13. Opening NEO Field Day

.
.
.

Waktu tersisa satu jam menuju pembukaan NEO Field Day yang akan digelar pada pukul 20.00 WIB. Para panitia kini terlihat sibuk mondar-mandir dengan seragam yang telah disiapkan, yaitu kaus putih dan celana jeans untuk laki-laki, sedangkan untuk para perempuan dibebaskan untuk mengenakan celana atau rok.

Oleh karena para penonton mengenakan pakaian beragam warna sesuai identitas fakultas, panitia sepakat untuk mengenakan putih yang membedakan mereka dengan penonton di tribun nantinya.

Sejauh mata memandang, sekre BEM yang biasanya sangat tenang, kini menjadi riuh. Tak sedikit panitia yang melakukan koordinasi per divisi di lobi lantai dasar atau mengangkat perkakas yang dibutuhkan.

Mulai esok hari, Divisi Logistik dan Transportasi serta Divisi Acara akan melebur menjadi Divisi Pertandingan. Awalnya anggota Logstran sangat menentang keras peleburan ini di awal-awal kepanitiaan terbentuk, sebab mereka juga memiliki banyak pekerjaan.

Sayangnya, keputusan Brian dan para kadiv lainnya dianggap bulat. Marvin bahkan menjadi satu-satunya Ketua Divisi yang menolak saat pembahasan ini berlangsung beberapa bulan lalu, tetapi ia kalah suara. Sehingga mau tak mau ia menerimanya.

Dari lantai dua, Cakra berdiri di dinding pembatas dan berteriak ke lobi bawah, "Anak Logstran, Kumpul!"

Bergegas para anggota yang datang dari berbagai arah pun berjalan menuju ruangan tim Logistik dan Transportasi, termasuk Gyani yang saat itu tampil dengan rok merah garis-garis dan rambut digerai.

Menjadi orang terakhir yang tiba di ruangan membuat Gyani dapat melihat lingkaran para anggota di tengah-tengah. Gyani langsung bergabung dan mulai mendengarkan instruksi Marvin.

"Kita akan memulai opening beberapa menit lagi, dan besok kita udah jadi bagian Divisi Pertandingan. Gue harap kita semua bisa saling koordinasi satu sama lain. Gue nggak mau denger 'divisi lo ya divisi lo', 'divisi gue ya divisi gue'. Kita dan Divisi Acara udah jadi satu.

Untuk Wita, hp lo harus selalu aktif, oke? Kalo ada apa-apa, jangan sungkan untuk hubungi kita! Tereak kalo lo memang harus tereak. Hajar aja kalo memang itu diperlukan. Kita di sini dukung lo," ujar Marvin dengan senyum tipis.

Mungkin sebagian besar anggota Logstran tidak mengerti maksud Marvin, tetapi Gyani dan Jawad sangat paham tentang kondisi Wita yang trauma pada Brian yang juga mengambil bagian dari Divisi Pertandingan. Sebisa mungkin mereka akan menjaga Wita di mana pun gadis itu ditugaskan.

Mendengar perkataan itu, Wita melebarkan sunggingan dan mengangguk mantap. "Siap, Kak."

"Dan untuk semuanya, kalo kalian nemuin kesulitan di lapangan, jangan panik dan tetap saling terhubung! Semua masalah bakalan nambah berantakan kalo kalian panik."

Marvin kemudian mengangkat kertas membuat para anggota melakukan hal yang sama. Kertas tersebut adalah rundown dari Divisi Acara yang telah diberikan pada seluruh panitia sehari sebelumnya.

"Tolong diperhatikan ya, kalo bisa kalian tandai juga. Gate Utara itu khusus untuk tamu dan perwakilan Fakultas MIPA. Inget, perwakilan yang jumlahnya 25 doang. Perwakilan fakultas masuk setelah semua penonton masuk," acap sang ketua.

Ah, Gyani tahu alasan fakultasnya mendapat Gate yang langsung menuju tengah gymnasium, sebab Fakultas MIPA terkenal dengan sikap tenang. Ini dirasa sangat cocok dengan para tamu undangan. Tentu saja tidak semua mahasiswa MIPA seperti itu. Ada juga beberapa yang gila dan rusuh, contohnya Gyani.

"Gate Barat diisi perwakilan Fakultas Kedokteran, SRD, Ekonomi Bisnis, sama Sastra. Sedangkan yang Timur ada Teknik, Pertanian, Kelautan Perikanan, dan Hukum. Ini semua berurutan ya masuknya sesuai yang gue sebutin tadi.

Masing-masing dari kita jagain gate. Gue, Januar, Cakra, dan Juan ada di Gate Timur. Gyani, Kirana, dan Hisyam di Gate Utara. Rian, Cici, Jawad, dan Wita di Gate Barat.

Kalian juga dapat kunci untuk ruangan ini. Jadi kalo misalnya kalian capek, kalian bisa istirahat di sini. Untuk teknis pertandingan besok, kita lanjutkan di evaluasi setelah opening. Ada yang mau ditanyain?"

Seluruh anggota kompak menjawab, "Nggak!"

Marvin kemudian mengangkat wajah menuju Januar. "Oh iya, Jan, lo udah koordinasi sama petugas keamanan kampus? Menwa gimana?"

"Tadi gue liat beberapa perwakilan Menwa udah ada di bawah deket gate, Kak. Kalo keamanan kampus, gue belum liat," tutur Januar dengan satu tangan masuk ke dalam kantong celana dan satu kaki menumpu.

"Oke kalo begitu ... nanti setelah seluruh penonton, tamu, panitia, dan perwakilan fakultas masuk ke gym, gate-nya kita tutup—"

Kirana membelalak dan menggeleng cepat. "Ih, kok ditutup, Kak? Mending dibuka aja. Gue takut kalo ada kenapa-napa, pintunya malah macet. Parno ah gue, Kak."

Sebenarnya perkataan Kirana ada benarnya, jika terjadi sesuatu bukannya lebih gampang diatasi saat pintu terbuka. Akan tetapi sekali lagi, peraturan tetaplah peraturan.

"Permintaan para kadiv kayak gitu, Na. Jadinya yang telat udah nggak bisa nonton pembukaan lagi." Pandangan Marvin lantas menuju Gyani. "Makanan untuk tamu udah dianterin, kan, Ni? Maksudnya udah ada di gym?"

Gyani tersentak begitu namanya disebut, lalu dengan anggukan kecil ia berujar, "Udah, Kak. Udah diterima sama Konsum."

"Oke, sip."

"Oh iya, Kak. Tadi gue sempat liat anak-anak Teknik udah otw ke sini. Mana maskotnya gede banget lagi. Sama ini ... apa namanya ... mereka juga bawa kain hitam yang gede itu, lho. Logo Teknik," ujar Juan sambil sesekali menjentikkan jari dan berpikir.

Marvin mengangguk-ngangguk pelan. "Itu berarti kita udah harus stand by di tempat."

Lantas sang ketua kemudian meraih tangan Cakra dan satu per satu para anggota saling merangkul hingga lingkaran mereka menjadi sempurna.

"Mari kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing untuk kelancaran opening hari ini dan agenda-agenda lain ke depan, berdoa dipersilakan ...."

Mereka saling menunduk dan memejam untuk beberapa saat hingga keheningan masuk ke dalam hati. Divisi Logstran yang terkenal dengan keriuhannya untuk pertama kali benar-benar damai hari itu. Ada harapan besar di pundak mereka tentang acara hari ini karena opening selalu menjadi titik awal penilaian apakah suatu acara akan berhasil atau tidak.

Gyani ingat bagaimana tahun lalu NFD ternodai bahkan ketika pertandingan belum dimulai. Pertengkaran yang terjadi cukup besar, tapi ini tidak menghentikan pelaksanaan event akbar tersebut. Benar-benar suatu pilihan yang salah menurut Gyani, sebab percikan-percikan yang terjadi di opening justru semakin meluas hingga ketika perlombaan dimulai.

Saat semua anggota selesai berdoa, Marvin mempersilakan mereka untuk keluar dari ruangan dan kembali mengerjakan jobdesk masing-masing.

Gyani pun bergerak untuk mengambil ID panitia yang berada di dalam lemari, dan akhirnya tidak menyisakan satu pun sebab semua anggota ternyata sudah mengambilnya terlebih dahulu.

Ketika Gyani membuka pintu lemari, sayup-sayup ia mendengar Jawad mengatakan sesuatu pada Wita dengan sedikit berbisik di belakang sana, "Tetap di samping gue ya. Jangan ke mana-mana!"

"Iya, Kak."

Entah mengapa Gyani tersenyum ketika mendengar perkataan tersebut. Rasanya manis dan menggemaskan di saat bersamaan, bahkan ketika dua orang itu telah menghilang dari jarak pandang, aura kebahagiaan masih terpancar di sana.

"Ni," panggil Marvin lembut membuat Gyani tersentak dan menoleh ke sumber suara, "yuk turun!"

Marvin yang berdiri di dekat pintu kemudian mengulurkan tangan kanan yang membuat Gyani terdiam untuk beberapa saat. Setelah itu, ia memasang ID card dengan cepat di leher, lalu berlari kecil untuk meraih tangan Marvin dan berjalan meninggalkan sekre BEM bersama.

.

.

Seluruh pawai perwakilan fakultas akhirnya masuk ke dalam gymnasium setelah MC memanggil dan memperkenalkan mereka. Riuh penonton tak terelakkan lagi membuat kebisingan yang dapat membengkakkan telinga.

Ini semakin semarak dengan alat musik dadakan yang dimiliki tiap fakultas berupa jerigen kosong yang dihias sedemikian rupa, drum kecil, dan stick drum. Setiap fakultas memiliki jenderal atau pemimpin yel-yel yang berdiri di depan bersama maskot mereka. Gemuruh yang diciptakan mungkin adalah hal yang paling luar biasa bagi Gyani.

Saat acara akan dimulai, Tim Logstran terbagi menjadi tiga, yaitu tim satu yang berdiri jauh dari lapangan gymnasium—mengawasi dan menyandar pada pintu masuk. Tim dua yang berada di belakang panggung dan tim tiga yang bersiap di sekitar penonton.

NEO Field Day resmi dibuka ketika rektor menyampaikan sepatah dua patah kata dan menyalakan obor yang berada di tengah lapangan.

Gyani kembali memutar memori bagaimana Hisyam dan Cakra kelimpungan membuat obor yang berdiri dengan kaki tiga bambu tersebut. Beberapa kali gagal hingga akhirnya Wita, Juan, Rian, dan Marvin turun tangan untuk menyelesaikan semuanya.

Gadis itu awalnya berdiri bersama Kirana dan Cici, tetapi ketika ia menoleh ke kanan-kiri di pintu masuk, dia tak menemukan keduanya. Gyani kemudian hanya mampu terdiam sambil terus memandangi acara yang luar biasa megah.

Entah sudah berapa lama ia berdiri sendiri sampai-sampai kehadiran Marvin yang berada di sampinganya pun tak ia sadari. Hingga akhirnya laki-laki itu menyikut Gyani, barulah gadis tersebut tersentak kecil.

Selama menikmati penampilan, tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Degup jantung Gyani seperti ikut berdentang bersama alunan dari suara penyanyi wanita di depan sana. Rasa nyaman tiba-tiba saja menyelimuti hati. Senyum-senyum sendiri? Sudah pasti!

Halah, dangdut banget. Sial!

"Logstran! Logstran!"

Terdengar suara dari HT yang berada di tangan mereka. Jika didengarkan lebih jelas lagi, suara itu berasal dari Hisyam.

"Kenapa, Syam?" jawab Marvin seraya HT itu didekatkan pada mulut. Hal ini jelas memantik rasa penasaran Gyani yang memandangi Marvin dengan kedua alis yang bertautan.

"Kak, lo di mana?"

"Gue di bawah. Dekat pintu masuk. Kenapa?"

"Kak ... banner untuk logo fakultas ... di atas nggak bisa dibuka."

Kening Marvin langsung berkerut. "Hah? Maksudnya?"

"Banner logo Sastra ... di bagian atas ... di langit-langit gym ... diikat mati!"

Mampus!

"Lo udah di atas, Syam?" tanya Marvin dengan ekspresi tenang seperti biasa.

"Udah, Kak."

"Oke, gue ambilin gunting!"

Gyani pun berjalan sedikit ke arah lapangan gymnasium dan mendongak. Di bagian langit-langit, ada beberapa besi warna hitam yang melintang dari ujung ke ujung. Rencananya di pertengahan acara, banner dengan logo tiap fakultas itu akan dibuka secara bersamaan. Untuk saat ini, banner itu masih dalam keadaan tergulung dan diikat dengan tali nilon kecil.

Di atas sana, Gyani sudah melihat beberapa panitia sedang mengecek kondisi. Tak heran jika Hisyam berada di atas. Entah siapa yang punya ide untuk mengikatnya dengan tali tersebut dan membuat mahasiswa hukum itu kelimpungan sendiri.

Saat akan beranjak menuju ruang perkakas, kembali HT milik Marvin dan Gyani berbunyi seperti sebelumnya. Belum sempat Gyani merespons, Marvin sudah mengambil kendali terlebih dahulu.

"Ya?"

"Kak, papan PDD di depan gym ... pada jatoh!" ungkap Cici.

"Bisa diakalin, Ci?" tanya Marvin.

"Bisa ... tapi gue sama Kak Rian ... butuh bantuan!"

Begitulah suara yang keluar dari HT, terputus-putus dan tidak terlalu jelas.

"Tahan bentar, Ci!" jawab Marvin sambil memandang Gyani.

Laki-laki itu kemudian memberi instruksi bahwa ia akan membantu Hisyam, sedangkan Gyani membantu panitia yang ada di luar.

Belum sempat mereka beranjak lagi, Wita yang ternyata berada di belakang panggung justru memberitahu bahwa dari empat mic yang disediakan, dua diantaranya bermasalah. Mic yang tidak berfungsi tersebut sekiranya akan digunakan oleh band yang sebentar lagi akan tampil.

Oke, Gyani sudah panik sekarang!

Marvin mengatupkan rahang sebentar sebelum akhirnya ia keluar dari gym diikuti oleh Gyani di belakang.

Sepanjang jalan, laki-laki itu memberitahu Gyani bahwa dia harus mencari mic cadangan. Sebelum menginjak parkiran, sang gadis berinisiatif untuk membantu dengan mengatakan bahwa ia bisa meng-handle mic dan properti PDD. Sedangkan Marvin sebaiknya membantu Hisyam.

Awalnya pemuda itu menolak, tapi karena dikejar oleh waktu dan Gyani tampak begitu meyakinkan membuat ia menyetujui hal tersebut tanpa perlu berpikir terlalu lama.

Marvin dan Gyani pun berpisah. Ini membuat gadis berambut panjang dengan cepat berlari menuju depan gym untuk menemui Rian dan Cici yang saat itu sedang mengamati papan.

"Kalian butuh apa?" tanya Gyani pada Rian dan Cici yang telah berdiri berdampingan.

"Kita butuh tali." Rian memberi respons seraya berkacak pinggang dengan satu kaki menumpu, memperhatikan dengan lesu papan-papan itu.

"Tali apa aja, kan? Atau ada tali khusus?" tanya Gyani dengan cebikkan khasnya, "ini yang lain pada ke mana, sih?"

"Iya, apa aja. Asal tali."

Cici yang berdiri di antara kedua teman sedivisinya lantas menoleh pada Gyani. "Yang cowok ada yang nganterin para tamu, ada juga yang manjat buat mastiin logo, Kak," jawabnya.

Sontak saja pernyataan Cici mengundang tanda tanya besar bagi Gyani. Kedua mata puan itu seketika memincing dan ekspresinya luar biasa buruk. "Lah, bukannya tamu ada kendaraan sendiri? Ngapain dianterin segala?"

"Iya ada, sih, Kak. Cuma kan kampus kita demen banget flexing ye kan, jadinya para tamu diajak keliling sama rektor de el el sebelum mereka balik."

"Ya kan ada humas ...."

Cici menengadahkan kedua tangan dengan bibir bawah dimajukan. "Apalah arti humas tanpa transportasi—"

"Babiii!" hardik Gyani membuat Cici dan Rian terkekeh pelan.

Baru saja Gyani menoleh sedikit ke arah kanan parkiran, ia sudah menemukan satu orang yang sangat ia kenali. Perempuan itu nampak akan meninggalkan area gymnasium dengan motor tua miliknya. Iya, siapa yang tidak mengenal Adiba dengan motor tua khas bapak-bapak tahun 2000-an awal yang sering melintas di Fakultas MIPA.

"Dib! Diba!" panggil Gyani seraya melambaikan tangan dan berlari kecil menuju teman sefakultasnya itu.

"Kenapa, Gi?" Perempuan berkerudung hitam tersebut membalas dengan senyum tipis.

"Lo mau ke mana?"

"Mau baliklah gue ke sekre himpunan. Gue tadinya mau masuk ke gym, tapi udah telat. Mana panitianya sok iye lagi larang-larang gue masuk!" protesnya dengan bibir yang dimanyun-manyunkan.

Tanpa banyak berpikir, Gyani lantas berucap, "Lo bisa masuk bareng gue kalo lo mau bantuin gue."

"Bantuin apa dulu, nih?"

"Gue butuh dua mic sama satu gulung tali—"

"Itu, mah, ada semua di sekre MIPA. Udah, naik gih. Gue anterin!"

Dan Gyani akhirnya mengembuskan napas lega, meskipun ia tak begitu yakin bahwa ia akan kembali tepat waktu atau tidak.

Setidaknya dia lagi berusaha....

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top