23. Need Oxygen

.
.

"Beneran kan Gy? Beneran lo bisa kan?"

Gyani setengah membanting pulpen yang digunakan untuk menulis penjelasan Ibu Dira, dosen mata kuliah Biologi Lingkungan.

Gyani lantas memutar kepala menuju Nanda yang duduk di sampingnya dengan tatapan datar. "Ya jelas gue bakalan nonton lo tanding renang sore ini lah. Kan gue panitianya, Oon!"

Seketika Nanda hanya cengar-cengir sambil memutar kembali tubuhnya menghadap ke depan. Ia bahkan menggoyang-goyangkan kedua bahu bergantian, sebegitu senangnya dia Gyani dapat melihatnya bertanding di pertandingan pertamanya selama menjadi mahasiswa di kampus ini.

"Mbak," tunjuk Ibu Dira dengan pointer ke arah Nanda yang sedang kebingungan.

"Saya, Bu?" tanya Nanda.

"Iya, Mbak. Saya perhatikan dari tadi Mbak ngobrol di kelas saya ya. Sekarang saya tanya aja biar Mbak bisa ngobrol sama saya. Pertanyaannya, bagaimana cara mengukur kadar oksigen terlarut dalam air atau sebuah perairan? Berapa metode yang bisa digunakan dan tolong jelaskan masing-masing metode!"

Mampus!

Untuk sejenak, Nanda melirik ke arah Gyani. Namun, Gyani mengatupkan mulut kuat-kuat. Saat Nanda mulai gelagapan membuka diktat kuliah dan Ibu Dira mengamati sesuatu di laptopnya, Gyani dengan perlahan menyodorkan kertas.

Awalnya Nanda senang bukan main karena mendapatkan jawaban, tapi ternyata tulisan di kertas itu malah berbunyi sebaliknya, 'Lo sahabat gue, tapi kalo soal menjawab pertanyaan dari dosen nggak ada sahabat-sahabatan.'

Nanda langsung membalas tulisan Gyani dengan menyebut, 'Dasar Anak Anjing!'

Bahu Gyani bergerak naik turun sambil ia menahan kuat-kuat tawa agar tidak menguar dan membuat keributan setelah membaca tulisan cakar ayam Nanda. Sudah cukup Nanda yang kalang kabut hari ini, dia tidak ingin ikut-ikutan.

Makan tuh kadar oksigen!

.
.

.
.

Tiga hari tidak bertemu membuat pandangan Gyani secara otomatis bergerak memperhatikan Marvin yang tidak bisa diam di satu posisi. Terkadang dia berdiskusi dengan wasit, tapi beberapa menit kemudian dia sudah berdiri dengan panitia pertandingan lain di tempat berbeda. Gyani akui bahwa kadivnya memang nggak pernah habis baterai, aktifnya kebangetan.

Hari ini pertandingan renang di lakukan di kolam renang kampus, bisa dibilang sudah berskala nasional dengan fasilitas yang luar biasa. Ini pertama kali Gyani mengunjungi kolam renang selama kuliah. Pasalnya dia memang tidak bisa berenang dan setiap kali diajak oleh Nanda, dia punya 1001 alasan untuk menolaknya.

Pertandingan tanpa suporter—sesuai arahan rektor dan pihak keamanan—membuat suasana menjadi lebih sepi. Akibat dari kericuhan kemarin memang luar biasa. Rasa-rasanya ini bukanlah pertandingan, melainkan cuma renang biasa.

Di ujung sana, Januar dan Juan mulai terlihat batang hidungnya. Mereka hadir, meskipun masih terlihat jelas luka-luka kecil di wajah yang ditutupi oleh plester luka gambar Doraemon dan Sinchan. Nggak usah tanya siapa yang ngasih plester luka itu karena jawabannya sudah jelas, Kirana.

Tiga hari tanpa pertandingan bukan berarti NFD mati total. Sebagai Divisi Kuli, mereka hampir rapat tiap malam entah lewat zoom meeting atau sekadar chat biasa di grup. Memang pihak kampus tidak memperbolehkan pertemuan panitia di dalam kampus dalam rentang waktu tersebut. Panitia Logstran juga tidak berinisiatif untuk kumpul di kafe seperti biasa.

Hal ini akibat jadwal kuliah Marvin yang bertabrakan dengan jadwal anggota lain, sehingga ia sering pulang larut dan tidak sempat mengadakan radiv di luar. Tetapi karena ia masih memegang tanggung jawab, radiv pun dilakukan secara online.

"Gyani, Divisi Konsumsi udah nyiapin konsum buat wasit sama atlet, belom?" tanya Kirana yang berdiri tepat di samping Gyani.

Eh, kok gue lupa ngecek ya?

Tentang wasit, sebenarnya Gyani juga kagum pada Cakra yang mampu membuat para wasit yang semula menolak untuk melanjutkan menjadi bagian NFD, berakhir dapat membawa mereka kembali. Pembicaraan ini sempat alot di grup. Cakra ngotot ingin tetap membawa wasit dari luar kampus, sementara Marvin memilih untuk anggota klub sebagai wasitnya.

Cakra punya alasan sendiri, baginya memilih anggota UKM sebagai wasit yang juga bagian dari mahasiswa aktif berbagai fakultas dirasa kurang berimbang. Bisa saja penilaian mereka menjadi bias yang justru akan menimbulkan konflik yang lain dikemudian hari.

Untuk itu diadakan voting, dan hanya Hisyam yang memilih pendapat Marvin. Alasannya apalagi kalo bukan irit biaya. Toh, Cakra menang jadi mau tak mau dia berusaha untuk mencari dan membujuk wasit yang ada sebelumnya untuk tetap melanjutkan, meskipun mungkin jadwal para wasit jadi bertambah banyak atau bahkan bertabrakan.

"Kayaknya udah sih. Yakali mereka lupa," balas Gyani pada Kirana seraya melipat kedua tangan di dada.

Kirana lantas memutar kepala kepada lawan bicaranya. Alis perempuan itu bertautan dan ekspresinya seperti ragu-ragu. Berkali-kali matanya bergerak dari satu titik ke titik yang lain.

"Lo yakin?" Kirana menunjuk dagu pada tempat istirahat para wasit yang berada di sudut tribun, "tuh liat aja di sana, nggak ada apa-apa."

Sontak saja Gyani mengikuti arah pandang gadis berambut panjang itu.

Betapa terkejutnya karena memang meja yang seharusnya diisi dengan beragam kue dan minuman, tidak ada sama sekali. Begitu juga minuman untuk para atlet yang kini telah bersiap-siap.

Bola mata Gyani seketika melebar. Sambil celingak-celinguk ia berujar, "Anjir! Anak Konsum pada ke mana dah?"

Panik panik panik!

"Dari tadi Anak Konsum pada nggak ada yang nongol. Satu pun nggak ada yang izin ke Kak Marvin juga. Di grup pun nggak muncul tuh," jelas Kirana sambil mengecek dan menggulir ponsel. Sesekali ia tampak menggaruk kepala. Pusing banget kayaknya.

Segera Gyani mengambil ponsel dan mencari nama Amora di grup besar NFD. Tak perlu waktu lama, ponsel itu sudah berada di telinga. Sayangnya, Amora sama sekali tak mengangkatnya membuat Gyani mengerutkan kening dan bibirnya maju sesenti. Manyun lagi, manyun lagi....

"Nggak diangkat, sialan!" gerutu Gyani.

Baru saja perempuan itu akan bergerak menuju panitia Logstran yang lain untuk meminjam motor salah satu dari mereka menuju tempat katering, Marvin tiba-tiba saja sudah muncul di samping Gyani.

"Ni, lo sibuk nggak?" tanyanya.

"Ehm, nggak sih, Kak. Kenapa?"

"Gue pengen minta tolong ambilin catatan gue di jok motor. Gue lupa tadi."

"Oke, tapi gue pengen nanya karena penasaran, Kak. Anak Konsum pada nggak ada ya? Soalnya ini snack buat wasit sama atlet belum disiapin, padahal—"

"Hah? Belum ada? Padahal ini kita udah mau mulai!" kata Marvin memotong ucapan Gyani.

"Makanya itu."

"Udah coba telpon Amora?"

Gyani mengangguk dengan cepat. "Udah kok, Kak. Tapi nggak diangkat."

Tangan Marvin seketika merogoh saku. Setelah mendapatkan ponsel, dia langsung menelpon. Ajaib, dalam waktu seperesekian detik Amora mengangkat telepon Marvin.

Dih, nyebelin banget!

Marvin lantas menekan tombol loudspeaker agar Gyani dan Kirana mendengar percakapan mereka.

"Kamu di mana, Ra? Konsum kok belum disiapin?" tanya Marvin dengan satu tangannya yang bebas berada di pinggang. Kalau posisinya sudah seperti itu, tandanya dia mulai nggak bisa diajak ngobrol santai lagi. Bakalan ada adu urat kayaknya.

"Ihhh ya mau gimana lagi, motor aku mogok di jalan ini—"

"Kamu kan bisa nelpon siapa gitu buat minta tolong, Ra!" nada Marvin mulai meninggi, "Emang nggak ada Anak Konsumsi lain, apa? Kamu kalo butuh apa-apa bilang ke aku, bisa kan? Dari tadi kamu ke mana aja?!"

"Yaudah sih nggak usah marah-marah, lagian panitia Konsum banyak yang izin. Yang ada cuma aku sama Lala. Trus Lala ada di lapangan badminton. Kamu lupa kalo hari ini ada dua cabang yang main bersamaan? Udah deh, mending sekarang ambil konsumnya aja. Tau kan tempatnya? Kalo kamu nggak bisa, suruh yang lain."

Memang hari ini ada dua cabang yang mulai bersamaan. Hanya saja tidak ada panitia Logstran di lapangan badminton karena sudah di handle sama panitia Pertandingan lain dari peleburan Divisi Acara dan BPH. Untuk renang ini sepenuhnya dipegang Logstran dan beberapa divisi lainnya.

"Harusnya kamu yang minta tolong dari tadi, Ra! Kamu gampangin banget deh. Kebiasaan tau nggak!" Kali ini Marvin benar-benar membentak Amora, namun dengan nada yang masih sedikit manusiawi dan tidak menarik perhatian orang lain.

"Halah!" ucap Amora yang langsung memutus sambungan telepon.

Belum sempat Marvin beranjak, Gyani langsung menahan tangan laki-laki itu. "Gue aja yang pergi, Kak."

"Yaudah, pake motor gue aja ya," tawarnya.

"Motor lo kan gede banget. Gue nggak bisa. Pake motor Jawad aja atau kalo nggak ya Hisyam."

"Gue pake matic kok, bukan motor biasanya," Marvin lantas menyerahkan kunci motor dan menyebut platnya, "pelan-pelan aja bawanya. Oh iya, pergi sama siapa?"

"Sama gue, Kak." Kirana menyela sambil melambai-lambaikan tangan membuat Marvin mengangguk, lalu pergi meninggalkan keduanya tanpa sepatah kata pun. Mungkin emosinya masih di ubun-ubun.

Gyani dan Kirana pun berjalan menuju parkiran. Dalam perjalanannya itu, Kirana sempat berucap yang membuat Gyani tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Dasar Amora sialan! Telepon lo nggak diangkat, giliran Kak Marvin diangkat. Dih, masih berharap dia ama mantan."

Ampun, Kirana julid banget!

.
.

.
.

Gyani benar-benar tidak tahu posisi Amora pada saat itu. Setelah ia dan Kirana tiba di lokasi, tidak ada satu pun panitia Konsumsi yang menghubungi mereka untuk menanyakan terkait makanan. Sepertinya mereka bodo amat dan ini juga yang dilakukan kedua perempuan itu.

Sekembalinya mereka di kolam renang, Gyani dan Kirana kemudian menata konsumsi di meja para wasit dan juga menyiapkan minuman untuk para atlet yang kebetulan beberapa dari mereka berada di tribun, menunggu giliran untuk bertandinh.

Jika boleh jujur, Gyani masih tidak paham dengan nomor perlombaan renang dan peraturan-peraturannya. Meskipun Marvin menjelaskan berulang kali di group chat dan di lokasi pertandingan, gadis itu tetap saja kebingungan. Meskipun begitu, ia tidak bertanya lebih lanjut dan membiarkan ketidaktahuannya itu tertutupi dengan menyibukkan diri sambil mengamati pertandingan.

Bagi Gyani, mau gaya apapun saat mereka berenang tetap saja yang sampai duluan adalah pemenang. Begitu kan peraturannya?

Dari arah samping, Gyani yang duduk di tribun pun menatap Nanda yang mulai masuk ke arena bersama dengan atlet putri lainnya. Jika tidak salah ingat, ini adalah pertandingan renang putri gaya bebas 50m.

Tatapan keduanya sempat bertemu membuat Gyani melambaikan tangan dari arah atas yang dibalas oleh Nanda setelahnya. Tak lupa juga perempuan berambut sebahu itu tersenyum tipis pada sahabatnya yang sekarang hanya sebagai panitia merangkap penonton dengan satu air mineral di tangan. Air mineral boleh nyolong dari ruang panitia NFD, tentunya.

"Buset, tuh bocah pucet amat. Biasanya lipstick on point. Atau emang nggak boleh pake lipstick tipis-tipis ya kalo bertanding renang?" ucap Gyani yang saat itu hanya seorang diri.

Di pinggir kolam, Gyani dapat melihat Jawad, Januar, Marvin, Cakra, Hisyam, dan Juan. Mereka memang tidak terlalu dekat dengan kolam, malah sedikit merapat ke arah tribun penonton. Sedangkan Cici dan Kirana entah ke mana. Dugaan Gyani, mungkin mereka sekarang sedang beli cimol atau cireng di depan sana.

Para atlet putri pun bersiap di papan tolakan, tentu saja dengan menggunakan pakaian lengkap serta alat-alat renang yang diperbolehkan. Setelah mendengar suara pistol, mereka pun melompat ke arah kolam.

Serius, ini benar-benar gila. Mereka semua melaju dengan sangat cepat membuat Gyani yang semula hanya duduk saja kini mulai berdiri dan berteriak menyemangati Nanda.

Namun, ia merasa ada yang aneh. Di tengah perlombaan, Nanda tiba-tiba saja berhenti tepat di tengah kolam. Anggota tubuhnya bahkan tidak memberi respons apapun layaknya peserta lainnya yang saling berkejaran saat ini.

Di saat semua atlet telah berada di ujung dan naik ke permukaan, Nanda masih tetap di sana. Secara perlahan tubuhnya tenggelam di kolam sedalam dua meter tersebut membuat Gyani membelalak seketika.

Nanda pingsan!

"Nanda!" teriak Gyani yang langsung berdiri dan turun dengan cepat melintasi anak tangga.

Tidak ada lifeguard membuat Gyani semakin gugup. Akan tetapi, suara air dengan beberapa orang masuk ke dalam kolam membuat langkah gadis itu terhenti di anak tangga terakhir. Mereka adalah Marvin, Jawad, dan satu panitia dari Divisi Humas bernama Arnold.

Setelah mereka berhasil mengangkat Nanda dari air, Marvin memberikan pertolongan pertama. Ah sayang sekali, Gyani tidak melihat apa yang Marvin lakukan karena pandangannya tertutup oleh panitia dan beberapa atlet yang berkumpul. Akan tetapi, Gyani sangat yakin jika Marvin memanggil nama Nanda berulang kali dengan panik.

Tidak peduli, bagi Gyani keselamatan Nanda lebih penting sekarang. Bergegas ia menghampiri Nanda dan ikut bersamanya menuju rumah sakit setelah perempuan itu akhirnya sadar dan menangis.

Gyani lega bukan main, tapi ada sesuatu juga yang mengganjalnya saat ini. Entah....

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top