1. Nunggu Pengumuman

.

Cerita ini bakalan santai banget karena sebagai selingan aku setelah menulis tema yang menurut aku lumayan menguras pikiran. Oh iya, Jangan lupa vote dan komennya ya 😄

.

.
.

"Gimana kalo seandainya lo masuk divisi konsumsi?" tanya Nanda dengan mata membulat sambil jari-jari lentiknya memegang sumpit dan memilin bakmi yang terlihat sebentar lagi akan mendingin.

Gyani mengedikkan kedua bahu. "Gak tau, sih. Tapi pengen banget masuk konsum. Gak ribet. Cuma milih-milihin makanan doang, nyiapin air minum, dah kelar...."

Nanda yang mendengar itu pun menelan bakmi sedikit susah, hingga ia harus menenggak air mineral. Gadis itu kemudian menunjuk Gyani dengan sumpit. "Tapi sekali lo di konsumsi, lo gak bakalan bisa keluar. Lo bakalan disitu terus. Percaya sama gue."

"Ngapa berasa kayak ada kutukannya gitu dah?" Lawan bicara Nanda itu pun mengernyit.

Nanda memajukan bibir bawah, lalu berujar, "Biasanya sih gitu."

Gyani kembali menyuap gado-gado Mang Dadang andalannya yang berada di kantin Fakultas Pertanian tanpa memedulikan perkataan Nanda. Sebenarnya, jarak antara kantin Fakultas Pertanian dan Fakultas MIPA --Fakultas Gyani-- tidak terlalu jauh, gedung mereka bahkan bersebelahan. Namun, karena Fakultas MIPA memiliki jumlah jurusan paling banyak di antara seluruh fakultas di Universitas NEO, berakhir mereka harus berjalan memutar, sehingga terlihat jauh dan melelahkan.

Akan tetapi, itu bukan menjadi halangan untuk Nanda dan Gyani menikmati makanan di kantin Fakultas Pertanian. Hampir setiap hari mereka lebih memilih makan di fakultas tetangga dibandingkan fakultas sendiri. Selain bisa memilih beragam jenis makanan, keduanya juga mengaku suka dengan suasana kantin Fakultas Pertanian. Alasannya....

"Ih gila, cakep banget! Lo liat gak? Liat gak?" Nanda menggoyang-goyangkan lengan Gyani penuh semangat. Tak peduli dengan orang-orang yang lalu lalang sempat melirik ke arah mereka.

Gyani memajukan tubuh, kedua alisnya bertautan dan kedua mata bergerak ke kanan-kiri. "Yang mana sih?"

"Itu lho yang tadi lewat di belakang elo. Itu sana!" Perempuan berambut hitam pendek itu menoleh ke arah kanan dan menunjuk dagu pada pemuda berambut hitam dengan tas yang disampirkan di bahu sebelah kanan. Sedangkan tangan kiri pemuda itu terlihat memeluk laptop penuh sticker yang tidak jelas bentuk apa saja.

Dengan memakai kaos putih yang hanya satu bagian lengannya dilipat ke atas hingga memperlihatkan sedikit ketiak dan celana jeans bolong-bolong persis korban pengeroyokan, pemuda itu seketika membuat Gyani meringis.

Gyani menggeleng cepat. "Gak, gak. Cari yang lain napa dah. Yang cakep banyak noh!"

Nanda menatap Gyani dengan mata membelalak. "Dia juga cakep, tauuuu!"

"Dih, cakep dari mananya?"

"Dari mata gueee," seloroh Nanda sambil mengangkat dua alisnya berkali-kali yang membuat Gyani tersenyum kecut.

Nanda memperbaiki helaian poni sambil berkaca di layar ponsel, lalu kembali berbicara pada Gyani yang sekarang sibuk mengunyah gado-gado terakhir. Sebentar lagi, piring perempuan itu bakalan bersih. Sedangkan makanan Nanda masih tersisa banyak. Melihat itu, Gyani jadi ingin membungkusnya. Entah dia akan memakannya sendiri atau memberinya ke tetangga sebelah kamar di kosan. Daripada mubazir, kan?

"Gue bakalan bayarin makan siang lo selama sebulan, kalo lo bisa minta nomor WA tuh cowok," ucap Nanda, menantang. Kali ini, gantian mata Gyani yang melebar sempurna.

"Serius lo?"

"Yaiyalah ... Gimana? Mau gak lo?"

Gyani menengadahkan kedua tangan dan membusungkan dada. "Oke," acapnya tanpa ragu.

Siapa yang bisa menolak rezeki nomplok makan siang apa saja selama sebulan dan itu gratis? Tentu Gyani bukan perempuan bodoh yang bisa membiarkan kesempatan emas lenyap begitu saja di depan mata. Apalagi itu bagi Gyani, mahasiswa kosan dengan uang jajan pas-pasan.

Sebenarnya, bukan karena Gyani tak pernah diberi uang. Hanya saja, orang tuanya sering kali terlambat transfer karena kesibukan mereka. Gyani juga enggan untuk meminta. Jadi terkadang meskipun tabungannya sudah menipis, ia tidak akan mengatakan pada orang tuanya. Padahal, Ibunya seorang Pegawai Negeri Sipil dan ayahnya adalah pengusaha ekspor-impor udang. Kadang Gyani juga bingung, mengapa tabungannya cepat terkuras. Padahal dia yakin banget teman-temannya tidak ada yang pelihara tuyul.

Mengenai Nanda, dia juga termasuk keluarga crazy rich. Iya, kekayaaannya mungkin tidak bakal habis 7 turunan, 8 belokan, 9 tanjakan, dan 10 jurang. Ayahnya adalah pemilik salah satu bank, juga mempunyai beberapa usaha yang tersebar di seluruh negara ini. Warisan dari kakeknya melimpah ruah berupa tanah berpuluh-puluh hektar di beberapa lokasi. Sedangkan sang ibu adalah seorang aktris papan atas, bukan papan penggilasan!

Meskipun begitu, keseharian Nanda terlihat sederhana. Ia terkadang memakai pakaian tanpa merk sekalipun. Tidak pernah pamer kayak sekumpulan mahasiswi di ujung kantin sana yang sekarang saling menatap perhiasan di tangan mereka.

Berhenti julid, Gyani, batin sang hawa.

Nanda menjulurkan tangan. "Deal?"

"Oke, deal!" Gyani menjabat tangan itu erat, lalu melangkah meninggalkan Nanda sambil membawa ponsel menuju pemuda yang sedang mengobrol dengan dua orang temannya.

Awalnya, ketiga pemuda itu tampak bercengkrama dengan serius dan Gyani mencoba untuk menunggu selama beberapa detik. Namun, nampaknya kedua orang lainnya sadar akan kehadiran Gyani yang sudah berdiri di tengah-tengah koridor dengan memeluk diktat kuliahnya.

Kedua orang itu menundukkan kepala, lalu beranjak pergi. Meninggalkan seorang laki-laki yang tersenyum tipis pada Gyani.

Sesaat setelah tubuh Gyani berhadapan dengan pemuda yang dimaksud oleh Nanda, ia pun tersenyum manis. Tak lupa pula, Gyani mengulurkan tangan pada sang adam yang membuat pemuda itu menjabatnya. "Hei, kenalin, gue Gyani."

"Hah? Gyani?" Semula, pemuda itu hanya mengerutkan kening. Setelah menyadari tatapan aneh Gyani, ia pun menyunggingkan senyum kembali. "Ohhh gue Marvin."

"Angkatan berapa?"

"27, lo?"

"28. Berarti lo lebih tua, sih, Kak," ujar Gyani dengan entengnya. Terlihat sok akrab, tapi memang Gyani tampak tak seperti punya malu. Marvin yang mendengar itu hanya manggut-manggut saja.

"Oh iya, Kak. Boleh minta nomor WA, gak?" tanya Gyani sambil menyerahkan ponselnya.

Demi makan siang sebulan, Gyani rela melakukan ini ckckck.

"Boleh, boleh." Marvin mengambil ponsel yang gadis itu serahkan, lalu mengetikkan nomornya di sana.

Tak butuh waktu lama, Marvin mengembalikan ponsel tersebut dan meminta izin untuk meninggalkan Gyani lebih dulu karena kelasnya akan segera dimulai. Gyani paham, lalu menengadahkan satu tangan pada sang senior sambil mengatakan, "Eh iya, silakan, Kak. Maaf ya Kak, gue ganggu."

"Santai, santai."

Langkah puan itu terasa ringan kembali ke kantin. Namun, belum sempat ia tiba di meja dan memberikan nomor Marvin pada Nanda: Gyani menghentikan langkah, mengernyit, dan mulutnya refleks terbuka. Gadis itu berulang kali membaca kontak yang dimasukkan oleh Marvin di ponselnya. Ah, Marvin pasti salah tulis. Tapi masa iya? Yakali...

'Kesayangan Gyani 💜'

.

.

Kelas Zoologi yang diampu oleh Pak Will akhirnya selesai pukul 15.40 yang membuat Gyani harus menunggu selama beberapa menit di kampus, lebih tepatnya di Wifi Corner jurusan Biologi. Ya maklum, kuota lagi sekarat dan dia butuh untuk melihat daftar panitia NEO Field Day yang akan diumumkan 20 menit lagi.

Wifi Corner terletak di lantai satu gedung tiap jurusan di fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Dilengkapi oleh meja dan kursi kayu panjang, serta enam stop contact, membuat para mahasiswa betah untuk berlama-lama. Jangan ragukan kecepatannya, yaaa 11 12 lah sama bajaj.

"Yah, Wifi Corner-nya penuh lagi," sungut Gyani sambil mengecutkan bibir. Perempuan itu hanya memutar-mutar sebentar mencari tempat, siapa tahu saja ada yang kosong atau setidaknya dia bisa menyempil, meskipun kayaknya tidak akan mungkin.

Dan benar saja, setelah berputar-putar sekitar 5 menit, Gyani tidak menemukan satu pun tempat yang membuatnya mau tak mau harus ngemper. Terserah mau ngemper di bawah tangga, depan got, atau pun di dekat lab. Yang penting dia bisa mendapat koneksi internet.

Gyani kemudian melepaskan ransel, lalu duduk bersila di bawah tangga yang hanya dihuni oleh dua wibu. Iya, mereka berdua yang menjuluki diri sendiri sebagai wibu di depan teman-teman seangkatan saat pengenalan Fakultas sekitar setahun yang lalu.

Yang duduk di depan Gyani sambil selonjoran dengan laptop berada di atas paha dan menggunakan kacamata setebal tutup botol soda adalah Rangga, mahasiswa Biologi. Rangga adalah teman sekelas Gyani, tetapi mereka jarang berinteraksi satu sama lain. Sebab, Rangga punya payuguban sendiri yang diberi nama PTK atau Para Tetua Konoha. Pemuda bertubuh tinggi itu mengakui jika ia adalah kepala desa konoha setelah runtuhnya pemerintahan Bapak Naruto.

Sedangkan yang duduk tak jauh dari Gyani adalah Ucup, mahasiswa Fisika. Gyani mengenal pemuda itu karena mereka pernah satu kelompok saat Masa Pengenalan Kampus (MPK). Ia mengaku adalah kerabat dari Kogoro Mouri, sang detektif dalam anime Detective Conan.

Intinya, bodo amatlah ya....

"Gak pulang, Gy?" tanya Ucup yang sudah menoleh pada Gyani dengan senyum manisnya.

Gyani paham jika Ucup sebenarnya memiliki wajah yang rupawan, ya mirip Jefri Nichol versi digebukin warga. Tapi dia juga tidak harus terus menerus pamer senyum, 'kan?

"Eh, gak. Gue lagi nungguin pengumuman nih."

"NEO Field Day ya?" tebak Ucup.

"Yoiii."

Ucup menggaruk telapak tangan, lalu menoleh kembali pada Gyani. "Lo milih divisi apa?"

Sang puan mulai berpikir sejenak dan mengingat kembali yang ia tuliskan dalam kertas wawancara beberapa minggu lalu. "Kalo gak salah ingat nih ya, gue tuh daftar Konsum sama PDD. Tapi katanya bisa ditempatin di divisi lain. Jadi gak tentu di antara dua itu."

Ucup berdecak, "Ah, emang iya. Selalu gitu kok."

"Eh? Serius?"

Sang adam malah mengganguk cepat. "Iyalah. Udah biasa itu mah. Bayangin aja kalo misalnya yang dibutuhin Divisi Acara cuma 20, tapi yang daftar 60, yaaa mau gak mau sisanya itu ditawarin ke divisi lain atau gak dilulusin. Kan mencari yang terbaik!"

"Iya juga, sih. Tapi selama ini gue selalu terpilih di divisi yang gue pengenin sih. Takutnya sekarang gue malah ditempatin di divisi yang gak cocok."

"Santelah. Lagian kalo emang ditempatin di divisi lain, lo jadi punya pengalaman laen dong. Lo pasti lolos sih," ujar Ucup menenangkan. Tapi memang tidak memberi efek sama sekali.

Gyani yang semula menundukkan kepala, kini jadi menatap Ucup yang kini menggaruk hidungnya. "Gue pengennya gitu, Cup. Eh btw, lo gak daftar jadi panitia?"

Ucup nyengir kuda, lalu dengan cepat ia membusungkan dada. "Ya gak lah. Tugas gue di kepolisian Tokyo terlalu padat. Banyak kasus yang harus gue selesein!"

Gyani terdiam sebentar sambil mengangguk pelan. Ia lalu menatap ke bawah, melihat kertas di lantai dan segera mengambilnya. Kertas itu perlahan diremas hingga membentuk bola dan lamgsumg dilemparkan Ucup. "Gaya lo, Tonggg Tong! Tungguin aja, bentar lagi gue bakalan jadi Ran Mouri."

"Mimpi lo ketinggian!" hardik Ucup yang membuat keduanya tertawa kecil.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top