18. Dia Lagi, Dia Lagi...

.
.
.

Datang seekor nyamuk
Hap! Lalu ditangkap....

Potongan lirik lagu 'Cicak-cicak di Dinding' tersebut nampaknya cukup menggambarkan adegan yang tersaji di depan Gyani sekarang. Terkejut? Tentu saja. Namun di sisi lain, Gyani mencoba untuk menenangkan perasaan dan memperbaiki ekspresi wajah yang mungkin sebelumnya terlihat menyeramkan dengan mata melotot lebar.

Oh ya, Gyani tidak sendirian bergeming saat itu, sebab Wita juga berada di sampingnya dan memiliki ekspresi sedikit lebih tenang.

Bagaimana mungkin lirik di atas tidak sesuai dengan keadaan, saat tiba-tiba dari arah belakang Gyani dan Wita muncul sesosok gadis berambut panjang, yang memeluk Marvin dengan bebasnya. Marvin bagai cicak, sedangkan perempuan yang nyelonong itu adalah nyamuk.

Senyum sang gadis nyatanya terlampau lebar hingga Marvin kelihatan terpesona, mungkin.

Tapi yang paling menjengkelkan bagi Gyani adalah aksi itu dilakukan tepat di depan mata. Mengapa mereka tidak bermesraan di tempat yang jauh dari keramaian, misalnya di ruang ganti atlet?

"Kamu pasti nungguin aku, iya kan?" tanya perempuan bernama Amora itu. Ya, Kadiv Konsumsi yang berlabel 'Mantan Marvin'.

Mendapatkan pertanyaan tersebut, Marvin mati kutu. Sambil menggaruk kepala yang Gyani yakin tak gatal sama sekali, laki-laki itu berucap, "O-oh? Hmmm ...."

Halah, kelamaan mikir. Bilang aja iya.

Amora lantas menggamit lengan Marvin dan mengajaknya masuk kembali.

Jujur saja, Gyani hanya mampu mendengkus kuat-kuat sambil memandangi kedua punggung yang semakin lama semakin menjauh. Ingin rasanya ia menggaruk tembok atau menghancurkan barang yang ada di sekitarnya. Akan tetapi, Gyani langsung tersadar.

"Emangnya gue siapa?" acap Gyani spontan.

"Lo Gyani, Kak." Wita memberikan respons yang membuat Gyani memutar kepala menuju perempuan berambut pendek tersebut.

Gyani tertawa hambar sambil mengatakan, "Terima kasih infonya."

Lantas Gyani berjalan beberapa langkah meninggalkan Wita yang membuat Mahasiswa Fakultas Perikanan itu mengejar hingga langkah mereka kembali sama. Keduanya lalu bergerak menuju ruang ganti wanita untuk mengenakan kaos seperti yang disarankan oleh BPH.

Nampaknya tidak semua panitia hadir di stadion, sebab Gyani sempat memperhatikan hanya sedikit orang yang memakai ID card. Di tengah kekurangan sumber daya manusia seperti ini, penonton justru tak terhitung jumlahnya. Sedikit demi sedikit mereka mulai memenuhi sepuluh tribun yang berbeda.

Terdapat lima lapangan badminton yang semuanya sekarang dalam keadaan kosong. Sesuai peraturan, satu di antara sembilan fakultas dinyatakan Bye dan itu adalah Fakultas Teknik.

Saat keluar dari ruang ganti wanita, Gyani dan Wita kemudian bergerak ke arah panggung yang terletak di ujung dengan melewati lapangan kosong tersebut. Terlihat sebuah meja kayu panjang, dua buah kursi, dan beberapa papan jalan. Sesuai perkataan Marvin di group chat Logstran tadi siang, panggung ini menjadi meeting point para panitia. Di tempat ini seluruh score akan di-recap oleh tim humas dan perkakas diletakkan, termasuk tas-tas panitia.

Dari beberapa panitia yang hadir, anggota Divisi Logstran yang terlihat hanya Wita, Jawad, Gyani, Cakra, Juan, Marvin, dan Hisyam. Sepertinya anggota lain akan bergabung di pertandingan basket nanti malam.

"Panitia bisa kumpul dulu, nggak?" acap Marvin pada para panitia yang tersebar di panggung.

Hanya dengan satu perkataan, seluruh panitia pun berkumpul membentuk lingkaran dengan Marvin di tengah-tengah.

"Terima kasih buat panitia yang hadir hari ini. Sebelumnya gue pengen bilang kalo koordinator untuk cabang badminton—yang seperti kita ketahui bersama—yaitu Rifki Anugerah. Berhubung Rifki mengundurkan diri dari Divisi Acara dan Kepanitiaan NFD secara keseluruhan, gue pun ditunjuk oleh BPH dan seluruh Kadiv dalam pertemuan yang tertutup untuk menggantikan posisi dia.

Ini adalah kali pertama panitia NFD berkumpul di sini, jadi gue akan mulai untuk melakukan pembagian jobdesk seperti yang biasa gue lakuin sebagai Kadiv Logstran. Silakan baca kembali rundown," suruh Marvin yang membuat panitia langsung mengangkat kertas di tangan.

Marvin kemudian menyebutkan beberapa nama panitia dari divisi lain sambil menunjuk-nunjuk sisi lapangan, posisi di mana mereka akan berdiri nantinya.

"Untuk Jawad dan Wita lapangan A, Juan sama Cakra di lapangan B, Hisyam nanti bareng Andi—panitia Divisi Acara—di lapangan C. Laras sama Mutia di Lapangan D. Untuk humas, kalian bisa nunggu di depan atau mengamati dari ujung sana," Marvin menunjuk ke arah dua pintu masuk menuju lapangan, "sisanya dua orang humas tetap di sini untuk recap. Panitia yang lain mobile ya."

Salah seorang panitia cowok berperawakan pendek yang dikenal sebagai Bara pun mengangkat tangan. "Maaf Kak, gue mau nanya. Ini pertandingan badmintonnya sistemnya kayak gimana ya? Maaf karena waktu penjelasan tiap cabor, gue nggak sempat hadir, Kak."

Marvin mengangguk-ngangguk kecil, lalu menjelaskan, "Sebenarnya ini sama dengan tahun lalu ya—"

"Maaf lagi Kak, gue angkatan pertama," ucap Bara dengan memotong cepat sambil nyengir lebar, memperlihatkan mata yang menyipit sempurna.

Sebenarnya Bara seangkatan dengan Wita, Juan, Cici, dan Cakra sehingga wajar jika dia tidak tahu. Akan tetapi, keempat panitia dari Divisi Logstran itu telah bertanya tentang pertandingan dan Marvin pun menjelaskan pada mereka dengan runut sebelum NFD resmi dibuka. Di beberapa pertemuan atau diskusi di group chat, keempat junior tersebut sangat aktif. Tak heran jika keempatnya terlihat seperti telah mengerti segala hal dan tidak canggung sama sekali.

Marvin benar-benar berbeda dari Kepala Divisi lainnya dan masing-masing anggota Logstran juga punya inisiatif yang tinggi. Ini menjadi alasan Divisi Logstran begitu solid dan tahu akan jobdesk masing-masing tanpa banyak bertanya. Marvin hanya mengulangi jobdesk sebagai formalitas saja jika sudah berada di lapangan seperti ini.

Namun, tidak semua kadiv berpikiran sama dengan Marvin, begitu pula tidak semua anggota lainya memiliki inisiatif tinggi seperti halnya divisi logistik dan transportasi. Semua divisi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tugas semua elemen di NFD adalah menjalankan acara sebaik mungkin.

"Ohhh oke, jadi sistem badminton di NFD itu pake sistem gugur, sama dengan beberapa kejuaraan lainnya. Ada lima partai yang bertanding, yaitu tunggal putra-putri, ganda putri-putri, dan ganda campuran. Skornya sama, 21. Untuk hari ini kita fokus di tunggal putra-putri. Ada yang mau ditanyain lagi?"

"Cukup, Kak."

"Oh iya, humas mana ya?" tanya Marvin yang membuat lima orang langsung mengangkat tangan. "Service judge, linesman, sama umpire gimana? Udah di mana mereka?"

"Udah otw kok, Kak," jawab Albert sebagai perwakilan humas.

"Oke, kalo gitu tim humas bisa atur pembagian tugas aja ya. Bisa, kan?"

"Iya, Kak."

Marvin kemudian memandang seluruh panitia dan berujar, "Nanti kelar pertandingan tunggal putra, yang mau istirahat bilang ke gue. Gue sama yang mobile bakalan gantiin kalian buat jaga.

"Mungkin segitu aja. Kalo udah nggak ada yang mau ditanyain, sama-sama kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa dipersilakan."

Kurang dari sepuluh menit kemudian, pertandingan pertama untuk tunggal putra pun dimulai.

.
.

.
.

Riuh pun memengkakkan telinga. Tidak ada satu pun yel-yel yang dilewatkan oleh perwakilan fakultas siang itu. Rasanya stadion ini begitu hidup untuk beberapa jam. Terlebih karena stadion dikelilingi oleh pepohonan bak hutan, kehebohannya bergema. Rasa-rasanya para dedemit hutan yang berjarak beberapa meter juga akan keluar akibat suara ini.

Demi kesehatan telinganya, Gyani memutuskan untuk menggunakan alat penyumbat telinga atau earplug. Ia berkeliling di tribun bersama dengan panitia dan menwa (resimen mahasiswa), berjaga jika ada sesuatu yang mencurigakan dibawa oleh para penonton, atau suatu hal yang dapat menyebabkan kericuhan.

Partai pertama dimulai dari tunggal putra dengan lapangan A diisi oleh MIPA dan Perikanan, lapangan B oleh Sastra dan Hukum, lapangan C untuk SRD dan Ekonomi (Bisnis Manajemen), serta lapangan D dari Pertanian dan Kedokteran. Untuk Teknik sendiri, mereka akan bermain dengan melawan antara Sastra atau Hukum. Tinggal melihat siapa pemenang hari ini.

Setelah partai tunggal putra selesai, tiga orang dari panitia memutuskan mendekat ke arah Marvin yang saat itu berada di pinggir panggung. Gyani yang berdiri sambil mengamati mereka dari tribun paling atas pun hanya melihat sekilas, lantas kembali memperhatikan para atlet tunggal putri yang sedang pemanasan dengan menepuk-nepuk shuttlecock.

"Gyani ... ke panggung ... sekarang!" titah Marvin dengan suara berasal dari HT yang dipegang oleh gadis tersebut.

"Ehhhh, maaf ya Kak Dirga. Gue dipanggil sama kadiv nih," ucap Gyani pada seorang pemuda berperawakan tinggi yang memakai seragam dan topi baret ungu, berdiri di samping sang puan dengan kedua tangan terlipat ke belakang. Tak lupa pula Gyani memperlihatkan senyum tipis.

"Oh iya nggak papa, Dek. Lanjut aja," tukas Dirga sambil satu tangan menengadah pada tangga yang berada di sisi kiri.

Bergegas Gyani menuruni tangga dan berlari kecil sambil menunduk, melewati beberapa penonton yang turun dari tribun untuk membeli minuman di luar stadion dan beristirahat sejenak.

Ketika tungkai Gyani akhirnya menapak di atas panggung, di saat itu pula Amora melakukan hal yang sama membuat Gyani mengerutkan kening untuk beberapa detik.

"Jadi tadi Laras, Mutia, sama Andi minta izin untuk langsung ke gor basket karena diminta sama kadiv humas untuk ke sana. Trus kamu," Marvin berbicara pada Amora, "tadi kamu bilang jadi cadangan Mutia, kan?"

"Iya, aku jadi cadangan dia dari awal sih," jawab Amora sambil mengangguk dan mengulum bibir ke dalam.

Anjayyy ... masih kamu-aku dong.

"Oke, jadi sekarang ada tiga posisi yang kosong. Dua orang di lapangan D, satunya di lapangan C. Kalian mau di mana?" tanya Marvin. Kali ini pandangannya bergantian pada Amora dan Gyani.

Amora langsung menunjuk dagu ke arah cowok itu seraya berujar, "Kamu maunya di mana? Barenglah."

"Kalo lo, Ni?" Pemuda itu menoleh pada Gyani yang berdiri tepat di sampingnya.

Sekarang Gyani mulai berpikir keras. Dia bisa saja memilih sendiri dan dua orang di depannya otomatis akan menjadi satu tim. Akan tetapi, Gyani tidak bisa berbohong bahwa ia tidak mau melihat Marvin dan Amora berduaan. Cemburu? Gyani menyangkalnya. Tidak cemburu? Ah, berdusta.

Dia kini benar-benar bingung.

"Ni?" Marvin memanggil ulang dengan pelan yang membuat Gyani sontak memandang kedua orang itu secara bergantian. "Jadi lo mau di mana?"

Mendapatkan kedua tangan terlipat di dada dan tatapan 'sedikit' menusuk dari Amora membuat nyali Gyani yang sedari tadi membara, seakan menciut. Bukan, dia tidak gusar dengan hal itu. Gyani hanya sedikit segan pada perilaku seniornya yang tidak seperti biasa ia saksikan saat rapat besar.

Gyani meneguk ludah, lalu tanpa sadar tubuhnya menyerong sedikit ke arah Marvin dan meraih lengan laki-laki tersebut dengan kedua tangannya. Persis seperti kucing yang sedang ketakutan. Ke mana Gyani barbar, begajulan, dan petantang-petenteng itu pergi? Apa ia takut dengan Amora?

"Gue mau sama Kak Marvin," cicit Gyani sambil menundukkan pandangan. Meskipun suaranya amat kecil, Marvin masih mendengarnya dengan sangat jelas.

"Ya udah, Ra. Kamu berarti di lapangan C, aku sama Gyani di lapangan D."

Amora yang semula mengatupkan rahang, langsung tersenyum lebar. "Oke deh," katanya sambil berlalu dari Marvin dan Gyani.

Tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata, Marvin mengambil tangan Gyani lembut lantas mengajaknya turun dari panggung dan berdiri di tribun paling atas khusus untuk lapangan D. Sejatinya memang tribun paling atas adalah posisi terbaik untuk menyaksikan seluruh pertandingan yang ada-karena memang tidak ada orang lain di sana, kecuali panitia NFD.

Berdiri berdampingan setelah membuat keputusan dan mengeluarkan perkataan seperti sebelumnya membuat Gyani mati kutu. Di satu sisi ia malu, tetapi di sisi lain dia juga senang karena Marvin memilihnya dibanding Amora. Ah, memang benar Marvin memilihnya, kan?

Partai tunggal putri pun mulai berjalan sekitar lima menit. Suara sorakan penonton kembali bergema selaras dengan detak jantung Gyani. Sumpah, ia benar-benar seperti orang bodoh sekarang.

"Menurut gue ... semuanya udah jelas," ujar Marvin.

Mendengar itu, Gyani mendadak menoleh cepat pada pemuda yang sesekali terlihat menyembunyikan senyumnya. "Jelas apa, Kak?"

"Elo."

"Gue?"

Gadis itu menatap Marvin sebentar sebelum akhirnya membuang tatapan ke arah lapangan dengan kening yang berkerut. Perasaannya tak menentu sekarang. Degup jantung yang semula sudah kencang, saat ini mungkin telah melebihi batas ambang maksimum. Ibarat memakai NOS pada mesin kendaraan.

Saat sang hawa sibuk dengan pemikirannya, tangan Marvin bergerak di bawah sana untuk meraih tangan Gyani yang membuat gadis itu berpaling padanya sekali lagi. Tanpa berucap satu kata pun, Gyani menatap Marvin yang memilih untuk menyaksikan pertandingan seolah tak terjadi apa-apa. Rasanya otak Gyani sudah kosong karena euforia yang tercipta dan perlakuan diam-diam Marvin.

Lama, Marvin masih setia menunggu Gyani untuk membalas genggaman tangannya di bawah sana. Hingga akhirnya Gyani memantapkan hati untuk membalas dengan menautkan erat jemari di sela-sela jari Marvin, membuat laki-laki itu langsung tersenyum lebar.

Marvin berdeham kecil, lalu bergerak cepat menarik sepasang tangan tersebut dan menyembunyikan tepat di punggung. Akibat tarikan mendadak, tubuh Gyani langsung bergerak di samping Marvin. Sungguh sangat dekat hingga tak ada cela yang tersisa.

Ini masih bisa dibilang kerja profesional nggak sih?

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top