15. Pentingnya Bertanya

.
.
.

NEO Field Day hari pertama resmi dilaksanakan pada Minggu pagi. Para panitia dijadwalkan bersiap dan bergerak menuju belakang gymnasium pukul enam untuk berkoordinasi dan berdoa bersama di pinggir lapangan sepak bola.

Tepat pukul delapan, atletik akan dimulai. Sementara bagi cabang marathon, para perwakilan fakultas langsung diarahkan menuju lapangan gedung dekanat untuk berkumpul dan diberitahu kembali tentang peraturan pertandingan. Terkait tempat, gedung dekanat sendiri menjadi pilihan sebab dekat dengan pintu utama kampus.

Gyani yang bertugas untuk mengawasi jalannya maraton tidak menuju gym, melainkan bergerak menuju lapangan dekanat seorang diri dengan berjalan kaki.

Kosan gadis itu tak terlalu jauh dari gerbang utama, sehingga ia masih bisa berjalan santai. Akan tetapi, ini tidak berlaku pada Marvin. Sedari tadi laki-laki itu menelpon bahkan menghubungi via obrolan grup. Sayangnya Gyani tak ingin repot-repot mengangkatnya. Toh, setelah maraton berakhir, mereka juga akan bertemu lagi.

Satu per satu perwakilan fakultas tiba di lapangan, lengkap dengan atributnya. Gyani tidak lupa menyambut mereka dengan membantu Divisi Humas untuk menanyakan identitas dan memberikan nomor urut.

Sebenarnya Gyani masih merasa pusing karena baru bisa terlelap pukul 3 pagi. Entah mengapa ia tak bisa tidur malam itu.

Para panitia menggunakan pakaian olahraga bebas, tidak seperti saat pembukaan yang harus memakai seragam. Seperti diketahui bahwa baju panitia hanya ada dua jenis, putih untuk pembukaan dan hitam untuk penutupan nanti.

Di lapangan luas itu, Gyani mengedarkan pandangan sekali lagi untuk mencari keberadaan Kirana yang ditugaskan bersamanya. Sayang, hingga beberapa menit berlalu, ia tak menemukan perempuan berambut hitam panjang tersebut.

Tak masalah, mengingat Gyani juga tidak sendirian di sini.

Baru saja akan melangkahkan kaki dari tengah menuju tepi lapangan, ingin menyelonjorkan kaki di atas bangku kayu, tiba-tiba saja Andi-anggota Divisi Pertandingan yang sebelumnya berada di Divisi Acara-memanggil Gyani menuju ke arahnya yang berada di parkiran dekanat.

Dari kejauhan Andi tampak berdiri bersama seorang panitia lain. Akan tetapi, cahaya matahari yang menusuk mata membuat penglihatan perempuan itu sedikit kabur, meskipun ia sudah memincing dan fokus setengah mati.

Mau tak mau, Gyani pun berlari kecil dan meninggalkan lapangan menuju parkiran dekanat.

Semakin ia mendekat ke parkiran, semakin berat pula langkahnya. Ah, sekarang dia menyesal menghampiri Andi karena pada akhirnya ia harus bertemu sang kepala Divisi Logstran yang tampak manis dengan pakaian olahraga hijau tua dan celana training abu-abu.

"Kalo gitu gue duluan ya Kak Marvin, Gyani ...," pamit Andi.

"Oh iya, makasih ya, Bro," balas Marvin sambil menepuk bahu Andi satu kali.

"Santai, Kak."

Selepas kepergian Andi, Gyani mengembuskan napas berat dan panjang membuat Marvin mengerutkan kening.

"Lo lagi sakit ya, Ni?"

Gyani menggeleng cepat. "Nggak kok, Kak."

"Trus lo kenapa? Telpon gue juga lo nggak angkat dari tadi, padahal gue pengen berangkat bareng."

Tercetak jelas raut kekecewaan di wajah Marvin hingga tak ada lagi senyum yang selalu ia tunjukkan pada sang gadis. Jujur saja, sekarang Gyani merasa serba salah. Ia juga tak tahu apa yang ia inginkan atau apa yang akan ia lakukan. Aneh sekali karena biasanya perempuan itu tak seperti ini.

Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Marvin tiba-tiba saja mengangkat goodie bag kecil hitam dan menyerahkannya pada Gyani.

"Ini apa, Kak?" Gyani menerima goodie bag tersebut dan mulai mengintip sedikit ke dalam.

"Sarapan panitia. Lo udah sarapan, belum? Kalo belum, makan aja dulu soalnya perjalanan lo bakalan jauh banget, Ni."

Gue baru tau panitia dapat sarapan. Tajir juga panitia, batin Gyani.

"Gue makannya di sana aja, deh, Kak," acap gadis itu sambil menunjuk jempol ke arah lapangan yang berjarak sekitar dua puluh langkah dari tempatnya berdiri sekarang.

"Ohh ya udah nggak papa. Yang penting lo sarapan."

Gyani tampak mengangguk-ngangguk kecil. "Kalo gitu gue ke lapangan lagi. Makasih ya, Kak."

Belum sempat Gyani memutar tubuh, Marvin kembali berucap yang menghentikan langkah perempuan itu, "Ni, kalo lo mau nanya sesuatu, langsung tanya aja. Atau, kalo ada yang pengen lo omongin, gue siap dengerin kok. Nggak harus dengan ngediamin telepon gue, kan?"

Perkataan Marvin tepat mengenai sasaran yang sontak membuat keduanya terdiam selama beberapa detik. Ini justru bikin perut si gadis mulas!

Tanya soal Kak Amora, Gyani. Lo pasti penasaran, kan?

Kalimat itu terus bergaung di pikiran Gyani membuat gadis berambut hitam tersebut mati kutu. Iya, dia memang penasaran. Bohong jika tidak. Tapi, rasa malu dan gengsinya sudah sepanjang jembatan Suramadu dan setinggi Carstenzs Pyramid. Sangat sulit diucapkan bahkan ketika telah berada di ujung lidah.

Lebih nyeseknya adalah memangnya Gyani, siapa? Pacar Marvin aja, bukan! Laki-laki itu punya hak untuk tidak menjawabnya.

Hingga akhirnya satu pertanyaan mendadak keluar dari bibir dengan pewarna merah muda itu. "Kakak udah sarapan?"

Si begooo, bukan itu harusnya pertanyaannya! Gyani merutuki diri sendiri.

"Oh udah, kok. Lo mau ditemenin sarapan?" tanya Marvin dengan sunggingan sudut bibir yang sangat tipis. Saking tipisnya, orang-orang mungkin tidak akan sependapat dengan Gyani jika itu adalah senyuman.

"Ehh? Nggak, Kak," mata Gyani terbelalak, "nggak papa. Gue sarapan sendirian aja. Sekali lagi makasih ya, Kak. Gue ke lapangan dulu."

"Oke ...."

Sang gadis pun kembali berlari kecil meninggalkan Marvin yang irisnya masih terus memandangi punggung Gyani.

Sesampainya di tepi lapangan, perempuan itu dengan cepat duduk di bangku kayu panjang dan membuka goodie bag. Di dalamnya terdapat kotak persegi empat yang ternyata berisi tiga buah roti beragam rasa-cokelat, abon, dan daging-dan dua buah air mineral gelas. Tak lupa pula tisu.

"Sera!" panggil Gyani pada salah seorang panitia Divisi Humas yang membuat perempuan itu berlari ke arahnya seraya memegang papan jalan. "Lo udah sarapan, Ser? Sarapan bareng, yuk!"

Sera yang masih berdiri di depan Gyani pun berujar, "Yahhh, gue udah sarapan, Gi. Kirain lo manggil gue karena apaaa gitu hahaha."

Gyani ikut terkekeh kecil, lalu bertutur lagi, "Oalahhh, kirain belom. Padahal gue mau nawarin lo makanan panitia, nih-"

"Lah, panitia nggak dapat sarapan, Sist. Dapatnya cuma konsum siang. Emang setajir apa, sih, NFD? Duit Logstran aja belom ada yang diganti, kan?" Perempuan berambut pendek itu terkikik yang justru bikin Gyani mengatupkan rahang sambil mata mengerjap berulang kali. "Gue balik ke peserta lagi ya, Gyani. Makasih tawarannya."

"O-oh iya, Sera ...."

Kembali merapatkan mulut bagaikan orang bego sambil tertunduk mengamati kotak sarapan, itulah posisi perempuan bernama lengkap Gyani Felisha sekarang. Sedikit tak percaya dengan perlakuan Marvin, tetapi ia tak memungkiri jika ini membuatnya sangat bahagia.

Halah, persetanlah jika saat ini orang-orang melihatnya mesem sendiri seperti orang kurang waras. Nyatanya memang demikian.

Lantas Gyani dengan cepat menurunkan kotak tersebut dari pangkuan dan bangkit, memutar tubuh ke arah tempat Marvin berdiri beberapa waktu lalu. Sayangnya, laki-laki itu sudah tak tampak.

Gyani kemudian merogoh saku tas, lalu mengambil ponsel. Setelah menekan nomor dan terdengar suara lembut di ujung sambungan menyapanya, perempuan itu tersenyum lebar seraya berkata, "Kak Marvin, nanti kita pulang bareng yaaa."

.

.

"Nanti kalo misalnya udah capek, berhenti dulu aja ya. Jangan dipaksain!" acap Januar sambil merapikan puncak kepala Kirana.

"Iya, iya. Udah ih sana! Temen-temen lain butuh bantuan kamu, tuh, di belakang gym." Kirana bersuara lembut sambil mendorong ringan tubuh Januar.

Berdiri di samping Kirana yang berada di tepi lapangan pun membuat Gyani langsung mengapit lengan perempuan itu. "Princess-nya gue pinjem dulu yaaa, Pak Boss!"

Mendengar perkataan Gyani, Januar yang masih duduk di motor pun tersenyum lebar.

"Jagain ya, Gi!" ucap laki-laki yang memakai baju olahraga merah senada dengan Gyani tersebut.

"Kamu jangan keterlaluan, dong! Aku kan bukan anak kecil yang harus dijagain, Jan," tolak Kirana dengan muka yang ditekuk.

Gemas, gemas, gemas. Hanya kata itu yang keluar dari pikiran Gyani ketika melihat interaksi pasangan Januar dan Kirana yang tampil dengan pakaian olahraga beda warna.

Jika diperhatikan lagi, warna baju Gyani dan Januar terlihat sama, yaitu merah marun. Sedangkan Kirana dan Marvin berwarna hijau. Mengenai panitia lainnya, Gyani juga tidak tahu.

"Ya udah, deh. Aku pergi dulu. Kalo ada apa-apa, telpon aku."

"Sip, Jan!" Kirana membalas disertai senyum manis.

Meskipun berbeda knalpot dari motor Hisyam, tapi suara knalpot motor Januar juga tak kalah berisik. Padahal dia sudah ditegur berulang kali oleh satpam agar tidak membawa motor berisik itu ke dalam kampus, tapi Januar tidak mau mendengarkan.

Nggak ada motor lagi, Gi. Nggak mau juga gue ganti knalpot soalnya sayang duit, katanya tempo hari.

Waktu telah menunjukkan pukul 8 dan para perwakilan fakultas kemudian berdiri di depan gerbang utama kampus yang telah diberi garis merah. Mona-panitia Divisi Pertandingan-yang memegang bendera putih kemudian mengangkatnya tepat setelah pistol tanda dimulai pun dibunyikan.

Kirana dan Gyani terpisah lebih dahulu dari para pelari maraton tersebut. Tentu saja demikian, sebab mereka tak mungkin mengimbangi kecepatan para pelari, sehingga Kirana dengan idenya memulai untuk jalan santai duluan bersama Gyani.

Catat, jalan santai!

Bahkan hanya dalam hitungan menit, beberapa peserta sudah melewati dua panitia yang sedang berjalan di trotoar itu. Padahal jarak mereka dengan para peserta diperkirakan hampir satu kilometer.

Sebenarnya Gyani dan Kirana tidak berjalan berdua saja, melainkan ada beberapa panitia yang menunggu di titik-titik tertentu. Walaupun peserta sudah melangkah jauh, keduanya bisa saja putar balik dan melangkah ke belakang gym jika mereka mau. Akan tetapi, Gyani berpikir bahwa jika mereka kembali, maka mereka tidak memiliki tugas lagi.

Nggak enak juga cuma berdiri ngang ngong ngang ngong di pinggir lapangan, melihat panitia lain bekerja.

Belum setengah perjalanan, Kirana menghentikan langkah membuat Gyani melakukan hal yang sama. Mahasiswa Fakultas Sastra tersebut merogoh saku tas paling drpan dan membuka payung sambil mengibas-ngibaskan satu tangan ke arah wajah.

"Gi, lo nggak kepanasan?" tanya Kirana.

"Biasa aja, sih."

Kirana lantas menarik lengan Gyani agar lebih dekat ke arahnya, berlindung di bawah payung hitam polkadot putih. Padahal Gyani benar-benar tidak kepanasan mengingat sedang mendung juga. Iya, sinar matahari yang menyengat tadi tiba-tiba saja mulai lenyap.

Bakalan hujan?

"Gi, gue mulai puyeng. Apa gegara kepanasan ya?"

"Matahari aja nggak nampak, Na, kepanasan dari mana coba?!"

Sambil terus berjalan, Kirana mendadak menjulurkan satu tangan yang bebas di depan Gyani. "Ih, Gi tangan gue udah belang, nih. Mana udah mulai keringetan, lagi."

Gyani memandang Kirana dengan mengernyit dan kedua mata itu memincing sempurna. Sebenarnya Kirana tidak sering mengeluh dan selalu menyelesaikan jobdesk dengan baik. Mungkin memang ia tak terlalu suka di ruangan terbuka seperti ini?

Lah, trus ngapain jadi panitia kalo kayak gitu?

"Mau gue telponin Januar supaya jemput lo di sini? Gue bisa, lho, jalan sendirian," tawar Gyani seraya memperlihatkan ponsel.

Kirana menggeleng. "Eh, nggak usah!"

"Serius lo?"

"Iya!"

Baru beberapa detik kembali berjalan, Januar tiba-tiba saja menelpon Gyani. Sungguh suatu kebetulan yang benar-benar kebetulan, pokoknya kebetulan yang patut disyukuri.

"Kenapa, Jan?" tanya Gyani yang justru sama sekali tak menarik perhatian Kirana. Perempuan itu hanya terus berjalan seraya memegang payung dan memandang lurus ke depan.

"Anaknya ngeluh, nggak?" Januar bertanya balik yang bikin Gyani tak percaya selama beberapa sekon. Bisa tau gitu ya?

"Iya, nih."

"Ambilin permen karet aja di tasnya. Gue udah siapin itu."

"Lah, itu doang 'obat' nih anak?"

Januar berdeham kecil dan tekekehseperti mengatakan rasain-lo-Gyani. "Suruh makan, buruan! Daripada lo denger keluhannya yang bikin bete."

"Benar juga-"

"Udah dulu ya, Gi. Kalo ada apa-apa telpon gue."

"Iya, Pak ...."

Gyani pun meminta izin untuk membuka tas Kirana dan mengeluarkan satu bungkus permen karet panjang putih rasa mint dilapisi oleh kertas silver. Dengan cepat Gyani menyerahkan pada Kirana dan menyuruh perempuan berambut hitam lurus itu memakannya saat ini juga.

"Gi, kayaknya kita udah ketinggalan jauh, deh," acap Kirana sambil tatapannya melekat kuat pada jalan aspal yang berkelok-kelok.

"Lah emang iya, Na. Kan kita dari tadi cuma jalan santai. Mana berenti mulu, 'kan?" Gyani rasanya ingin meremas-remas Kirana saat ini juga.

"Kalo gitu mereka udah nggak kekejar, mungkin ada kali ya yang udah nyampe. Gimana kalo kita pake jalan pintas aja?"

Gyani mengernyit sempurna sambil celingak-celinguk. Sejauh mata memandang, mereka cuma menemukan rumah warga dan hutan penelitian Fakultas Pertanian. Tidak ada jalan pintas menuju ke gerbang utama kampus, tempat final maraton putra.

"Lewat mana?" Gyani berpikir bahwa Kirana mungkin akan melewati hutan.

"Pake itu aja," tunjuk perempuan itu ke arah depan yang membuat Gyani sukses melongo tak percaya. "Ayo, Gi!"

Setelah mendaratkan bokong, Gyani masih tak habis pikir dengan ide Kirana. Meskipun begitu, ia akan sangat bersyukur jika kaki abang becak tidak gempor karena harus mengayuh di jalanan yang lebih mirip track balap motogp akibat liukannya yang bisa saja bikin mual.

Sedetik kemudian, Gyani hanya tersenyum dan menggeleng kecil membayangkan kakinya dan kaki Kirana yang gempor jika tidak naik becak.

"Udah berapa lama lo jalan sama Januar?" tanya Gyani tiba-tiba pada Kirana, memecah keheningan.

"Lama banget, dari SMA," jawab gadis bermata besar itu sambil sesekali membuat balon dari permen karet yang ia kunyah.

"Lama juga ya kalian pacarannya-"

Kirana memotong cepat dan memandang Gyani dengan mata terbelalak, "Siapa yang bilang kita pacaran?"

"Lah, trus?!"

"Gue sama Januar nggak pacaran, Gi! Nggak ada dari kita yang ungkapin perasaan satu sama lain."

Gyani hanya membulatkan mulut membentuk huruf O sambil kembali memperbaiki posisi duduk menghadap ke depan. Sesekali Gyani mengangguk membuat Kirana menarik kedua sudut bibir ke atas, nampak puas setelah memberitahu Gyani.

Terus selama ini kemesraan kalian di depan anak-anak Logstran tuh apa? Emang bener, sih, ada apa-apa tuh harus nanya dulu. Bukan langsung buat kesimpulan sendiri. Ya ampun!

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top