Chapter 8 : Memories

Ada tiga orang bocah laki - laki tengah bermain di sebuah taman. Usia mereka kira - kira enam tahun. Ketiganya membuat banyak orang di sekitar mereka menoleh. Mereka memiliki warna rambut dan iris mata berbeda - beda.

Ada seorang anak yang memiliki rambut berwarna pirang dan iris hijau gelap. Dia terlihat sangat menggemaskan, dengan wajah polos yang membuat banyak orang meleleh karenanya. Dia terlihat agak pemalu, tapi di depan kedua temannya dia selalu tertawa lebar.

Seorang lagi bisa dibilang yang paling membuat ibu - ibu ingin menggendongnya dan mengajaknya ngobrol. Dia sangat aktif, dan bicaranya sangat lancar. Ditambah dengan rambut cokelat dan iris biru laut miliknya, dia semakin terlihat menarik. Wajahnya terlihat seperti anak yang bandel dan suka menggoda orang dewasa yang dikenalnya. Tapi sebenarnya dia adalah anak yang sangat baik.

Lalu yang terakhir, dia terlihat tenang. Rambut hitamnya yang dibelah pinggir dan lebat membuat banyak orang ingin sekali mengacak - acaknya hingga dia menampakkan wajah cemberutnya yang lucu. Ditambah dengan iris cokelatnya, di semakin terlihat menyenangkan. Dia selalu bisa mengimbangi karakter kedua temannya.

Ketiganya selalu bersama, bahkan sampai semua ibu - ibu yang ada di sekitar taman itu hapal akan kesukaan mereka bermain di taman setiap sore. Mereka selalu bermain bersama, di saat ketiga orang tua mereka mengobrol santai.

Kali ini, mereka tengah berdebat akan apa yang ingin mereka mainkan. Salah satu dari mereka mengusulkan untuk main kejar - kejaran, tapi ada yang berperan sebagai polisi dan ada yang berperan jadi penjahatnya.

"Aku yang jadi polisi! Aku ingin jadi seperti Pa yang membantu banyak orang!" Seru si anak berambut cokelat, sambil mengangkat kedua tangannya tinggi - tinggi. Dia tengah berdiri di atas seluncuran, dan tingkahnya membuat banyak orang di dekatnya gemas.

"Kalau aku mau jadi penjahatnya! Tembak, tembak! Hahaha!" Seru si anak berambut pirang, lalu tangannya membentuk pistol yang diarahkan pada temannya.

"Anak nakal! Kamu harus ditangkap oleh pak polisi!"

"Tangkap aku! Hahaha!" Serunya, lalu mulai berlari.

Si anak berambut cokelat meluncur melalui seluncuran, kemudian bergegas ingin mengejar temannya. Tapi dia melihat si anak berambut hitam tengah memandangi pinggiran sungai, tempat di mana sekawanan angsa tengah berenang membentuk sebuah barisan putih.

"Tee, ayo kita main kejar - kejaran! Kamu iku aku ya, jadi polisi!" Ujar si anak berambut cokelat.

"Tidak! Tee ikut aku jadi penjahat!" Seru temannya.

Keduanya berdebat akan ikut siapakah teman mereka, sementara temannya sibuk menghitung jumlah angsa yang melintasi sungai. Setelah dia selesai berhitung, akhirnya dia berseru.

"Lima belas! Ada lima belas angsa di sungai!" Serunya.

"Tee mau ikut siapa? Aku atau Bri?" Tanya si anak berambut pirang.

"Ikut apa?"

"Main kejar - kejaran! Aku jadi polisi dan Ree jadi penjahat!" Sahut anak yang dipanggil Bri tadi.

"Uhm, aku tidak tau."

"Ayo Tee, ikut aku jadi penjahat ya?" Ujar si anak yang dipanggil Ree.

"Kenapa kamu mau jadi penjahat?"

"Eh, kenapa ya ... eh ... kan penjahat tidak semuanya seram! Seperti Robin Hood yang ada di buku yang Papa belikan! Aku mau jadi penjahat yang keren!"

"Lebih keren jadi polisi, tau! Bisa tembak - tembak, punya borgol, waaaah ... " sahut Bri.

"Nggak! Keren jadi penjahat!"

"Polisi!"

"Penjahat!"

Tee menyaksikan kedua temannya adu mulut. Setelah dia merasa kesal karena keduanya, langsung saja dia meminta mereka untuk berhenti.

"Sudah! Sudah! Berisik!" Seru Tee.

"Jadi, kamu mau ikut siapa?" Tanya Bri.

"Aku tidak tau. Polisi dan penjahat sepertinya sama - sama keren."

"Tapi kan tidak ada penjahat yang jadi polisi." Komentar Ree.

"Iya. Tapi mau penjahat atau polisi, kita tetap teman kan?"

"Iya!" Seru keduanya.

Mereka langsung saja berpelukan erat seperti Teletubbies. Yang melihatnya pasti langsung tersenyum akan tingkah ketiga anak itu.

"Tyler?" Seru sebuah suara dari seorang pria.

"Waaah, Ayah sudah panggil!" Ujar Tee.

"Ayo, kita lari!" seru Bri, lalu langsung berlari.

"Waaa, Bri curaaang!" sahut Ree.

Mereka kembali kepada orang tua mereka, dan saling berpamitan satu sama lainnya. Di kemudian harinya, mereka tau kalau mereka tidak bisa bermain seperti itu lagi setelah beberapa minggu kemudian.

~~~~~

Itu adalah salah satu dari memori yang selalu teringat di kepalaku saat mengenang Daryl. Tapi kini dia telah pergi. Sebagai manusia biasa, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menerima semuanya.

Setelah pertarungan itu selesai semalam, tidak bisa dipastikan siapakah yang menang. Ada banyak orang dari kedua kubu yang memutuskan untuk bersembunyi, dan saat mereka datang kembali ke markas, mereka memutuskan untuk pergi saja. Baik Evil Army dan Slayer Knights sudah runtuh. Jadi mereka jelas tidak bisa melakukan apapun selain pergi.

Begitu pula denganku. Tidak ada apapun yang tersisa di sini. Aku telah kehilangan Daryl, yang jadi alasanku untuk bertahan. Aku tidak pernah berniat untuk menjadi seorang penjahat, meski kuakui tangan ini sudah mencabut banyak nyawa manusia.

Sudah begitu banyak sisi kelam yang aku lihat. Mulai dari seberapa jahat dan licik manusia bisa bertindak, sampai seberapa besar pengorbanannya hanya untuk melihat orang yang disayanginya baik - baik saja. Semuanya benar - benar menyisakan memori yang pasti tidak akan pernah bisa aku hapuskan dengan mudah.

Aku masih tidak begitu mengerti kenapa Daryl tidak mengatakan sejak awal kalau sebenarnya dia mengingatku. Pasti ada beberapa hal yang disembunyikannya. Tapi apapun itu, aku tidak terlalu peduli lagi. Setidaknya pada akhirnya aku tau kalau Daryl selalu ingat akan persahabatan kami, dan dia akan selalu jadi sahabatku.

Aku jadi teringat akan satu peristiwa. Setelah aku bergabung dengan Slayer Knight, sesaat sebelum kekacauan menerpa Underground, Daryl terkadang mengajakku berkeliling kota. Kemana saja itu, karena ayahnya juga menyarankan agar dia menghirup udara segar sekekali. Pernah sekali kami pergi ke taman kota, dan dia terdiam sejenak memandangi anak - anak yang tengah bermain dengan riangnya. Kurasa, dia pasti mengingat masa kecil kami, karena kuakui kalau aku juga mengingatnya.

Semuanya berakhir, walau akhir cerita ini tidak berakhir dengan indah. Tapi setidaknya, aku tau kalau persahabatan kami akan kekal.

Pada pagi harinya, aku kembali ke markas. Semuanya lengang, hanya tersisa mayat - mayat yang mulai menguarkan bau busuk. Aku menaiki lantai atas, dan mengambil kotak yang Daryl maksud. Kamarnya masih rapi, hampir tidak tersentuh kekacauan semalam. Hanya ada beberapa bekas peluru yang mengoyak dinding depannya.

Aku duduk di sofa ruangan itu, dan membuka kotak yang ada di tanganku. Kotaknya kecil saja, tapi tetap membuatku penasaran. Di dalamnya ada sebuah figura, dan beberapa lembar foto. Figuranya membingkai sebuah foto yang menampakkan tiga anak kecil yang tengah berpose dengan riang di hadapan kamera. Foto - foto lainnya yang ada di sana adalah fotoku dengan Daryl, yang diambil di salah satu acara jalan - jalan kami. Latarnya di taman kota. Melihatnya membuat wajahku merasa hangat.

Selain itu, ada juga dua pucuk surat. Salah satunya ditujukan untukku. Aku langsung saja membukanya. Saat membacanya, aku tidak bisa membendung air mataku. Isinya adalah beberapa baris salam perpisahan dari Daryl. Tapi yang lebih mengejutkan adalah satu baris terakhir yang dia tuliskan di sana.

Kuharap kamu mau menyampaikan satu surat lainnya untuk Brian. Aku tau sebenarnya dia selalu ada di sekitar sini. Aku sudah pernah bertemu dengannya, tapi aku tidak yakin kalau itu benar. Kamu pasti lebih tau tentang itu daripada aku.

Tentunya aku tidak menyangka pernyataannya itu. Rupanya dia bisa merasakan kalau Brian ada di kota ini, setelah dia meninggalkannya sekian tahun. Tapi tentu saja, aku akan menyampaikan pesan terakhir Daryl untuknya.

Ya, Brian yang kumaksud disini adalah Brian Shea. Teman kuliahku, yang juga teman masa kecilku. Saat aku melihat rambut cokelat dan iris biru lautnya yang khas di saat penerimaan mahasiswa baru, aku tau kalau dia adalah Brian yang sama. Sejak saat itulah, kami berdua dekat dan menjalin hubungan persahabatan sebagaimana sebelumnya. Dia sempat menanyakan tentang Daryl, tapi aku berbohong padanya dan kukatakan kalau aku tidak pernah menemui Daryl sejak aku kembali ke jantung kota Inkuria.

Aku masih ingat sekali hari itu. Hari terakhir kami di Taman Kanak - Kanak. Hari dimana aku berpisah dengan kedua sahabatku. Aku harus mengikuti kedua orang tuaku yang memutuskan untuk tinggal di pinggiran kota, yang masih hijau dan tidak terlalu terjamah untuk merawat buyutku yang sudah sangat sepuh. Sementara itu Brian kembali ke negeri asalnya, Irlandia. Ayahnya sudah selesai dengan pekerjaannya di Inkuria, dan memutuskan untuk kembali. Sementara itu Daryl tetap di sini.

Saat itu mungkin aku masih seorang bocah ingusan. Tapi aku sudah merasakan kesedihan yang mendalam saat berpisah dengan mereka.

Aku memasukkan kotak itu ke ransel yang aku bawa, kemudian menuju ke lantai bawah. Disana masih berdiam jasad Daryl. Langsung saja aku mengangkatnya dan membawanya ke belakang markas. Di sana ada sebuah sekop, dan langsung saja aku menggali sepetak tanah yang cukup untuk tubuhnya.

Tidak ada pemandian, tidak ada acara, atau pengantar lainnya. Tapi setidaknya jasad Daryl dikembumikan sebagai sebuah penghormatan terakhir dariku untuknya.

Daryl mengatakan di surat yang dia tinggalkan bahwa dia sengaja melakukan semua ini. Dia tau, kalau dirinya memberi tau kalau dia ingat padaku, maka aku akan memaksanya untuk meninggalkan kelompok. Tapi dia tidak ingin meninggalkan ayahnya. Setidaknya, selama ayahnya masih hidup, dia masih ingin bersama beliau. Karena itulah dia diam. Dia ingin aku tetap bersamanya, dan karena itulah dia ingin aku tetap berada di dalam kelompok. Satu baris tulisannya menyatakan tebakannya terhadap sebuah tujuan yang aku miliki tentang aku bergabung dengan Slayer Knights.

Aku tau kamu akan selalu jadi orang baik, Tyler. Kamu akan selalu membantu temanmu yang berada di dalam kesusahan. Kamu pasti ingin mengeluarkanku dari lingkaran setan ini. Jujur saja, sebenarnya aku ingin lari. Tapi aku tidak ingin mengecewakan ayahku.

Hal itu membuatku mengerti. Daryl melakukan semua ini agar semuanya bisa senang. Dia tidak pernah ingin menyakiti siapapun. Seperti Daryl kecil yang bahkan tidak tega melukai seekor semut sekalipun.

Di tengah renunganku di hadapan tanah yang baru saja aku gali itu, samar aku bisa mendengar sebuah langkah kaki mendekat. Ketika aku menoleh, aku bisa melihat sorot mata berwarna biru, dan tentu saja hal itu membuatku terkejut.

"Brian! Apa yang kamu lakukan di sini!" seruku.

"Tyler! Apa ... apa yang terjadi di sini? Dan kenapa kamu menangis?" tanya Brian.

Aku sedikit menyingkir untuk memperlihatkan gundukan tanah yang masih segar itu. Brian membeku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat, dan menatapku kaget.

"So ... you mean that ... " ujar Brian, terputus.

"Yes, he's dead. Daryl's dead." jawabku, diiringi beberapa tetes air mata.

Brian membeku sejenak, kemudian dia berlutut di hadapan tanah itu. Dia diam, tapi dari profilnya bisa kulihat kalau beberapa air mata menetes.

"I am sorry that I am late, my friend ..." bisik Brian.

Aku membiarkan dia untuk sejenak, sementara itu aku mengeluarkan surat yang ditujukan untuk Brian dari tasku. Setelah dia lebih tenang, maka aku menyerahkannya pada Brian. Dia membacanya, kemudian menoleh ke arahku.

"Jadi kamu bergabung dengan Slayer Knigts karena kamu mencari Daryl, dan kamu ingin tetap berada di dekatnya?" tanya Brian.

"Aku hanya ingin bersama sahabatku." sahutku.

"Baiklah ... kurasa aku tidak perlu menutupinya lagi. Karena akulah si pria berjubah yang selama ini telah menahanmu beberapa kali."

Tentu saja aku terkejut. Aku memang memikirkan sedikit kemungkinan kalau Brian adalah pelakunya, terutama setelah perkataan dari Daryl tentang Rila dan ayahnya yang sebenarnya adalah agen. Tapi sulit memercayai kalau Brian adalah bagian dari mereka juga.

"Tapi ... kenapa kau melakukannya, Brian?"

"Ceritanya sangat panjang. Sebaiknya jangan diceritakan di sini. Tempat ini membuatku jadi semakin sedih. Lebih baik, kita menuju tempat lain saja, yang lebih nyaman."

"Lalu, bagaimana dengan kekacauan di dalam? Kita tidak bisa membiarkannya kan?"

"Aku akan panggil orang yang kurasa bisa bantu menyelesaikannya. Tenang saja, orang luar tidak akan tau tentang ini."

Brian mengambil ponselnya, kemudian dia menelpon seseorang. Dia berbicara tentang bantuan dan kasus, lalu seseorang di seberang sana sepakat untuk membantu. Setelahnya, dia menutup telponnya lalu memandangku.

"Ayo kita pergi, Tyler. Dan setelah ini, kita harus saling menjelaskan akan sebenarnya apa yang terjadi." Ujar Brian, lalu menarik lenganku.

Kupandang sekali lagi gundukan tanah itu sebelum aku pergi. Selamat jalan, Daryl. Tidurlah yang nyenyak ....

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top