10. Saling Mencari
.
.
"Kita bisa apa?"
Gyani mengerutkan kening dan menarikan jari telunjuk di depan muka. "Lo nanya gue, Kak?"
Marvin berdecak. Tatapannya dia buang ke arah tong sampah tiga warna di depan parkiran sana. Gyani tidak terlalu khawatir dengan ekspresi Marvin sekarang yang memang lagi uring-uringan mencari keberadaan Jawad dan Wita, tapi perempuan itu justru cemas pada kedua teman sedivisinya tersebut.
Berkali-kali Gyani dan Marvin mencoba menghubungi keduanya atau pergi menuju jurusan mereka, tapi hasilnya nihil. Baik Jawad maupun Wita tidak menghadiri kelas hari ini.
Selain itu, Gyani juga memikirkan nasib Nanda yang harus menandatangani absennya karena ia tiba-tiba diculik oleh Marvin pagi ini dan berakhir di kantin Fakultas Teknik. Iya, fakultas yang lumayan jauh dari gedung kuliah mereka berdua.
"Sorry, gue panik."
"Kalo lo panik, gue juga ikutan panik!"
Marvin mengembuskan napas hingga permukaan secangkir kopi miliknya bergetar akibat embusan itu setelah mendengar perkataan sang gadis.
"Trus kita nyari di mana lagi?"
Gyani mengedikkan bahu. "Gimana kalo kita nunggu mereka muncul aja bentar sore?"
"Justru gue ragu mereka berdua bakalan datang bentar untuk radiv. Gue tau itu beneran berat banget buat Wita. Kejadian kemarin benar-benar," Marvin menggantungkan perkataannya sebentar sambil berpikir, "bikin trauma ...."
"I know," ucap Gyani lalu menyesap es teh. "Gue malah kepikiran buat laporin ini ke Dekan—"
"Gue juga mikirnya kayak gitu. Tapi, kalo kita nggak dengerin Wita dulu, kita nggak bisa maen lapor-lapor aja," sergah Marvin cepat.
"Iya juga, sih," kepala Gyani mengangguk-ngangguk, "tapi omong-omong, kenapa lo ngajak gue cabut ke sini, sih, Kak?"
Pertanyaan itu sukses membuat Marvin yang duduk di hadapan Gyani pun menggaruk tengkuk. "Nggak tau juga. Ngikutin kata hati aja, sih."
Mata Gyani sontak memincing dan menarik satu sudut bibir ke atas, tanda-tanda curiga lahir batin. "Ohhh jadi maksud lo di hati lo cuma ada gue gitu, Kak?"
"Iya ... eh, maksudnya nggak." Marvin menggeleng cepat membuat Gyani melipat bibir ke dalam, berusaha menahan tawa. Ternyata menggoda Marvin lumayan menyenangkan!
"Dahlah, Ni, mau makan apa lo? Pesen aja!"
Seketika mata Gyani membulat. Yaaa siapa juga yang tidak tertarik makan di kantin Fakultas Teknik yang memang menyediakan beragam makanan. Banyak yang bilang kalau di sinilah pusatnya kuliner kampus Neo. Selain beragam, rasanya murah dan enak banget. Cocoklah buat mahasiswa hemat biaya seperti Gyani.
"Kalo gitu gue pesen dulu. Lo mau apa, Kak?" tanya Gyani.
"Samain aja."
Bergegas Gyani memesan dua soto ayam, gratis dua air mineral dingin dari abangnya karena Gyani dan Marvin menjadi pembeli pertama mereka pagi itu. Itung-itung bawa rejeki!
Tak lama kemudian pesanan mereka pun datang. Di sela-sela makan itu mereka berbincang tentang beberapa hal, termasuk topik NFD di mana Gyani akhirnya tahu bahwa Divisi Acara masih belum menemukan kata sepakat terkait gate, padahal opening tinggal beberapa hari lagi.
Gyani khawatir jika rundown tersebut tidak diubah sama sekali, padahal itu sangatlah beresiko. Ini baru membicarakan gate, bagaimana dengan pertandingan nantinya.
Rasanya perut Gyani mulai mules!
Ponsel Marvin yang berada di atas meja panjang dari kayu itu bergetar hingga atensi keduanya tersita ke arah sana. Segera laki-laki itu membaca notifikasi yang muncul.
"Wah anjir! Laporan gue ketinggalan di kosan lagi." Marvin pun langsung menarik resleting ransel dan memakai jaket yang berada di sampingnya. "Gue duluan ya, Ni. Gue harus masukin laporan hari ini, tapi laporan gue ketinggalan jadi harus balik ke kosan."
"O-oh ya udah, nggak papa, Kak!"
"Bye," ucap Marvin seraya berlari kecil meninggalkan Gyani.
Lah, trus?
Sang gadis mengangkat tangan dan memanggil abang soto yang sedang berdiri di depan lapaknya, memotong-motong daging ayam.
"Napa, Mbak?" tanya laki-laki itu.
"Ini semua udah dibayar belom?"
"Belom, Mbak!"
Sebagai warga masyarakat yang menjunjung tinggi gratisan, Gyani cuma bisa mengumpat, "SIALAN!"
.
.
.
.
Langit yang semula berwarna jingga kini berubah gelap. Dan karena chat personal dari Marvin, Gyani harus berakhir di sini sendirian—di sebuah kafe paling terkenal di kalangan mahasiswa NEO.
Kafe dengan dominasi ornamen warna merah bata dan lampu kuning di beberapa titik membuat suasana jadi nyaman dan hangat. Dilengkapi dengan wifi gratis dan makanan murah nan menggunggah selera, tak heran memang kafe tiga lantai tersebut menjadi primadona.
Semula Gyani ogah meladeni chat Marvin karena kelakuan laki-laki itu tadi pagi, tapi Marvin begitu semangat menghubungi Gyani untuk datang di radiv hari ini. Entah dibujuk dengan permen, diajak makan 'lagi', hingga mendongkrak nilai laporan Gyani minggu ini dengan berjanji akan mengerjakan laporan botani gadis tersebut.
"Lo itu nggak bisa hidup tanpa gue, sih, Kak," ucap Gyani, bermonolog seraya memutar-mutar sedotan di jus jeruk miliknya. "Mana gue nongkrong sendiri lagi, kek orang bego! Jomblo banget gue."
Gyani mendengkus ketika melihat jam tangan telah menunjukkan pukul 19.09 dan satu pun panitia Logstran belum menampakkan batang hidung.
Baru saja ia membuka tas untuk mengambil ponsel, suara seseorang memanggilnya membuat tangan Gyani tertahan dan menoleh cepat pada laki-laki di belakangnya.
"Lah, Aries. Ngapain?" tanya Gyani dengan senyum sumringah.
"Gue mau ngerjain laprak di sini, sih. Lo? Sendiri aja?"
Gyani mengedikkan bahu. "Gue nunggu anak NFD yang lain, soalnya ini jadwal radiv. Cuma mereka pada belum dateng aja. Ngaret banget mereka."
"Biasa itu, mah, dalam kepanitiaan. Kayak nggak tau aja," seloroh Aries yang masih setia memeluk laptopnya.
"Lo mau nemenin gue sampe yang lain dateng nggak?"
Aries mengangguk. "Boleh aja."
Bukannya mengerjakan laporan, Aries dan Gyani malah sibuk bercerita hingga tertawa terbahak-bahak. Perempuan itu bahkan sudah tak memperhatikan notifikasi yang muncul di ponselnya. Toh, Gyani sebenarnya tidak mendengar itu sebab ponselnya ada di dalam tas.
"Eh, gue mau nembak cewek, tapi gue masih cupu—"
Ucapan Aries membuat mata Gyani membulat sempurna. "Serius lo? Ah elah, langsung aja nembak."
"Dih, nggak bisa gitu lah. Harus mempersiapkan mental. Takut ditolak gue!"
"Astagaaa, beneran cupu ternyata. Emang anak mana?"
Aries menggaruk sudut bibir sambil matanya menerawang ke atas selama beberapa detik. "Statistika, namanya Naila."
"Aduh, gue nggak tau lagi orangnya yang mana."
Sang adam tergelak kecil. "Susah emang hapal semua orang di MIPA, soalnya jurusannya aja banyak banget, njir!"
"Nah, itu dia!"
Aries kemudian menjelaskan tentang Naila, sosok yang selama ini selalu menyemangati laki-laki itu di kala dirinya sedang terpuruk. Naila juga tak pernah absen untuk mendukung Aries setiap laki-laki tersebut menjadi peserta dalam sebuah kejuaraan. Dan yang lebih penting dari itu semua, Naila seangkatan dengan Gyani. Akan tetapi, Gyani tidak kenal sama sekali.
Wajar, kan? Ya iyalah!
"Megang tangannya, dong. Abis itu lo ngomong tentang perasaan lo ke dia. Yaaa itung-itung transfer rasa deg-degan lo itu lah," usul Gyani.
"Simulasi, dong!" Aries menjulur dan menengadahkan satu tangan ke arah Gyani. Melihat itu, perempuan tersebut tanpa ragu menggenggam tangan Aries.
"Megangnya, tuh, yang gentle. Jangan terlalu kuat juga soalnya bakalan sakit."
"Tapi beneran, gue gugup banget."
Aries tiba-tiba mendongak ke arah seseorang yang berdiri di samping belakang Gyani membuat perempuan itu mengernyit. Aries lantas menarik tangannya dan menyapa sosok tersebut.
"Eh, Vin? Udah lama?" tanya Aries pada laki-laki yang ternyata adalah Marvin.
"Baru aja, sih. Ini gue mau ambil Gyani."
Datar dan penuh penekanan. Kata-kata yang keluar dari mulut Marvin sukses membuat Gyani meneguk ludah dengan susah payah. Perempuan itu dapat melihat kilatan amarah yang coba diredam laki-laki tersebut. Ah, kenapa sekarang dia jadi seperti tertangkap basah telah melakukan sesuatu? Biasanya Gyani cuek aja, tuh!
Gyani memutar kepala dan berujar basa-basi, "Oh, Kak Marvin."
"Gue sama yang lain duduk di sana," tunjuknya dengan jempol pada sebuah kursi dan meja panjang di sudut kafe, beberapa langkah di belakang Gyani. "Lo nggak ngecek hp? Dari tadi kita hubungin lo, kita juga nggak mulai karena nungguin lo!"
Lah, kenapa sekarang jadi gue yang merasa bersalah?
"Lho, gue juga nungguin dari tadi, Kak. Kan janjinya jam tujuh. Sekarang bahkan udah mau jam delapan dan kalian baru nongol!"
Aries yang semula menarik tangan dan menyembunyikan di bawah meja, kini kembali membelai punggung tangan Gyani untuk menenangkan perempuan tersebut. "Udah, sana! Semakin lama lo radiv, semakin malam juga lo kelarnya."
Benar perkataan Aries. Gyani memang sekarang hanya ingin berbaring mengingat praktikum tadi telah menguras tenaganya. Ya, mengangkat air dari sungai menggunakan jeriken untuk diamati mikroorganismenya di bawah mikroskop sudah pasti sangat melelahkan. Jika saja tidak ada radiv, mungkin sekarang Gyani sudah bermimpi nge-date bareng Harry Styles.
"Lo gabung ke sana, biar makanan lo ini gue yang bawain—"
"Nggak usah, biar gue aja!" sela cepat Marvin pada Aries.
"Ribet banget lo berdua! Udah, biar gue aja yang bawa. Ayo, Kak, kita mulai radivnya," ucap Gyani pada Marvin seraya bangkit dari duduk dan membawa nampan hitam berisi sebuah soda—karena jus jeruk udah habis dari tadi, kentang goreng, dan burger.
Dibilang bete, pasti bete abis. Gyani sudah menunggu lama, tapi yang didapatkan hanya teguran dari Marvin. Harusnya dia sekarang yang marah, bukan Pak Kadivnya itu.
Gyani berjalan menuju teman-teman divisi Logstran. Namun, ia tertegun ketika mendapati Wita dan Jawad yang telah berada di sana. Wita sedikit membuang muka ketika Gyani bergabung, sedangkan Jawad sudah berceloteh ria dengan Cakra, Januar, Juan, Rian, Hisyam.
Saat Gyani sedikit menunduk untuk meletakkan nampan di atas meja, Marvin berbisik, "Mereka jangan ditanya dulu. Nanti aja!"
Ah, gadis itu tahu ke mana pembicaraan Marvin tersebut. Akan tetapi, karena Gyani masih sebal dengan sang pemimpin, ia hanya mampu bergumam kecil lalu duduk kedua dari ujung. Tidak usah menebak siapa yang duduk di sebelah Gyani, sudah pasti ia adalah cowok sok keren yang sedari tadi sudah menampilkan ekspresi mengerikan.
"Kalian pesen aja! Gue mau ke toilet, bentar," ujar Marvin yang langsung diberi anggukan dan perkataan singkat dari para anggota.
Sehilangnya Marvin, mendadak seluruh pandangan tertoleh pada Gyani. Jelas, ini seperti sebuah sidang dan perempuan itu adalah pesakitan.
"Kak, you okay?" tanya Cici.
"Gue? Ya iyalah ...."
"Harusnya lo liat muka Kak Marvin tadi. Gila, itu merah banget. Kayaknya dia marah sama lo, deh, Kak." Cakra menimpali.
"Lho, gue nggak punya salah. Kenapa harus marah sama gue?"
"Biasanya, tuh, cowok yang nggak peka. Ini malah ceweknya. Apa perlu kita omongin blak-blakan di sini?" Hisyam yang duduk paling ujung di sana menggeleng perlahan. "Lagian udah jelas banget."
"Pada ngomongin apa, sih? Udah, kalian pesen dulu sana buruan!"
Huft....
.
.
.
.
"Untuk pertandingan nanti, sesuai dengan persetujuan kita di awal, gue udah nyiapin karung dan bakalan minjem seperti bola basket, bola futsal, bola kaki, net untuk badminton, beberapa barang dari UKM-"
Hisyam mengangkat tangan setinggi dada membuat Kirana menggantungkan kalimatnya. "Ehm? Kenapa, Syam?"
"Semua UKM nolak minjemin barang-barang mereka. Soalnya mau dipake juga buat latihan, katanya."
Mata Kirana membelalak dan kedua bahunya lemas sekali. "Lah, nggak bisa gitu, dong. Mereka semua kemarin setuju, lho, waktu techmeet terakhir. Iya, kan, Kak Marvin?"
Mendengar pertanyaan Kirana, Marvin hanya berdeham kecil dan mengangguk pelan.
"Beli aja!" timpal Juan.
Wita menggeleng perlahan lalu menambahkan , "Kita nggak punya dana buat beli barang-barangnya, soalnya udah dijanjiin sama UKM. Kalian, sih, nggak mau danusan."
"Ogah gue jualan risol, njir!" balas Hisyam seraya mengedikkan bahu.
"Yaaa kalo gitu terima aja kalo kita nggak ada duit. Mau minta ke BPH, lamaaa. Sebel juga gue kalo berurusan sama mereka. Padahal ini sudah H min satu minggu."
Setelah meneguk soda hingga tandas tak bersisa bahkan sekarang sibuk mengunyah es batunya, Januar berkata, "Nanti gue lobi ketua-ketua UKM. Besok gue pastiin udah ada kabarnya."
Kirana menunjuk Januar dengan pulpennya. "Beneran ya, bakalan aku follow up ke kamu."
"Oke!"
Setelah setiap panitia Logstran menjabarkan progress tiap divisi NFD, Marvin mulai berbicara untuk menarik kesimpulan dan membuat beberapa poin solusi yang bisa digunakan sebelum opening. Khusus buat Cici dan Rian, mereka akan bekerja keras sekali lagi karena ternyata divisi PDD mulai menambah bahan-bahan yang jumlahnya tidak sedikit.
Entahlah, terkadang Gyani tak mengerti dengan divisi paling rempong kedua setelah divisi acara itu.
Malam semakin larut dan rapat divisi logstran hari itu resmi berakhir. Satu per satu panitia pun kembali ke kosan atau rumah mereka, meninggalkan Gyani yang akan diantar oleh Marvin.
Iya, ini pemaksaan!
Awalnya Gyani ingin pulang bersama Hisyam, tetapi Marvin sudah menawarkan diri terlebih dahulu. Berakhirlah sang hawa mengurungkan niat pulang bersama cowok pemilik toko sembako tersebut.
Gyani juga tak bisa menolak, melihat bagaimana Marvin sudah menatapnya tajam seperti beberapa minggu lalu saat ia berbicara pada Aries untuk techmeet. Ya, ekspresi Marvin itu sangat mengerikan dan Gyani akui bahwa ia langsung kicep.
Ah, apa ini karena Aries?
"Lo marah sama Aries, Kak?" tanya Gyani ketika Marvin memasangkan helm dengan perlahan ke perempuan tersebut. "Kalian ada masalah apa? Kalian berantem?"
"Nggak ada, kok. Kita baik-baik aja."
"Tapi, kenapa lo selalu marah ke gue kalo abis ketemuan sama Aries—"
"Perasaan lo aja," Marvin membalikkan tubuh, "naik, gih! Udah malam banget ini. Lo harus istirahat."
Setelah Gyani mendudukkan diri di jok belakang motor, perempuan itu mendengkus dan menatap Marvin dari spion. Perasaannya benar-benar tak menentu sekarang. Meskipun tubuhnya sangat lelah, ia juga tidak bisa memungkiri tentang perkataan panitia lain dan tingkah laku Marvin hari ini.
Sangat membingungkan!
"Lo juga harus istirahat, Kak."
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top