25. Pernyataan Mengejutkan
.
.
Hari Sabtu seharusnya mereka semua istirahat dari riuhnya jadwal pembelajaran di kampus, tapi tidak saat ini. Sebab Sabtu dan Minggu menjadi hari di mana panitia benar-benar mempersiapkan banyak pertandingan.
Meskipun diketahui bahwa ada sebagian cabang telah selesai, seperti atletik, tapi masih ada pertandingan semifinal dan final yang akan dilakukan beberapa hari sebelum closing.
Mereka semua masih repot!
Hari ini Gyani mengambil saran Ucup untuk bekerja secara profesional. Harusnya dari awal memang seperti itu, tapi semakin lama perasaan gadis itu juga tidak bisa dibohongi. Terkadang ia diterbangkan hingga melewati atap-atap stadion, tapi beberapa hari kemudian dihempaskan begitu saja ke jalanan berlumpur.
Hingga di sinilah dia berakhir sekarang, Sekre BEM KM, khususnya ruangan panitia Logistik dan Transportasi.
Sebagian dari panitia Logstran seperti Jawad dan Cakra masih di bawah untuk membantu mengangkat galon di setiap ruangan panitia. Harap dimaklumi karena ini adalah jadwal mereka angkat galon.
Selain mereka, terlihat Cici dan Kirana sedang bergosip satu sama lain di balkon. Terasa sangat seru sampai-sampai suara cekikikan mereka mengganggu tidur Januar di paha Kirana. Berulang kali cowok itu mengatakan untuk tidak berisik, tetapi ia hanya bisa menahan emosi ketika diamnya para gadis hanya bertahan kurang dari 10 detik.
Juan sendiri sedang membungkuk mengerjakan laporan yang ditulis tangan di atas karpet, begitu pula Hisyam yang mengetik tugasnya dengan laptop berada di atas paha. Keduanya berada pada posisi duduk yang berlawanan.
Gyani tidak tahu bahwa ruangan Logstran bisa setenang ini—walaupun tidak benar-benar tenang juga karena tawa Cici yang kayak kuntilanak. Namun, atmosfernya memang beda. Biasanya ada Rian yang karaokean lewat lagu yang diputar di laptop Hisyam, mengganggu sang empunya mengerjakan tugas.
Begitu pula saat ada Wita yang sibuk membaca nota pemasukan dan pengeluaran lengkap dengan nominalnya. Kalo hilang lima ratus perak, dia akan ngedumel sendiri sambil mengacak-acak rambutnya dan berakhir menginterogasi seluruh panitia.
Marvin diketahui sedang rapat dengan para Kadiv dan BPH siang ini. Oleh karena Brian telah mengundurkan diri, maka posisinya digantikan oleh Alfian yang juga Wakil Ketua NFD.
Jangan tanyakan Gyani karena dia sedang berbaring di ujung dekat jendela dengan tas sebagai bantal. Tidak lupa juga ia menutup wajah dengan cardigan hitam milik Cici. Mungkin orang-orang saat ini mengira Gyani sudah terlelap, padahal ia hanya sedang merenung.
Segala hal yang berkecamuk dalam pikiran pun muncul, termasuk tentang perasaan Marvin padanya. Aneh, padahal dulu dia tidak berharap tapi sekarang malah sebaliknya.
Lamunan itu buyar seketika saat Jawad dan Cakra masuk ke ruangan dalam keadaan bermandikan keringat.
"Eh buset! capek banget. Mana panas lagi," gerutu Cakra sambil selonjoran lalu mengibas-ngibaskan tangan ke arah wajah. Ini diikuti pula oleh Jawad yang duduk sampingan dengan Cakra, menyandar pada dinding.
"Nggak ada minuman dingin apa?" ucap Jawad.
Beberapa detik kemudian, seseorang pun mengetuk pintu dan Gyani bergegas bangkit untuk membukanya. Terlihat beberapa kantung yang dibawakan oleh dua orang panitia dari divisi berbeda membuat Gyani berterima kasih berulang kali.
"Nih, pada minum sama makan dulu kalian," acap Gyani seraya menurunkan minuman thai tea dan dua kotak risoles mayo paling enak seantero kota.
"Rejeki anak sholeh emang nggak ke mana, baru juga diomongin." Jawad cengar-cengir seraya menaikturunkan alis berulang kali pada Gyani.
Tanpa perlu aba-aba lagi, para panitia akhirnya berkumpul dengan membentuk lingkaran seperti biasa.
"Gy, ini dari Kak Marvin ya?" tanya Kirana setelah ia duduk bersila.
Gyani menggeleng. "Nggak kok, itu dari gue. Makan aja!"
"Kak Gy emang terbaik sih, terima kasih ya," ucap Juan yang diikuti pula oleh anggota lainnya.
Melihat kebarbaran para panitia dalam mencomot makan, Cici langsung berucap, "Ehhh sisihin buat Kak Marvin juga dong. Jangan diabisin semua!"
"Nggak usah, Ci. Kalian abisin aja," sela Gyani cepat membuat mereka kompak mengerutkan kening dan memelankan kunyahan.
Biasanya jika Gyani membeli makanan atau minuman dari luar, ia selalu mengambil beberapa potong lalu menyimpannya dalam kotak makan kosong untuk Marvin. Jadi, panitia lain tidak akan sungkan untuk mengambil potongan kedua dan potontan selanjutnya karena memikirkan sang kadiv.
Namun kali ini, Gyani tidak mau melakukannya lagi. Bertingkahlah tanpa membawa perasaan, kata Ucup. Jadi kalo Marvin tidak ada di sini, ya tidak ada salahnya kalo dia nggak kebagian sama sekali. Gyani tidak akan melakukan hal yang sama lagi.
Setelah makanan habis, Gyani dan Kirana lantas membuang kotak itu ke tempat sampah. Para panitia termasuk dirinya juga mencuci tangan bergantian di kamar kecil.
Menjadi orang yang terakhir masuk ruangan dan baru saja menutup pintu, tiba-tiba terdengar lagi ketukan yang mau tak mau ia harus membukanya.
Kerja dua kali, emang gue penjaga pintu apa ya?! batinnya mengomel.
"Lho, Nanda? Lo udah balik dari rumah sakit? Kok nggak ngasih tau gue sih?" seru Gyani dengan mata membulat, lalu menghambur ke pelukan saat tahu orang yang berdiri di depannya adalah sang sahabat.
Sesaat setelah Gyani melepaskannya, Nanda tersenyum lebar dan membalas, "Oh iya dong supaya surprise. Eh, gue boleh masuk, nggak?"
"Boleh boleh, silakan."
Saat Gyani akan menutup pintu, tiba-tiba saja seseorang telah menahannya. Tidak usah ditebak lagi karena itu memang adalah Marvin. Berakhir Gyani melangkah untuk kembali duduk bersila tanpa memandang laki-laki itu. Tidak, lebih tepatnya dia mulai berbaring lagi mengingat ia tidak makan atau minum apapun. Rasanya ia tidak berselera.
Nanda yang masih berdiri pun menoleh ke arah pintu membuat Marvin terkejut.
"Cepet banget nyampenya," kata sang ketua sambil meletakkan peralatan tulis di atas tas, "lo ngenalin diri dulu ke yang lain ya. Gue mau ke toilet, bentar...."
Gadis berambut pendek itu mengangguk pelan, lalu mulai angkat suara sesaat setelah pintu kembali tertutup rapat.
"Hai semuanya," sapa Nanda ramah membuat panitia lain yang kebingungan pun membalas seadanya, "Gue Nanda, Bio 28 kayak Gyani. Salam kenal ya."
"Salam kenal juga, gue Hisyam, Hukum 28," kata cowok tersebut yang langsung bangkit dan menjulurkan tangan ke arah Nanda.
Melihat Hisyam di depannya, tatapan Nanda menjadi berbinar. Ia langsung membalas uluran tangan si cowok dengan cepat dan penuh semangat.
Dasar....
"Ah iyaaa," acap Nanda dengan suara mendayu-dayu dan salah tingkah. Benar-benar kecentilan. Tatapan itu terus mengikuti Hisyam yang bergerak menuju tasnya untuk menyimpan laptop.
Nanda kembali melanjutkan, "Oh iya, gue sahabatnya Gyani. Kita sejurusan."
Semua orang mengangguk setuju. Yaiyalah, siapa yang tidak tahu jurusan Gyani di sini?
"Gue juga—" Nanda menggantungkan kalimat ketika melihat Hisyam lewat lagi. Ah, sepertinya dia terpesona untuk kesekian kali dengan cowok itu.
Akan tetapi, kalimat selanjutnya dari Nanda justru tidak terdengar seperti ia adalah pengagum berat Hisyam. Sebab, ini membuat keadaan ruangan menjadi lebih horor.
"—pacarnya ... Kak Marvin."
Uhuk... uhuk...
Cakra tersedak minuman yang membuatnya menyembur air ke arah karpet. Berkali-kali ia menepuk dada untuk meredakannya. Sementara anggota lain hanya termangu tak percaya. Bola mata mereka seolah akan melompat dari tempatnya. Tahu muka-muka bodoh, kan? Nah itu!
Belum sempat mereka semua mencerna apa yang terjadi, Marvin tiba-tiba saja masuk dan membereskan semua perlengkapannya.
"Udah siap?" tanyanya pada Nanda yang dibalas anggukan kecil oleh cewek itu, lengkap dengan senyum manis.
Marvin kemudian berdiri sambil memperbaiki ransel di depan seluruh panitia yang menatapnya dengan kebingungan. "Nah, jadi Nanda ini tuh—"
"Gue tadi udah ngenalin diri kok, Kak."
Cowok itu langsung menoleh cepat ke arah Nanda yang memotong ucapannya, nampaknya sedikit terkejut. "Oh iya? Oke deh kalo gitu."
Marvin lantas memberikan pengumuman singkat pada para panitia. "Setelah nganterin Nanda, gue langsung ke lapangan tenis. Kalian bisa langsung ke sana aja abis istirahat."
"Ini ... maksudnya cabang selanjutnya itu pertandingan tenis lapangan, kan?" tanya Juan yang sepertinya otaknya masih loading dengan pernyataan Nanda sebelumnya, hingga ia harus mengeluarkan pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya.
"Iya, lapangan tenis di belakang Gedung Fakultas Hukum. Tau kan, Ju?"
"I-iya Kak. Oke deh kalo gitu."
Pandangan Marvin langsung terhenti pada Gyani yang tidak jadi berbaring karena keterkejutan. Tatapan itu benar-benar hanya terfokus di sana, tanpa kedipan walaupun hanya sekali. "Kalo misalnya ada apa-apa, langsung hubungin gue atau yang lainnya ya. Please, jangan ilang!"
Iya, kata-kata itu pastinya untuk Gyani. Sudah dapat dipastikan, 100% valid. Teruji klinis di toko beras Hisyam!
Tatapan para panitia pada Marvin akhirnya beralih saat Nanda langsung memeluk satu tangan cowok itu dengan antusias dan mengajaknya keluar dari ruangan. Setelah itu, mereka pun menghilang dari pandangan tanpa menyadari bahwa ruangan ini nampak horor. Terlebih penghuni di ujung yang tak lain adalah Gyani.
Sebelum semua orang meminta penjelasan pada Gyani, gadis itu sudah berbaring lagi sambil menghadapkan tubuh ke arah dinding dengan tergesa-gesa. Tak lupa ia kembali menutup kepala dengan cardigan Cici.
Benar saja, semua panitia menghampiri Gyani. Ada yang membungkuk, bahkan sampai bersila di belakang si gadis seperti sedang membujuk nenek-nenek untuk makan.
"Itu beneran, Gy?" tanya Kirana.
"Sahabat lo jadian sama Kadiv lo? Ini gimana ceritanya sih, Gy?" cecar Jawad antusias. "Ketemunya di mana woi?"
Cakra menambahkan, "Lo beneran nggak papa, Kak? Ini serius gue tanya."
Mendengar rentetan pertanyaan kayak customer service yang mendapat banyak keluhan, Gyani akhirnya menurunkan cardigan dan memosisikan diri menjadi duduk bersila.
"Ya emang kenapa kalo mereka jadian? Yaudah sih, nggak ada hubungannya sama gue," ungkap Gyani yang langsung diberi gelengan oleh Januar.
"Aneh aneh aneh, dia deketnya sama siapa tapi jadiannya sama siapa!"
"Ih, iya bener kata Kak Januar." Cici mengeluarkan suara yang membuat hening seketika.
Namun, ini tak bertahan lama ketika Cakra angkat bicara. "Bukannya kalian udah official waktu di lapangan badminton itu?"
HAH?
Tanpa ba bi bu, Gyani langsung kembali terduduk dan memukul kepala Cakra dengan cardigan. "Berisik banget sih! Udah sana!"
"Iya, Kak. Ampun ampun!" ucap Cakra seraya bangkit dari duduk dan tertawa kecil. Tertawa di atas penderitaan orang lain sepertinya adalah motto hidup Cakra.
Tolong, jangan tanyakan apapun pada Gyani karena ia juga sangat bingung saat ini. Tapi, dia juga tidak punya jawaban yang jelas. Jika memang Nanda dan Marvin pacaran, ya terus kenapa? Toh, tidak ada yang peduli pada perasaannya.
"Yaudahlah, kalian siap-siap ke lapangan sana. Gue izin tidur dulu sepuluh menit ya? Ngantuk banget gue," ungkap Gyani. Tanpa melihat atau mendengar apapun dari para panitia, ia kembali berbaring menghadap dinding. Berkali-kali gadis itu membuang napas kuat-kuat.
Terdengar satu per satu panitia keluar dari ruangan hingga senyap kembali muncul. Menyadari hal itu, entah mengapa Gyani seketika terduduk dengan menarik kedua kaki. Ia memeluk keduanya dan menyembunyikan kepala di sana, mengeluarkan seluruh emosi dalam diam.
Asli, sakitnya itu lho!
Padahal Gyani hampir setiap hari menceritakan Marvin pada Nanda. Mulai dari kegiatan yang mengundang rasa kesal, sedih, iba, dan lain sebagainya terhadap laki-laki itu. Terkadang ada pula terselip ungkapan kagum.
Kenapa ia merasa bahwa dia seperti ditusuk dari belakang? Tapi, Nanda tidak sepenuhnya salah. Toh, bukannya Gyani sendiri yang memberikan nomor ponsel Marvin pada Nanda di kantin beberapa waktu lalu? Wajar jika mereka mungkin berkomunikasi lebih intens.
Ah, entahlah....
Larut dalam pikiran selama lima menit, tiba-tiba saja pintu kembali dibuka. "Astaga, gue lupa kotak make-up gue di balkon!"
Itu suara Kirana. Namun, Gyani hanya mengabaikan dan masih setia pada posisinya.
Melihat Gyani, Kirana dengan ragu-ragu melangkah ke arah gadis berambut hitam tersebut. Ia dapat mendengar isakan kecil dari Gyani yang membuat Kirana refleks memeluk teman sedivisinya.
"Please, jangan kasih tau anak-anak lain kalo gue nangis ya, Na," pinta Gyani dengan suara yang begitu pelan.
"Nggak kok. Lo tenangin diri dulu aja di sini, nggak papa. Gue lanjut ke lapangan tenis ya, soalnya udah ditungguin Januar di bawah. Kalo lo butuh apapun itu, tinggal hubungi gue ya Gy. Gue selalu siap kok."
Gyani yakin jika Kirana sebenarnya ingin berlama-lama di ruangan ini untuk menemaninya, terlihat dari tubuhnya yang tidak bergerak sama sekali bahkan setelah ia meminta izin untuk pergi.
"Gy, Kak Marvin nggak pantas ditangisin," ucap Kirana lembut. "Masih banyak laki-laki di luar sana yang sayang sama lo. Gue yakin itu. Sabar ya, Gy."
Lawan bicara Kirana hanya mengangguk kecil. Tangan Kirana yang semula menepuk-nepuk punggung Gyani pun terhenti, lalu ia bangkit perlahan dan menutup pintu dengan pelan. Ia membiarkan cewek itu mengeluarkan semua perasaannya di sini, tempat paling istimewa bagi panitia Logstran di kampus.
Huh, sepertinya Gyani memang butuh sendirian.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top