menundukkan tatapan.
Gym tiba-tiba layaknya tempat mati, keheningan dari berbagai penjuru dapat dirasakan. Pertandingan dan riuhnya penonton sempat terinterupsi untuk beberapa detik, lalu kembali seolah-olah tak terdengar sesuatu.
"Lo nggak perlu bentak sampe segitunya di depan semua orang kan, Ni?"
Sudah dapat ditebak siapa yang berbicara saat ini. Dia yang berdiri di samping Nanda dengan kedua tangan berkacak pinggang, benar-benar menjadi ciri khasnya.
Gyani memandang ke sekitar dan melihat beberapa panitia memang sedang berdiri di sekitar pintu utama. Ada yang bergerombol untuk bergosip ria, hanya mengobrol berdua, atau sendirian sedang menenggak minuman sambil menyaksikan pertandingan.
Sera bahkan telah menjauh dari meja informasi dan menyandar pada dinding di belakangnya. Semua aktivitas itu terhenti dan membuat Gyani menjadi pusat perhatian sekarang.
Ah, tolonglah! Ini bukan sesuatu yang baru bagi Gyani. Sudah dapat dihitung berapa kali ia mengalami situasi yang sama.
"Lo bisa bentak gue di depan orang kemarin-kemarin. Kenapa sekarang gue nggak bisa ngelakuin hal yang sama?" tanya Gyani seraya memajukan tubuh ke arah Marvin seolah menantang laki-laki itu.
Marvin menghela napas dan berusaha meraih satu tangan Gyani. "Kita balik, yuk! Lo tadi bilang lo kecapean—"
"Iya, gue capek! Capek banget," kata si gadis sambil menghempas kuat-kuat tangan Marvin. "Gue mau pulang!"
Langkah Gyani meninggalkan gymnasium tanpa menghiraukan sapaan panitia yang baru saja kembali lapangan voli membuat semua orang kebingungan, termasuk Marvin yang kini mengekor di belakang Gyani.
Tetap berjalan meskipun ia tahu bahwa laki-laki itu mengikutinya membuat Gyani risih setengah mati. Dia merasa seperti dibuntuti oleh debt collector atau abang pinjol. Please deh, paylaternya bahkan tidak pernah diaktifkan karena takut kalap.
Sesampainya di parkiran yang sepi, Gyani berhenti dan menghentakkan satu kaki. Ia melepaskan ID Card panitia yang menggantung, lalu memutar tubuh menuju laki-laki yang juga menghentikan derap. Jarak yang tidak terlalu jauh itu membuat Gyani dapat menatap Marvin lekat.
"MAU LO APA SIH, KAK?!" geram Gyani. Deru napasnya terdengar berlomba saat itu membuat Marvin tercekat. Beberapa kali laki-laki itu akan bersuara, namun urung.
"GUE CUMA MAU PULANG!"
Mereka hanya saling berbagi tatapan selama beberapa detik membuat pertahanan Gyani mulai goyah. Perempuan itu berusaha mengigit bibir bawah, tak ingin kalah di depan laki-laki yang kini sudah menampilkan mata sayu dan kedua bahu jatuh bebas.
Memang benar, keduanya sama-sama capek!
Akan tetapi, Marvin mungkin hanya letih pada fisik. Sementara Gyani dihantam oleh dua arah, fisik dan batin. Bodohnya, Gyani masih meladeni cowok ini padahal sudah banyak orang yang menyuruhnya untuk menjauhi Marvin.
Apa Gyani harus berpikiran ulang untuk keseribu kalinya? Gyani tidak yakin akan hal ini, sebab ia tahu mungkin hasilnya akan sama saja selama NFD belum berakhir.
"Gue tau lo nggak suka sama Nanda karena lo berubah total sejak ada dia. Tapi gue pengen banget jelasin tentang dia sekarang. Bentarrr aja, Ni."
Tatapan memohon itu membuat Gyani membuang napas sambil menimbang-nimbang sesuatu.
Alih-alih menyetujui perkataan Marvin dan mendengar penjelasan seperti yang selalu ia inginkan selama ini, Gyani justru berucap, "Waktu itu gue udah kasih lo kesempatan kan, Kak? Tapi lo tau apa jawaban lo? 'Sorry, lain kali aja'."
"Gue boleh minta satu kesempatan lagi buat hari ini, nggak?" Marvin mendekat ke arah Gyani dan mengambil satu tangan perempuan itu lembut. "Please ...."
Gyani kemudian mengamati tangan Marvin yang berada di tangannya dengan erat. Ia mengingat bagaimana satu tangan itu pernah membuatnya tersipu malu di tribun paling atas dan dadanya berdebar tak karuan. Saat itu, Gyani berpikir bahwa ia adalah salah satu pemeran utama wanita.
Sayangnya hari ini dia menyadari bahwa ia sudah terlalu banyak berkhayal. Imajinasi dan harapannya terlalu tinggi. Yang paling penting, dia bukanlah pemeran utama perempuan seperti di drama-drama Korea kesukaannya di mana semua berakhir bahagia.
Lantas, satu tangan Gyani bergerak untuk menyelipkan ID Card panitia miliknya pada tangan Marvin tersebut membuat laki-laki itu sontak terbelalak sempurna.
"Gyani ini—"
"Sorry, Kak."
Gyani pun meninggalkan Marvin dalam perasaan yang campur aduk. Di satu sisi ia sudah merasa lega, tapi di sisi lain ia merasa bersalah pada orang-orang yang ia bentak dan melihat ketantrumannya.
Seharusnya ia tak bersikap kekanak-kanakan seperti tadi. Sayangnya emosi telah menyelimuti kepala sehingga ia tidak bisa berpikiran jernih, berakhir ia mempermalukan diri sendiri.
Langkah Gyani terlihat begitu mantap. Sambil terus berjalan, ia mengambil ikat rambut yang semula menjadi gelang di lengannya dan mengikat rambut asal-asalan.
Gyani kemudian bermonolog sendiri. "Gila kali ya. Gue nggak mau jadi pelakor! Ah elah, laki banyak ini."
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top