16. Estafet Putri
.
.
.
Berjalan beriringan menuju belakang gym bersama Kirana setelah turun dari becak di depan gerbang utama kampus, tak ayal membuat Gyani mendapatkan banyak gosip. Perempuan yang selalu tampak anggun dan jarang berceloteh, nyatanya lebih ceriwis dan aktif dari Cici. Hal ini membuat perjalanan mereka menuju belakang gym yang ditempuh sekitar kurang lebih sepuluh menit tak berasa sama sekali.
Di antara semua gosip panitia dan mahasiswa populer di kampus yang diulas oleh Kirana, sosok Amora-lah yang menarik atensi Gyani. Kirana mengatakan bahwa memang Marvin dan Amora pernah menjalin kasih, tapi mereka telah selesai sekitar delapan bulan lalu.
"Udah lama juga ya," acap Gyani.
"Ya makanya itu nggak papa banget kalo lo dekat dengan Kak Marvin. Ya kan kakaknya juga available for cuddle, kiss, hug—"
Gyani lantas menyikut ringan bahu Kirana yang membuat perempuan itu berhenti berbicara, beralih menjadi terkikik geli.
"Kak Marvin nggak suka sama gue, pokoknya dia nggak ada perasaan apa-apa—"
"Tapi, lo punya perasaan ke dia, kan?"
Gyani mengedikkan bahu. "Dih, sok tahu!"
"Gue nanya yaaa," kata Kirana di sela-sela tawa.
"Nggak, nggak ada," Gyani menampik keras, "kita kerja secara profesional aja."
Kirana mengangguk-ngangguk pelan. Ekspresinya menyiratkan rasa tak percaya disertai senyum jail yang membuat Gyani kembali berujar, "Gue serius ini mah."
"Iya, deh, yang kerja profesional."
Tak lama kemudian mereka akhirnya di lokasi, Kirana sempat membeli minuman es cokelat bersama Gyani sebelum mereka bergabung dengan panitia Divisi Pertandingan, yang nampak heboh mempersiapkan track lari untuk cabang estafet putri.
Dari kejauhan Hisyam terlihat memegang tongkat dengan berbagai warna dan mulai membagikan pada para peserta estafet putri yang berjumlah tujuh tim. Bergegas Gyani, Kirana, Marvin, Juan, Cakra, Jawad, Januar, Wita, Cici, dan Rian mendekati Hisyam yang berdiri tepat di tengah-tengah track.
Sebenarnya Gyani juga bingung kenapa tiba-tiba semuanya mendekat ke Hisyam setelah gadis itu melangkah menuju Hisyam duluan. Apa mungkin mereka juga penasaran? Tapi, bukannya semua kegiatan Hisyam kelihatan jelas bahkan dari kejauhan? Kocak sekali.
"Taruhan, yuk! Yang menang, dia yang traktir satu tim," acap Hisyam setelah bangkit dari bungkuknya untuk mengikat tali sepatu.
"Seru juga, tuh," balas Januar. "Tapi, kan, harusnya yang kalah yang nraktir."
"Ah, itu mah udah biasa ... sekali-kali kek beda gitu."
Wita langsung mengernyit. "Neraktir dalam rangka apa dulu, nih? Emang kita ada kumpul?"
"Bentar sore, kan, eval. Iya kan Kak Marvin?" tanya Cici pada Marvin yang berdiri di sampingnya.
"Iya, bentar sore ada eval. Kalian semua nggak boleh ada yang kabur ya. Wajib datang eval!" Marvin memperingatkan dengan diselingi senyum tipis.
"Kalo kabur?" Kali ini Kirana yang bersuara.
"Orangnya bakalan gue seret balik ke sini—"
"Kadiv kita emang psycho. Lo pada baru tau, kan? Makanya jangan dekat-dekat, serem tau!" ungkap Rian yang membuat beberapa di antara panitia menarik kedua sudut bibir ke atas, termasuk Gyani yang mencuri-curi pandang ke arah Marvin.
Sayangnya, Marvin menangkap itu dengan baik. Pemuda tersebut bahkan melakukan hal yang sama pada Gyani seraya sesekali mengulum senyum. Wajahnya juga terlihat merah merona.
"Yang tanding estafet putri hari ini cuma ada tujuh fakultas. SRD dan Hukum nggak ada perwakilan!" acap Hisyam santai.
"Oalahhh, pantesan lo ngajak taruhan, orang Hukum nggak ada!" seru Januar sambil menunjuk-nunjuk Hisyam yang sudah cekikikan bareng Cici dan Rian, yang merupakan mahasiswa Fakultas SRD.
"Tapi, gue tetap punya jagoan sendiri, sih." Hisyam lantas menunjuk dagu ke arah lapangan sepak bola, tempat di mana atlet estafet putri sedang berkumpul. Ini membuat semua pandangan anggota panitia mengikuti tatapan anak pemilik toko beras itu.
"Lo pada liat yang Fakultas Putih di ujung sana?" Hisyam menunjuk pada empat perempuan yang sedang berceloteh satu sama lain di sudut lapangan, "nah, itu jagoan gue. Gilaaa, seksi banget!"
Plak!
Jawad tiba-tiba mengeplak kepala belakang Hisyam yang membuat pemuda itu meringis sambil mengelus kasar kepalanya.
"Anying lo! Adek sepupu gue, noh!" seru Jawad.
"Hah?"
"Yang lo tunjuk itu adek sepupu gue, junior, satu tahun di bawah kita. Dia juga masuk ke Fakultas Kedok," jelas Jawad dengan tatapan memincing pada Hisyam dan kedua tangan terlipat di dada.
Bagi masyarakat kampus, Fakultas Putih adalah julukan untuk Fakultas Kedokteran yang disesuaikan dengan seragam para dokter. Mulai dari warna bangunan hingga bendera, semuanya serba putih.
Mendengar kata 'Junior', mata Cakra dan Juan berbinar sempurna. Mereka langsung mendekat ke arah Jawad dan berdiri di samping pemuda itu. Mereka bahkan mendorong Rian dan Januar sedikit lebih jauh karena posisi kedua pemuda itu berdempetan dengan Jawad.
"Yang mana, Kak?" tanya Cakra, celingak-celinguk.
"Apanya?" Jawad menjawab ogah-ogahan.
"Adek lo lahhh."
Jawad menunjuk dengan siku pada perempuan berambut hitam panjang, bola mata besar dan gelap, kulit putih khas masyarakat benua biru, hidung tinggi, serta bertubuh sintal yang begitu memikat organ penglihatan.
Melihat sosok itu, Cakra dan Juan sontak melongo. Mulut mereka terbuka lebar membentuk huruf O, sebegitu terpukaunya pada gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda tersebut.
Juan kemudian menyerongkan badan sambil menggoyang-goyangkan lengan Jawad dan berujar penuh antusias, "Kak, tolong jadikan aku adik iparmu!"
Ucapan Juan mendadak berubah menjadi sangat sopan, tidak seperti biasanya yang mengurutkan jenis-jenis hewan sesuai abjad.
"Dia nggak cocok sama lo, Ju. Cocoknya juga sama gue ke mana-mana. Iya kan, Kak?" balas Cakra.
"Lo berdua nggak ada yang cocok. Belum daftar audisi, lo berdua juga langsung gue out-in duluan!"
Sontak saja seluruh panitia tertawa terbahak-bahak mendengar tuturan jujur Jawad. Tidak ada yang lulus kualifikasi ternyata.
"Tapi, kok dia cantik banget, sih?" tanya Kirana.
"Yaiyalah, bokapnya bule Jerman."
Semua kompak berseru, "Ohhhhh ...."
"Kalo lo bule apa, Wad?" Rian bertanya dengan nada penuh candaan.
"Gue?" Jawad menunjuk ke arah wajahnya, "bule cacingan!"
"Bangsat! Nggak ada yang beres." Hisyam kembali berkelakar.
Saat akan kembali bercerita satu sama lain di antara anggota divisi untuk membahas dan mengawasi jalannya estafet, tiba-tiba saja dari ujung lapangan sana panitia mendengar perempuan itu menyapa semangat seraya melambaikan tangan kuat-kuat, "Haiii, Kak Jawad!"
Cakra, Juan, Marvin, Januar, Rian, Jawad, dan Hisyam langsung menghentikan aktivitas, lalu mengangkat wajah serta refleks mengayunkan tangan mereka.
"Hai jugaaa," balas ketujuh cowok itu kompak disertai senyum lebar membuat para gadis yang berada di sekeliling mereka menatap dengan kedua alis yang dinaikkan.
"Dih, yang disapa Kak Jawad, yang noleh malah satu batalyon!" cicit Wita dengan 'bombastic side eye'—kata anak-anak jaman sekarang—yang menyebalkan.
Kirana menyela, bibir bawahnya nampak dimaju-majukan. "Semua cowok emang sama aja, kecuali bokap gue."
"Emang bokap lo apa? Ubur-ubur? Ya jelas semua cowok sama aja, punya antena dari lahir," balas Rian yang tak kalah mengundang gelak tawa, sementara Kirana hanya mengedikkan bahu dan melipat kedua tangan.
"Ini gimana taruhannya? Jadi, nggak?" tanya Hisyam dengan pandangan yang mengedar.
"Gue ngikut kalian aja!" jawab Marvin yang berdiri seraya melipat satu tangan di dada, sedangkan satu lainnya memegang dagu. Dari tadi ia terlihat tampak memikirkan sesuatu dan terkadang sedikit tidak fokus.
"Oke, gue setuju. Yang lain?" Januar bersuara yang membut anggota lainnya hanya mengangguk lemah, menandakan bahwa mereka setuju.
Dan pembicaraan ini berakhir seiras dengan para atlet yang bersiap di barisan.
.
.
Gyani seperti biasa selalu berdiri sendirian. Entah dia yang tidak bisa diam di satu tempat atau memang panitia lain yang tidak terlihat batang hidung sejauh mata memandang. Perempuan itu setia di tengah lapangan sepak bola, untuk melihat pertandingan estafet putri dari jarak dekat.
Sebelumnya dia sempat menghampiri Widi, Veronica, Nuri, dan Helen. Keempat perempuan itu adalah teman sefakultas dan seangkatan Gyani. Awalnya Gyani juga heran mengapa tim yang termasuk dalam unit junior itu diikutkan, mengingat fakultas lain justru diwakili oleh para senior yang seumuran Marvin.
Akhirnya Widi menjelaskan bahwa beberapa senior MIPA perwakilan estafet putri mengalami cedera akibat latihan yang terlalu diforsir.
Memang estafet putri menjadi salah satu cabang olahraga primadona bagi para mahasiswa. Rata-rata mahasiswa yang turut andil di cabor ini akan semakin populer. Tidak tahu, Gyani hanya mengiyakan saja perkataan Cakra beberapa waktu lalu terkait hal ini. Namun, Gyani juga tak memungkiri bahwasanya itu memang benar.
Tidak sedikit yang menjadi influencer dadakan di media sosial karena ketenaran yang diperoleh secara tiba-tiba dari estafet. Aneh, tapi nyata!
Gyani sempat melirik ke arah kanan begitu ia mendapati seorang pemuda telah berdiri di sampingnya dengan kedua tangan yang dilipat ke belakang. Dari aromanya, Gyani sudah dapat menduga bahwa orang itu adalah Marvin.
Sesaat setelah tembakan tanda dimulainya perlombaan dibunyikan, Gyani tanpa sadar ikut bersorak mengikuti para penonton yang berada di seberang sana, tribun. Ramai, benar-benar riuh tak terkira.
"Wid! Buruan, Wid!" teriak Gyani sambil melompat-lompat kecil layaknya bocah.
Tongkat estafet berwarna ungu—warna MIPA—yang awalnya berada di tangan Widi pun berpindah ke pelari kedua, yaitu Helen. Sekali lagi Gyani memberikan teriakan dan tepuk tangan penyemangat. "Buruan, Helen! Lari yang kenceng!"
Tanpa Gyani sadari, Marvin sedari awal telah memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Ketika suara teriakan Gyani melenceng sedikit alias fals, Marvin semakin melebarkan senyum bahkan bisa berubah menjadi tawa tanpa suara.
"Verooo semangat!"
Nuri yang bergerak sebagai tonggak terakhir juga tak kalah hebatnya dalam berlari, membuat sorakan Gyani semakin membuncah ketika tongkat estafet dari Vero kini telah berada di tangan Nuri.
Estafet putri 4x100m itu semakin seru karena Fakultas Teknik dan Pertanian saling menyusul satu sama lain. Dua fakultas yang dikenal sebagai musuh bebuyutan ini menjadi perhatian para penonton, apalagi yang berasal dari fakultas berbeda.
Tanpa butuh waktu lama, para atlet telah mencapai garis finis dengan Fakultas Pertanian menempati urutan pertama disusul oleh Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA secara berurutan.
Gyani membelalak. Asli!
Fakultas MIPA bahkan tidak pernah masuk ke dalam lima besar estafet putri, namun kali ini mereka berhasil menduduki posisi ketiga.
"Aaaaaa," teriak bahagia Gyani, sekali lagi.
Tidak, dia tidak bersorak pada keempat atlet di depan sana. Melainkan gadis itu memutar tubuh menghadap Marvin dan memeluk erat sambil kedua tangannya mencengkram baju sang adam di bagian bahu, lalu digerakkan naik turun berulang kali. Mata Gyani memejam sempurna, larut dalam kesenangan pertandingan.
Selama menjadi panitia di berbagai event, ini adalah kali pertama Gyani begitu antusias dan semangat di tengah-tengah acara. Biasanya dia hanya bersemangat di awal-awal pertemuan panitia saja dan kendor di pertengahan hingga akhir.
Pilihannya untuk tetap melanjutkan di Divisi Logstran, yang dulu dirasa amat salah, sepertinya tidak terlalu buruk juga. Tidak tahu bagaimana ke depannya, tapi untuk saat ini Gyani menikmatinya.
"Gyani!" panggil Helen dengan suara keras yang membuat empunya nama membuka mata dan menoleh cepat ke arah suara. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya Gyani berlari menuju keempat temannya dan saling merangkul satu sama lain sampai-sampai membentuk lingkaran.
Mereka kembali bersorak!
"Kalian keren banget, guys!" seru Gyani sambil memeluk temannya satu per satu. "Gila, kalian gila ...."
"Padahal kita jarang latihan, lho. Terakhir itu dua minggu yang lalu. Itu pun cuma sekali," sahut perempuan rambut sebahu, Widi.
Helen, gadis berkulit sawo matang itu pun menjawab, "Iya ya, kita nggak ada kesempatan saking banyaknya laporan."
"Tapi, kalian bisa sampe peringkat tiga itu keren banget," puji Gyani.
"Kita aja masih nggak percaya," acap Vero sambil berjalan dan merangkul Gyani menuju tribun penonton untuk kembali menggaungkan yel-yel MIPA.
Sayangnya, Gyani harus menelan rasa kecewa karena tidak dapat bergabung, mengingat dirinya adalah panitia acara. Mau tak mau, ia harus berpisah dari keempat teman beda jurusan itu dan akan kembali menyiapkan area lompat jauh setelah istirahat siang.
Sebenarnya semua telah disiapkan oleh para panitia cowok semalam, hanya saja Gyani harus tetap ikut berkumpul untuk mengetahui segala hal lebih detil lagi sebagaimana prinsip Divisi Logstran, yaitu 'Tidak ada yang boleh ngang ngong ngang ngong ketika ditanya!'
Sebelum Gyani memutar tubuh untuk mencari panitia lain, Helen sempat bertanya yang membuat langkah gadis tersebut terhenti, "Gi, yang lo peluk tadi tuh pacar lo? Bukan anak MIPA ya?"
"Eh?" Gyani menautkan kedua alis, "meluk?"
"Iya, yang di samping lo tadi. Ciyeee ... lo mah kalo ada yang baru, cerita-cerita dong. Kan gue sama yang lain jadi buat perayaan—yaaa lo ngerti lah maksudnya, maklum anak kos ...."
"Yeuuhhh lo kata gue bukan anak kos?!"
Sang gadis masih mempertahankan kening berkerut. Lantas Gyani menoleh ke arah lapangan sepak bola di mana Hisyam, Marvin, Januar, dan beberapa wasit yang berasal dari organisasi eksternal berwenang pun berkumpul serta saling berkoordinasi dengan sesekali melihat kertas dan jam tangan.
Tatapan Gyani jatuh pada Marvin yang entah mengapa begitu berkarisma dan berwibawa. Pandangan tegas, gerak tubuh ketika dia menjelaskan ke seluruh orang, dan penampilan kasual yang jarang Gyani lihat kala mereka sedang pertemuan selama ini; membuat detak jantung perempuan itu bak sedang balapan. Jangan ditanya lagi bagaimana senyum di wajah mengembang sempurna dan malu-malu.
Nggak mungkinlah gue suka Kak Marvin. Yakaliiiii. Dia cuma kadiv gue, titik. Pokoknya cuma kadiv, batin Gyani lalu mengembuskan napas kuat-kuat.
"Udah sanaaa!" Helen mendorong ringan punggung Gyani.
"Kalo gitu gue duluan ya, Len. Nanti kita ketemu lagi." Pamit Gyani sambil berlari kecil menuju ke tengah lapangan.
Melihat perempuan berambut panjang itu menghampirinya, Marvin yang sedari tadi menampakkan ekspresi serius pun langsung berubah menjadi lebih ceria dengan kurva yang dibentuk oleh kedua sudut bibir ke atas. Sadar akan perubahan Marvin, para panitia dan wasit pun langsung memisahkan diri. Mungkin juga pembicaraan mereka telah selesai tepat setelah Gyani tiba.
"Istirahat, yuk! Mau makan siang di mana?" tanya Marvin dengan lembut.
"Makan siang di ruangan Logstran aja, Kak. Mau, nggak?"
Marvin langsung merespons dengan anggukan kecil. "Boleh, deh."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top