21. Pengalaman Buruk

.
.

"Apa ini?!" teriak Gyani pada dua orang di depan sana.

Suara Gyani nyatanya dianggap hanya angin lalu bagi tiga orang di dalam ruangan berukuran 4x4 itu. Karena tidak mendapatkan atensi, gadis berambut panjang itu akhirnya harus mengambil langkah berani untuk mendekati mereka.

Mengerikan. Satu kata yang dapat perempuan itu gambarkan ketika ia melihat Wita telah jatuh terduduk seraya menggenggam erat baju di bagian dada. Tatapan Wita kosong dan peluh perlahan membasahi wajah. Pandangannya terpaku pada dua laki-laki yang kini sedang beradu kekuatan.

Rian, cowok yang berhasil menumbangkan sang ketua NFD entah dengan berapa kali pukulan. Sekarang ini cowok berambut hitam itu telah duduk di atas perut Brian dan menghajarnya habis-habisan.

"Rian, berhenti!" teriak Gyani sambil menarik tangan Rian menjauh dari Brian. Setelah Gyani berhasil menciptakan jarak di antara keduanya meskipun dengan susah payah, ia lantas menoleh pada Wita dan Cici yang sudah berdiri di dekat pintu. "Kalian berdua keluar dulu!" titah Gyani membuat Cici menarik tangan Wita dan menutup pintu gudang dengan keras.

Di saat tangan Gyani masih menggenggam lengan Rian, pandangannya terpaku pada cowok yang sudah babak belur. Tetesan darah keluar dari sudut mata dan bibir, tapi itu tidak membuat Gyani menaruh rasa kasihan sedikit pun. Hanya dengan sorot pandang mematikan dari dua orang, Brian bersusah payah berdiri dan berlari tertatih keluar dari ruangan.

Hening untuk beberapa saat.

Rian lantas memutar tubuh ke arah Gyani dan melepaskan tangan dari genggaman gadis tersebut dengan kasar.

"Apa?" Gyani menantang Rian tepat setelah laki-laki itu melayangkan telunjuk di depan wajah sang gadis. "Kenapa, Yan?"

"Lo harusnya nggak usah sok jadi pahlawan! Nggak ada urusan lo di sini!" teriak Rian dengan mata yang membulat sempurna. Wajahnya merah padam dan urat-urat dari leher terlihat sempurna.

Sebenarnya Gyani juga ingin menghindar dari laki-laki yang sekarang lebih terlihat seperti preman ini. Walaupun tubuh Rian tidak setinggi anggota Logstran lain, tapi dia tetaplah laki-laki yang bisa saja menghantam Gyani hanya dengan satu pukulan.

"Lo bisa di DO, Yan—"

"Bodo amat, Gy! Mau gue di DO kek, mau ditendang kek, mau diapain ya terserah. Asal tuh laki-laki bajingan, mampus!"

"Trus kalo dia mati, lo puas?"

Pertanyaan itu membuat sorot Rian semakin tajam menerjang kedua bola mata Gyani. Hah, Gyani cuma bisa meneguk ludah dan pasrah saja kalau seandainya Rian gelap mata, lalu memilih untuk melampiaskan dengan memukul atau menjambak si gadis yang berdiri di depannya.

Tidak bisa dibayangkan!

"Kok lo jadi belain dia si, Gy? Lo sama Wita tuh sama-sama perempuan!"

"Gue tau, Yan. Gue juga sama keselnya kayak lo, sampe pengen banget laporin Brian ke polisi sekalian. Tapi ... gue ... itu, Yan—"

"Nggak bisa ngomong kan lo?"

Rian langsung melangkah meninggalkan Gyani, namun perempuan itu refleks mengikuti derap si cowok yang ternyata bergerak menuju parkiran motor.

Gema suara penonton dari tribun dan suara peluit wasit di lapangan yang tak jauh dari parkiran seperti beradu di udara. Suara sekeras itu sepertinya nggak menarik perhatian Rian sama sekali. Buktinya dia sudah bergegas untuk memasang kunci motor.

Alih-alih menghindari Rian, Gyani justru semakin mendekati cowok tersebut. Perempuan itu merasa bahwa seseorang yang sedang marah tidak boleh membawa kendaraan. Takut ada apa-apa di jalan ye kan?

Alhasil, saat motor Rian sudah menyala dan siap untuk berangkat, Gyani langsung memegang behel belakang motor dan menariknya dengan kedua tangan membuat ban depan terangkat.

"Woi anjing, ban motor gue. Sialan lo!" murka Rian.

"Biarin! Biar lo nggak bisa pergi dari sini," balas Gyani tidak kalah menjengkelkannya.

Rian hanya mengembuskan napas kuat-kuat melihat tingkat Gyani yang seperti bocah tongkrongan melihat motor baru temannya.

"Apalagi sih, Gy? Gue mau pergi!"

"Ya kalo gitu gue ikut," kukuh Gyani lalu berjalan menuju samping Rian. Setelah itu, ia mencubit lengan si cowok hingga Rian meringis dan mengusap lengannya berulang kali. Ini kalau Gyani bukan cewek, udah dihantam pake stang motor kali ya.

"Mau lo apa sih?!" bentak Rian.

"Lo mundur! Biar gue yang bawa ini motor," ucap Gyani dengan nada datar, masih tidak gentar cuy.

"Nggak mau gue! Udahlah, sana sana."

Gyani langsung mengangkat kedua jari membentuk peace. "Opsinya cuma dua, lo pergi dari parkiran ini dengan lo sebagai penumpangnya. Atau lo nggak pergi dari sini karena gue bikin ban motor lo keangkat mulu kek tadi. Pilih aja!"

Tanpa berpikir panjang, Rian berujar, "Ck! Nyusahin lo."

"Bodo!"

Mau tidak mau, Rian memilih untuk mengalah dan mundur untuk memberikan Gyani kendali pada motornya.

Selama perjalanan entah ke mana, tidak ada pembicaraan antara Gyani dan Rian. Setelah meneliti raut wajah Rian dari spion, Gyani berpikir mungkin laki-laki itu sedang merenungi apa yang sudah ia lakukan.

Jauh di lubuk hati Gyani, ia sangat mendukung perlakuan Rian pada Brian. Biarkan saja laki-laki bermulut lemas dan berkelakuan aneh itu mendapatkan ganjaran setimpal. Ah, mungkin ini belum setimpal dibandingkan rasa sakit dan takut yang dialami Wita. Perempuan itu jelas trauma, tapi tidak dapat melakukan apapun.

Akhirnya Gyani tiba di mini market kampus. Ia memarkirkan motor, lalu turun dan membeli es krim. Tidak lupa ia menarik kunci motor agar Rian tidak bisa pergi. Satu rasa cokelat untuk Rian dan rasa stroberi adalah miliknya. Keduanya masih terbungkam bahkan ketika mereka sudah ngemper di depan mini market sambil menikmati es krim.

Hingga Gyani memutuskan untuk mengakhiri keheningan ini dengan berkata, "Gue sama Kak Marvin nggak tau harus gimana, Yan. Waktu gue ngeliat Wita akhirnya gabung lagi sama kita, mulai ketawa, mulai ngerocos, gue rasa dia udah baik-baik aja setelah kejadian pertama—"

"Tapi ternyata lo salah, kan?" acap Rian seraya kepalanya menoleh pada Gyani yang mengangguk ringan. "Ternyata ini bukan pertama ya? Bodohnya lagi, kalian juga udah pada tau hubungan Brian dan Wita. Gue tau sih pasti lo berdua bingung banget harus ngapain, apalagi kalo nggak ada respons apa-apa dari Wita."

"Bener banget," acap Gyani mendadak.

"Tapi menurut gue ada baiknya kita nanyain Wita secara langsung. Kalo pun dia diam, gue juga tetap bawa ini ke kantor polisi. Gue nggak masalah harus ditahan juga karena udah mukul si bangsat. Yang penting dia ditahan bareng gue dan dia menetap lebih lama di sana. Anjirlah, gue mulai emosi lagi."

Mereka berdua kembali memakan es krim yang perlahan meleleh, mulai turun menghiasi tangan. Pandangan mereka tertuju pada lampu-lampu bangunan dan jalan yang kelihatan lebih pendek di depan sana. Tidak heran, mengingat mini market ini berada di lokasi yang sedikit lebih tinggi dari tempat lainnya. Bahkan motor Rian dipaksa untuk menanjak hingga mencapai tempat teradem di kampus tersebut.

Ya, hanya mereka berdua yang ngemper sekarang!

"Gue bakalan ngobrol sama Wita—"

"Gue aja," putus Rian, "gue bakalan ke jurusannya besok."

"Tapi lo jangan pake emosi, Yan. Atau gini deh, kita biarin Wita tenang dulu setelahnya baru kita tanyain tentang—"

"Selama si bajing loncat itu masih berkeliaran di kampus, Wita nggak bakalan tenang, Gy. Sumpah, gue kasian sama Wita."

Setelah menghabiskan es krim, Rian lantas merogoh saku celana dengan tangan yang penuh goresan akibat perkelahian tadi. Pandangan Gyani pun terus mengikuti gerakan laki-laki itu.

Suara gemuruh orang sayup-sayup terdengar dari arah lapangan sepak bola. Begitu pula suara lainnya yang tidak bisa Gyani jelaskan. Akan tetapi, Rian dan Gyani tidak memedulikan sama sekali. Bagi mereka, suara kehebohan itu mungkin saja suara suporter yang timnya menang, atau sebaliknya tim mereka kalah. Lagipula, pandangan mereka ke arah lapangan juga tidak terjangkau.

Bagaimana mau lihat situasi jika pandangan ke arah lapangan sepak bola tertutup oleh pepohonan dan semak-semak tinggi. Yang mereka bisa lihat hanya jalan, bangunan, dan langit gelap.

"Besok gue bakalan samperin. Untuk hasilnya, tenang aja, gue pasti langsung ngasih tau lo. Tungguin aja," acap Rian sambil mulai membakar benda sepanjang jari telunjuk bernikotin.

"Eh, harus banget ngerokok, Bang?"

"Iya, supaya stres gue ilang."

"Dih, padahal enakan permen sama es krim dari pada rokok."

"Lo nggak tau sensasinya sih ...."

Percuma memang berdebat dengan Rian. Laki-laki itu cuma nurut pada panitia PDD, selebihnya tinggal dia cuekin. Nggak tahu alasan dia terlalu patuh pada PDD. Mungkin Marvin yang menyuruhnya atau bagaimana, entahlah.

"Gue tadi mau ambil bola. Tapi di gudang dalam gym, gue nggak nemu. Akhirnya gue inisiatif buat ke gudang sebelah. Kirain gue bakalan nemuin bola, ternyata malah ngeliat si babi itu lagi megang-megang bahu Wita yang terpojok. Yaaa lo tau lah gimana ekspresi orang ketakutan, ya kayak gitu. Akhirnya gue hajar aja. Padahal Wita belum ngomong apapun."

Perkataan Rian itu membuat Gyani tak berhenti menatap laki-laki tersebut. Ia bahkan mengikuti gerak jari Rian ketika membuang puntung rokok.

Setelah disebut bajing loncat, sekarang babi. Memang mulut Rian sudah tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata terpuji. Tapi, Gyani setuju dengan julukan-julukan itu. Senang mendengarnya langsung dengan penuh emosi dari seorang Rian Adiasta Hermawan.

Btw nama lengkap Rian ini Gyani tahu dari Marvin, Gyani juga lupa kapan dia mendengarnya dengan jelas dan sampai sekarang masih ada di ingatan.

"Lo pasti punya alasan," tebak Gyani.

"Alasan?"

"Yaaa alasan lo ngelakuin ini."

Rian tersenyum mengejek. "Kayak gini mah nggak perlu alasan kali Gy. Gue cuma lindungin temen aja."

Sekali lagi, Gyani hanya menganggukkan kepala ringan sambil meremas-remas bungkus es krim hingga mulai tak berbentuk. Pandangannya jatuh terarah pada paving block yang melapisi seluruh parkiran.

"Tapi memang ada hal yang bikin gue trauma tentang kejadian kayak gini, makanya gue berusaha buat membantu sebisa mungkin. Tapi maaf, gue nggak bisa cerita, Gy. Sorry ...."

Gyani lantas mengangkat wajah dan berbagi senyum tipis. "Nggak semua hal harus diceritain, Yan. Santai aja."

Ketika Rian kembali mengisap rokok dan dagu Gyani berpangku pada lutut sendiri, keheningan mulai menghinggapi lagi. Kali ini tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan.

Tak lama kemudian, suara derap sepatu pun mendekat ke arah mereka. Awalnya mereka cuek, tapi melihat sosok yang hadir di depan mereka, keduanya tidak lagi tak acuh.

"Kak Rian!" panggil perempuan berambut hitam panjang, tidak lain adalah Cici. Matanya bengkak, khas orang sehabis menangis sesenggukan selama beberapa jam. Tidak hanya itu, hidungnya juga memerah.

Sang empunya nama pun berdiri, membuang rokok dan memadamkan apinya dengan menginjak kuat-kuat. Setelah itu, Rian berlari kecil untuk meraih Cici yang kini telah mengeluarkan air mata.

Ah, pemandangan itu ... terlalu menggemaskan untuk dilewatkan. Namun, Gyani sadar bahwa ia harusnya tidak berada di sana.

Dengan langkah pelan, Gyani pun bergerak meninggalkan Rian dan Cici kembali menuju lapangan sepak bola.

.
.

.
.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit—iya, memang jauh—di dalam keheningan malam, Gyani terkejut karena tak menemukan siapapun, selain beberapa petugas keamanan dan menwa yang berada di tengah lapangan. Situasi juga terlihat sangat kotor. Mulai dari sampah plastik, banner, ranting pohon, kain, dan beberapa barang yang tidak bisa Gyani deskripsikan.

Perempuan itu merasa aneh karena tidak ada panitia satu pun di lapangan. Sementara biasanya akan terlihat satu atau dua divisi yang evaluasi di lokasi pertandingan jika acara telah selesai. Terlebih semuanya berantakan, bahkan ada beberapa pecahan kaca yang Gyani duga minuman soda.

Karena tak menemukan siapapun, Gyani memutuskan untuk berjalan cepat menuju Sekre BEM dengan ekspektasi tinggi bahwa dia akan menemukan seluruh panitia. Di bawah lampu temaram jalan, ia pun melewati parkiran yang telah kosong. Hanya satu motor yang terparkir di sana, lengkap dengan pemiliknya. Motor yang sangat ia kenali.

"Sialan!" umpat laki-laki itu sambil melempar helmnya ke atas tanah dengan keras, hingga kaca bagian depan pun lepas.

Gyani ingin mendekat, tapi melihat kedua bahu cowok itu naik turun tidak karuan, ia juga sedikit takut. Namun, perasaan untuk mendekati orang tersebut jauh lebih besar, sehingga Gyani pun memanggil, "Kak ... Marvin?"

Sosok itu mengangkat wajah, menatap lurus pada Gyani yang kini terperangah melihat sudut bibir Marvin mengeluarkan darah segar. Apa yang terjadi di pertandingan tadi?

Marvin lantas bergerak menuju Gyani dan memeluk perempuan itu erat. Napas laki-laki itu seperti berpacu dengan waktu. Belum lagi pakaiannya basah kuyup entah karena apa. Mungkin saja keringat, tapi aneh juga karena aroma perisa buah menguar setelahnya.

"Gue nyariin lo, Ni. Gue tau lo berdiri di samping  tribun sepanjang pertandingan tadi. Tapi waktu ada kericuhan, gue nggak bisa nemuin lo," jelas Marvin masih dalam posisi memeluk Gyani. Terdengar suara cowok itu bergetar.

Apa yang barusan dia bilang? Kericuhan?  Kapan? Kok nggak kedengeran?

"Juan sama Januar juga ikutan karena ngeliat temen mereka dipukul mahasiswa fakultas lain, mereka luka-luka. Sekarang udah dibawa ke rumah sakit. Cuma sekarang gue bingung banget, gue harus ngapain?"

Oh, Gyani tidak mendengar suara ambulance tadi dan memang panitia tidak menyiapkannya. Kemungkinan besar Juan dan Januar dibawa menggunakan mobil atau motor panitia lain.

Kepala Gyani rasanya penuh sekarang, apalagi Marvin. Gyani kemudian membalas pelukan dan menepuk-nepuk ringan punggung laki-laki itu. Setelahnya, Gyani melepaskan dekapan dan ibu jarinya menghapus pelan jejak-jejak cairan merah di sudut bibir Marvin.

Dengan satu tarikan sudut bibir yang begitu tipis, Gyani berujar lembut, "Kita ke rumah sakit ya, Kak. Kita liat keadaan Juan sama Januar. Setelah itu, kita pikirin ke depannya harus gimana."

Marvin mengangguk perlahan.

"It's ok, Kak. Gue di samping lo."

Sepertinya sudah tidak ada harapan mempertahankan NFD lagi, dan mungkin lebih baik memfokuskan pendengaran pada pengumuman yang mungkin akan disampaikan oleh rektorat esok pagi.

Entahlah....

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top