11. Urusan Vendor
.
.
Setelah melewati rapat demi rapat yang melelahkan, mencari seluruh kebutuhan acara, dan bekerja sama dengan semua divisi; seluruh panitia NFD akhirnya akan menyambut opening yang akan dilakukan dua hari mendatang. Mengingat ini adalah hari Jumat, panitia pun mulai memasang dekorasi dan berkoordinasi di dalam gymnasium setelah proses perkuliahan berakhir.
Terlihat para panitia berlalu lalang di empat tribun, masing-masing dua tribun di bagian kanan-kiri.
Januar, Cakra, Jawad, dan Juan sibuk memasang banner acara di beberapa titik dengan ketinggian yang sedikit mengerikan.
Wita dan Hasyim berada di ruangan belakang untuk membantu Humas. Sementara Cakra awalnya adalah orang yang memiliki tugas tersebut, tetapi karena ia telah memiliki banyak kerjaan lainnya yang lebih dulu dikerjakan, terpaksa Hasyim yang mengantarkan Wita untuk mengurus dokumen-dokumen perizinan ke beberapa otoritas atas lapangan dan pusat olahraga lainnya di kampus.
Cici dan Rian selaku yang bertanggung jawab atas PDD tak henti-hentinya bolak-balik pasar untuk membeli keperluan, termasuk bambu. Entah sudah berapa kali pengukuran yang dilakukan divisi PDD tak pernah akurat, sehingga bambu-bambu tersebut terpotong asal dan tidak digunakan. Maka dari itu, Rian yang mengambil alih proses pemotongan dibantu oleh beberapa panitia di divisi tersebut.
Kirana dan Marvin bersifat mobile, artinya mereka bergantian mengawasi tugas panitia NFD divisi logstran di dalam dan luar gymnasium. Tak jarang juga Marvin akan mengawasi kerja teman-teman yang sedang memanjat, memaku, dan pekerjaan kasar lainnya agar terlihat rapi.
Gyani sendiri ditugaskan sebagai penghubung antar divisi. Dia berputar-putar di luar dan dalam gymnasium untuk memastikan bahwa para kadiv dan beberapa panitia perwakilan divisi memiliki HT yang berfungsi optimal. Perempuan itu juga mengatur para vendor yang akan menyiapkan berbagai tata panggung, rencananya akan dipasang hari ini.
Melihat Jawad dan Wita yang sudah mondar-mandir dengan kesibukan, Gyani merasa tidak perlu untuk mengkhawatirkan mereka lagi. Meskipun ada rasa penasaran dalam hatinya, tapi Gyani mencoba untuk bersikap biasa saja.
Ada satu hal yang perempuan itu lihat hari ini. Jika Brian terlihat di suatu tempat, secepat mungkin Wita dan Jawad akan menghindar. Ah, seharusnya itu tidak perlu disebutkan lagi.
"Gy, nanti meja untuk kue agak ke belakangin dikit ya, sebelah kanan. Kalo anak Acara pada nyuruh sesuai dengan kemauan mereka, lo nggak usah dengerin," acap Amora memberikan instruksi, "siapa tau abang yang bawa meja sama kursinya datang dan gue nggak ada di sini, lo langsung atur aja."
"Oh iya, Kak," ujar Gyani pada Ketua Divisi Konsumsi tersebut.
Benar adanya, lima menit setelah kepergian Amora, vendor yang menyediakan kursi dan meja akhirnya tiba. Bergegas Gyani mengatur abang-abang yang ngangkut kursi dan meja sesuai denah dari divisi acara, serta instruksi Amora.
Ya, Amora tidak mengatur semuanya. Hanya saja khusus untuk meja kue, ia ingin tidak terlalu nampak saat acara pembukaan nanti. Tak lupa pula dua buah sofa panjang diatur berdekatan satu sama lain untuk menutupi meja kecil tersebut.
Saat kaki Gyani tiba di dalam gymnasium setelah mengantar pegawai vendor keluar melalui pintu belakang, Januar tiba-tiba saja memanggilnya.
"Kenapa, Jan?"
"Ada paku jok, nggak?"
Gyani sontak mengernyit. "Ada paku, tapi joknya di motor. Nah, lho, mikir kan lo?"
"Sialan, mana iya lagi!" Januar menyeringai geli setelah mengetahui maksud Gyani. "Buruan dah ambilin paku jok."
"Ambil aja, sih, di ruangan belakang!"
"Ah elah, tapi kalo gue yang ambilin, lo yang masangin ya?"
Sebenarnya Gyani juga tidak tahu untuk apa paku jok tersebut, jadi dia berakhir iya-iya saja. Gyani kemudian terdiam sambil menunggu Januar yang bergegas mengayunkan kaki menuju ruangan dan keluar dengan membawa satu kresek hitam.
"Ikut gue!"
Gyani manut-manut sembari berjalan di belakang Januar. Udah kayak kambing yang digembalakan oleh pemiliknya!
Sesampainya kedua orang itu di depan gymnasium, Januar berbelok ke arah kiri dan menghentikan langkah tepat di depan papan pengumuman yang besar dari tinggi. Mungkin tingginya sekitar empat meter dengan tangga berada di bagian depan. Sontak saja pandangan perempuan tersebut menjalar dari bawah ke atas dengan mulut membentuk huruf O.
"Lo jangan ngadi-ngadi, Jan! Yakali gue masang, tuh, banner acara di atas sana. Yang ada bukan banner-nya yang tergantung, tapi hidup gue yang lepas." Gadis berambut panjang itu mengerluarkan protes dengan mulut yang dikerucutkan.
Untuk kesekian kali Januar terkikik. "Ya kan gue bilang dari tadi, ambilin paku atau pasangin. Lo malah milih pasang. Jadi ya udah."
"Nggak gitu juga, geblek!" Gyani menoyor kepala Januar yang disambut tawa terbahak-bahak. "Mikir, dong, lo!"
"Lo lah yang mikir gimana bisa sampe ke atas sana."
Gyani mengerjap, memperhatikan tangga dengan ragu-ragu. Namun, sedetik kemudian ia mendapatkan ide setelah melihat Januar memasukkan benda persegi panjang hitam ke dalam kantung celana.
"Kirana, Logstran. Kirana, Logstran!" acap Kiana melalui HT yang membuat Januar membulatkan mata tak percaya. "Bisa bantuin masang banner di depan gym, nggak?"
Bergegas Januar merampas HT milik Gyani dan menyembunyikannya di belakang tubuh tanpa mendengar jawaban dari Kirana yang diperkirakan berada di samping gedung gymnasium.
Ah, Kirana si princess polos itu disuruh apapun pasti mau-mau saja dan Januar sudah tentu tidak akan tega jika sang pujaan hati harus manjat. Di mana harga dirinya sebagai laki-laki pelindung sang putri mahkota?
"Jangan suruh Kirana!"
"Dih, semau gue lah. Anaknya aja nggak keberatan, kok."
Januar mengedikkan bahu. "Sorry, tapi gue keberatan ya."
"Jiakhhh." Gyani menarik kedua sudut bibir ke atas dengan lebar.
Dan pada akhirnya Gyani menang setelah Januar memutuskan untuk menyerahkan HT milik gadis itu dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam gymnasium.
Rasanya ia sudah bisa pulang, mengingat saat ini tak ada lagi yang harus ia lakukan. Sayangnya, baru saja ia bergerak menuju ruangan belakang, Cakra memberitahu bahwa tidak diperbolehkan meninggalkan venue sebelum vendor sound system tiba.
Ah, padahal dia sudah ingin pulang!
.
.
.
.
Dua mobil pick up akhirnya tiba di depan gedung, Gyani pun berlari mencari BPH dan anggota divisi acara untuk memberitahukan kedatangan vendor. Akan tetapi, Gyani tidak menemukan satu orang pun panitia yang menjabat di dua divisi tersebut, selain Brian. Puan itu awalnya enggan untuk berbicara dengan Brian setelah kasus Wita beberapa waktu lalu, hanya saja ia tidak punya pilihan lain.
"Maaf Kak Brian. Di luar udah ada vendor sound system."
Brian menoleh dengan ekspresi datar. "Dari Harmony, bukan?" tanyanya sambil menyebut nama vendor tersebut.
"Lho, bukannya sama Voice ya, Kak?"
"Siapa yang bilang? Dari dulu kampus kita udah langganan Harmony kali. Masa Marvin nggak ngasih tau lo?"
"Tapi, di luar itu Voice, Kak." Gyani mendesah frustasi.
Kekecewaan Gyani tentu saja berdasar, sebab ia tahu bahwa dirinya dan Marvin yang memesan vendor tersebut dan sudah dp di awal pakai uang Marvin secara pribadi.
Ngandelin BPH ngeluarin duit secara kilat? Meh....
Lagipula, tidak ada satu pun wacana yang ia dengar bahwa acara kampus apapun telah menjadi langganan salah satu vendor. Kalaupun memang iya, seharusnya Marvin tahu, bukan?
"Kasih tau mereka kalo kita mesannya Harmony." Putus Brian pada akhirnya.
Mendengar perkataan itu, Gyani sedikit tidak terima. Akan tetapi, ia tetap keluar untuk menyampaikan kepada para pegawai. Tidak, pegawai tersebut mengatakan bahwa mereka bingung karena memang semuanya disiapkan memang atas pesanan Marvin dan akan dipasang sesuai lokasi yang diminta.
Akhirnya Gyani kembali masuk ke dalam gym dan bergegas meraih ponsel sebelum kembali bertemu dengan Brian yang sedang sibuk duduk di sofa untuk para tamu dan bermain gim di ponsel genggamnya. Tangan Gyani segera menekan nomor Marvin. Akan tetapi, meskipun berulang kali ia menghubungi tetap saja tak ada suara laki-laki itusama sekali.
Mau tak mau, Gyani harus kembali ke Brian dan menjelaskan seperti sebelumnya, termasuk kebingungan para pegawai vendor di luar yang tak ingin beranjak meninggalkan gymnasium.
"Udah gue bilang, kalo bukan Harmony ya suruh balik aja."
"Trus kita bakalan pake apa, Kak? Kan Harmony nggak dipesan sama sekali. Mana hari ini, kan, sound system harus terpasang."
"Itu urusan divisi lo, bukan gue!"
Jika menjambak dan memukul orang dengan meja kayu berukuran besar dalam jarak pandang adalah halal, maka Gyani akan melakukannya sekarang kepada Brian.
Gyani tidak dapat melakukan apapun, selain meminta maaf kepada para pegawai dan menyuruhnya untuk kembali.
Jujur, puan itu juga berat melakukan hal ini. Namun, ia tak memiliki pilihan lain karena urusan vendor memang menjadi tanggung jawabnya bersama Marvin. Jika Marvin tak bisa dihubungi dan Brian memiliki kuasa penuh sebagai Ketua Pelaksana Acara, lantas Gyani yang sebagai anggota biasa bisa apa?
Perempuan itu memutuskan untuk duduk sendiri di depan toilet sambil menggenggam erat ponsel, berharap jika Marvin menelponnya. Bahkan setelah satu jam berlalu dan waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, Marvin tak menampakkan batang hidung.
Sebenarnya, Gyani tak sepenuhnya sendiri mengingat masih banyak panitia lain yang lalu-lalang. Namun, ia memilih untuk tidak bergabung.
Rasa tak enak hati masih terus menghantui Gyani. Ia ingin mengatakannya pada panitia lain, tetapi ia segan sebab semua orang terlihat sibuk.
Hingga pada akhirnya....
Drrttt....
Sebuah notifikasi pesan personal muncul dari Juan yang menanyakan posisi gadis itu. Gyani diminta untuk ke tengah gym sekarang karena ia dicari oleh Marvin. Sempat ragu, tetapi perempuan itu tetap harus menjelaskannya pada Kepala Divisi Logstran, bukan?
Mampus nggak, tuh?
"Dari mana?" tanya Marvin pada Gyani dengan kedua tangan berkacak pinggang tepat setelah sang hawa berada di depannya.
Benar saja, Marvin benar-benar berdiri di tengah gym yang sebenarnya gym tersebut dapat menjadi dua lapangan futsal dan lapangan voli karena lebarnya. Sepenglihatan Gyani, para panitia telah terbagi menjadi beberapa kelompok kecil di lapangan tersebut dan rata-rata dari mereka telah menenteng tas dan saling bercengkrama satu sama lain. Sepertinya bersiap untuk pulang.
Tak jauh, Gyani dapat melihat tasnya sudah berada di samping Kirana, Cakra, Wita, dan Cici yang sedang duduk bersila di lantai. Mereka juga sibuk berbagi cerita satu sama lain dengan fokus yang amat tinggi dan tidak menyadari kehadiran Gyani.
"Gue dari toilet, Kak."
"Lo tau apa yang lo lakuin?!" bentak Marvin membuat suasana di sekeliling seketika senyap, "ngapain lo nyuruh vendornya balik? Kan lo tau kalo kita udah sepakat sama mereka waktu itu!"
"Gue cuma disuruh sama Kak Brian, Kak—"
"Lho, kok, jadi bawa-bawa gue?" Brian tiba-tiba saja menghampiri Marvin dan Gyani lalu menyerahkan beberapa kertas pada Kadiv Logstran tersebut. "Kan yang usir lo, Gy."
Perempuan itu menaikkan kedua jari membentuk 'peace'. "Beneran, Kak. Tadi gue cuma disuruh sama Kak Brian—"
"Nggak, tuh. Emang ada orang yang liat atau denger gue ngomong gitu sama lo?"
Seketika pandangan Gyani berpencar. Namun, nyalinya semakin mengecil tatkala ia menyadari bahwa tidak ada satu pun orang yang mendengarnya berbincang dengan Brian tadi. Padahal panitia banyak, tapi tidak ada yang berani angkat bicara untuk membela Gyani.
"Lo tau, kan, Gyani? Hari ini sound system itu udah harus terpasang. Kita nggak mungkin urus yang begituan besok karena masih banyak yang harus dikerjain. Lagian kenapa lo bisa seenaknya nyuruh balik, sih? Bukannya nelpon gue dulu!" Marvin menggertak sekali lagi yang membuat ketiga orang di lapangan itu menjadi pusat perhatian untuk kesekian kalinya.
"Gue udah nelpon lo ya, Kak. Sana cek hp lo!" Gyani berbalik tegas pada Marvin lantas ia bergerak untuk mengambil tas dan berlari keluar gym.
Gadis berkulit pucat itu terus berlari kecil hingga tiba di sebuah halte kampus yang remang-remang. Jika boleh jujur, Gyani juga takut berjalan sendirian. Biasanya jika pulang malam seperti ini, ia pasti diantar oleh teman-teman logstran yang lain.
Dari kejauhan, Gyani dapat melihat dua motor masih terparkir di sana. Derapnya berayun cepat dan gadis itu menepuk salah satu pundak abang ojek. "Bang, anterin ke Jalan Pancasila, dong!"
"Oh iya, Mbak. Ayo, naik!"
Selama perjalanan menuju lokasi vendor tersebut, Gyani berdoa dalam hati agar ia tidak terlambat sama sekali. Berulang kali pula ia mengigit bibir bawah agar air matanya tak tumpah.
Haruskah Gyani sujud syukur sekarang, sebab ia masih melihat beberapa pegawai duduk di teras sambil ngopi dan merokok. Peralatan-peralatan yang tadi mereka bawa juga belum dibongkar sama sekali.
Alhasil, Gyani kembali meminta tolong pada para pegawai untuk membawanya ke gymnasium lagi. Para pegawai juga memberi alasan tidak membongkarnya karena masih yakin jika Gyani mungkin saja salah dan hanya menunggu instruksi hingga malam ini. Jika Gyani datang esok hari, para pegawai sudah dapat memastikan jika peralatan tersebut akan jatuh ke tangan orang lain.
Dua mobil tersebut akhirnya keluar dan bergegas ke gym, sementara Gyani masih terpaku. Menatap jalan. Dada perempuan itu terasa sangat ringan luar biasa. Sayangnya, ini dibarengi pula oleh air mata yang jatuh hingga membuat gadis itu sesenggukan.
"Mbak kenapa?" tegur abang ojek pada Gyani yang masih berdiri di pagar bangunan.
Ah, bodo amat jika abang ojek melihatnya menangis sekarang. Toh, gadis itu juga tidak sanggup lagi menyembunyikannya. Masih terbayang-bayang Marvin yang memarahinya di depan semua orang. Bagi Gyani, ia tak masalah dimarahi jika ia salah. Akan tetapi, apabila ia ditegur atas kesalahan yang tidak ia lakukan dan dilihat oleh banyak orang, tentu saja kepercayaan dirinya juga terhempas.
Malu luar biasa!
Tapi, gue juga salah. Eh iya, nggak, sih?
"Itu, Bang," Gyani menunjuk tepi jalan yang benar-benar sepi, "tadi saya liat tikus got. Mana jelek banget lagi. Saya takut."
"Oalahhh tikut got emang bentukannya gitu, Mbak. Terlalu gimanaaa gitu, mana gede banget lagi. Kalo begitu, hayuk Mbak kita pulang. Saya anterin sampe rumah," acap abang ojek penuh keprihatinan melihat Gyani yang hanya mampu tersedu-sedu sambil menghapus ingus menggunakan lengan kemeja.
"I-iya, Bang. Ayo ...."
Ya kan memang ada-ada aja kelakuan tikus got!
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top