07. Minder
Ada yang kangen Mas Rhanu?
Hepi Eid Mubarak yah.
Mengerahkan segenap kemampuan yang kupunya dibantu dengan doa, akhirnya aku bisa menyelesaikan tugas sesuai deadline yang ditentukan. Selama satu minggu penuh hampir setiap hari aku begadang menyelesaikan revisi naskah. Kenapa aku mendadak rajin? Karena aku mau liburan. Yeay. Biar Mas Rhanu nggak banyak komentar makanya kerjaan itu aku selesaikan sesuai permintaannya. Entah setelah itu dia mau nambahin koreksi atau nggak terserah dia yang penting sekarang tugasku sudah beres.
Sabtu pagi aku mengirim naskah revisi ke email Mas Rhanu. Aku jengah soalnya sejak tadi malam dia terus menerorku dengan pesan-pesan. Heran deh, segitu totalitasnya dia sama pekerjaannya sampai nagih-nagih kerjaan sebelum mencapai batas waktu yang ditentukan.
Kurasa Mas Rhanu salah milih kerjaan. Dia nggak cocok kerja di darat, cocoknya kerja di air. Maksudnya mending jadi atlet renang gitu kan katanya Mas Rhanu jago renang. Latihannya saja rutin banget seminggu dua kali. Dulu sih gitu, nggak tahu kalau sekarang. Ya ampun, kenapa aku malah keinget kebiasaan dia ya.
Aku : Cek email, Mas. Sudah saya kirim.
Terkirim. Kuharap habis ini dia nggak berkicau lagi. Aku melakukan gerakan olahraga ringan. Merentangkan tangan, memutar pinggul, streching untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Lalu, aku bertopang dagu. Memandang pohon mangga besar yang tumbuh persis di depan jendela kamarku. Anganku kembali berpetualang.
Mau nggak mau memoriku berputar kembali kepada saat-saat yang terlewati. Aku jadi penasaran apakah Mas Rhanu juga bersikap mendikte banget kepada penulis lain yang pernah dia tangani. Nggak mungkin kan dia kayak gini cuma sama aku saja. Seandainya iya... ah, nggak bakalan. Aku nggak mau geer meskipun pada kenyataannya demikian. Kayaknya Mas Rhanu masih sakit hati. Sengaja menggunakan naskah sebagai media balas dendam kepadaku. Kok bisa kebetulan banget gitu. Jahat banget, ya.
Ponselku berdenting. Aku berdecak. Barusan dibayangin orangnya langsung nongol saja. Aku langsung membuka pesan balasan dari Mas Rhanu. Namun, balasannya memicu aliran darahku mendidih. Ini orang pura-pura bego apa gimana, ya. Apa perlu aku kirim santet online biar dia kapok dan bersikap normal saja?
Mas Rhanu : Kirim apa?
Tarik napas... hembuskan lewat pantat. Tarik lagi lebih dalam... hembuskan lagi lewat pantat. Aku sangat berharap saat ini Mas Rhanu ada di belakangku biar kepulan gas alami dari dalam tubuhku ini nggak terbuang sia-sia.
Aku tersenyum lebar, berusaha bahagia nggak ada kendala apa-apa.
Aku : Revisian naskah.
Mas Rhanu : Oh, bilang yang jelas dong.
Nyebelin banget nggak, sih. Dia benar-benar menguji kesabaranku. Dan, sikapnya semakin menyebalkan ketika siang harinya entah memang takdir atau hanya sebuah ketidaksengajaan aku nggak sengaja ketemu Mas Rhanu di supermarket.
Siang itu aku dan Raza belanja logistik buat keberangkatan ke Dieng nanti malam. Rencana kami hiking akhirnya kesampaian juga. Tadinya aku sama Raza mau boncengan naik motor ke Dieng, tapi Mami nggak terima. Daripada bikin rusuh mendingan pinjam mobil Papi saja. Biar disetirin sama Raza. Toh, mobilnya sering nganggur soalnya Papi jarang di rumah.
Oke, kembali ke supermarket lagi. Waktu aku mau ambil air mineral di rak dekat makanan ringan, dari arah kanan aku melihat seorang laki-laki dengan ciri-ciri persis seperti Mas Rhanu. Bukan pertanda baik. Aku pura-pura nggak lihat saja, tapi nanti kalau nggak nyapa malah aku semakin dinyinyirin sama dia. Kalau nyapa nanti dia malah bertingkah.
"Mau beli apa lagi, Gi?" tanya Raza saat aku memasukkan dua botol air mineral ke dalam keranjang yang dia bawa.
Tidak mengacuhkan pertanyaan Raza, aku mengawasi gerak-gerik Mas Rhanu dari kejauhan. Sejauh ini dia masih sendirian. Kuamati sekitarnya barangkali dia bawa gandengan. Mungkin sama wanita cantik yang pernah aku temui di lobi kantornya.
"Mau beli apa lagi, Gi?" ulang Raza dan aku tetap nggak memedulikannya.
Barangkali stok kesabarannya habis membuat Raza berteriak persis di telingaku. "Mau beli apa lagi, Gi!"
"Buset suaramu, Za," aku memukul lengannya.
"Tuh kuping apa centelan panci. Makanya kalau orang ngomong tuh didengerin. Gimana orang mau simpati sama kamu kalau kamu nggak mau dengerin orang lain ngomong," balas Raza menjitak keningku.
Alisku menyatu. Gaya bahasanya Raza kedengaran aneh. Mirip siapa gitu.
"Biasa aja deh nggak usah teriak. Malu-maluin saja," rutukku sambil menyikut perut Raza ketika seorang wanita paruh baya melirik sinis ke arah kami.
"Kamunya diajak ngomong diem saja. Ngelihatin apa sih asyik banget?"
Kutempelkan telunjuk di bibir. Mengode lewat lirikan mata, aku memberitahu Raza posisi Mas Rhanu di seberang sana.
"Itu Mas Rhanu, Za," bisikku.
"Terus kenapa? Kamu gengsi mau nyamperin dia?"
Aku memalingkan muka. "Males banget. Dia sudah jahatin aku. Nggak sudi."
"Eh, tapi..." lama banget Raza nggak melanjutkan kalimatnya. Aku menoleh karena penasaran dan mendapatkan panorama alam yang mengejutkan.
Wanita bermake up tebal yang dulu nungguin di lobi itu ternyata dia yang mendampingi Mas Rhanu belanja. Dia menunjukkan sesuatu sama Mas Rhanu. Nggak tahu apa yang mereka bahas. Yang jelas keduanya sama-sama tertawa seolah topik pembicaraan mereka asyik.
Bukan, fokusku bukan sama bercandaan mereka yang nggak jelas. Tapi, aku salah fokus sama penampilan wanita itu. Caranya berpakaian, memoles muka sampai sekinclong gitu, bukannya kelihatan norak namun malah elegan. Nggak tahu kenapa aku selalu takjub melihatnya. Bisa gitu ya. Kadang pesona tersebut muncul bukan disebabkan oleh pengaruh make up. Bisa jadi dia masang susuk di wajahnya biar auranya terlihat memancar.
"Ngelamun aja, Gi. Kita samperin saja, yuk. Daripada kamu mupeng nggak jelas gitu," celetuk Raza seraya menarik tanganku.
"Eh, Raza!"
Kurang ajar si Raza. Dia membawaku ke tempat Mas Rhanu. Aku menundukkan wajah. Nggak tahu tiba-tiba saja aku merasa malu. Apalagi sebelahan sama wanita itu mendadak tingkat kepercayaan diriku menguap tak berbekas.
"Hai, Mas Rhanu ya?" sapa Raza sok kenal padahal nggak.
Aku diam saja. Menanti gimana reaksi mereka berdua.
"Ini lho, Mas. Nagita dari tadi ngelihatin Mas terus, tapi malu mau nyapa. Ayo, Gi. Mas Rhanunya sudah di sini," sahut Raza menyikut lenganku.
Memang ya, mulutnya Raza minta disumpal sandal jepit. Spontan aku mendongak. Melotot tajam sembari menggeplak lengan Raza. Raza cuma meringis. Saat itulah tatapanku bersirobok dengan Mas Rhanu. Lelaki itu memandangku dengan cara yang aneh sementara wanita di sampingnya senyum-senyum nggak jelas. Sayang sekali canti-cantik nggak waras. Tangan wanita itu melingkar mesra di lengan Mas Rhanu. Perasaanku nggak enak.
Untuk menutupi kecanggungan, aku nyengir. Berpura-pura bersikap bahagia sebab bertemu seseorang yang kuanggap berjasa mewujudkan impianku menjadi penulis novel. Aku berlagak antusias.
"Hai, Mas Rhanu. Lagi belanja sama Mbaknya ya," seruku ceria.
Bukannya menanggapi celotehanku, Mas Rhanu malah menatapku dan Raza bergantian. Wajahnya tegang banget nggak ada ramah-ramahnya. Ekspresi antara pengin nggampar muka orang atau nahan pup. Raza saja sampai mundur satu langkah menjauhi Mas Rhanu.
"Dia bukan Mbak saya," sahut Mas Rhanu sinis.
Aku kehilangan kata-kata. Dari awal aku sempat meragukan kepiawaian Mas Rhanu atas profesinya. Sebenarnya agak waswas juga naskahku ditangani sama dia. Apakah versi cetaknya nanti berantakan mengingat pemahaman katanya agak diragukan. Pertama, mengenai pemaknaan kata pergaulan bebas. Kedua, mengenai panggilan 'Mbak' yang aku tujukan pada wanita di sampingnya. Maksudku Mas Rhanu dan Mbaknya itu ya bukan berarti dia sama kakaknya gitu lho.
Duh, nggak ngerti lagi gimana cara jelasinnya. Aku cuma mau ngasih saran saja sama PurlpeBooks. Lain kali kalau ada rekrutmen editor lagi mereka harus lebih detail mempertimbangkan tentang kemampuan berbahasa bagaimana caranya memaknai sebuah kata dari para pelamarnya.
"Maksud saya ya Mas dan Mbak gitu," ralatku bingung.
Tidak menggubris komentarku, Mas Rhanu menarik tangan wanita yang menyelip di lengannya. Membawanya berlalu tanpa pamitan kepadaku. Jangankan pamit, melihatku saja nggak. Malah dia sempat melirik Raza sepintas. Mas Rhanu kenapa ya?
Nggak seperti Mas Rhanu yang seolah mengabaikan kehadiranku, wanita yang bersamanya itu tersenyum kepadaku ketika Mas Rhanu menyeret langkah mereka menjauh. Aku membalasnya dengan senyuman simpul kemudian menunduk memerhatikan sandal jepit Swallow yang membungkus kakiku. Beda banget sama dia yang kakinya dibungkus wedges meskipun seperti merek diskonan. Sebenarnya wanita itu siapanya Mas Rhanu ya.
Sialan, aku dicuekin. Dasar manusia aneh. Kedua tanganku terkepal. Sombong banget jadi orang.
"Manusia sombong, aneh, nyinyir, gila..." aku mengumpat kesal begitu sosoknya nggak tampak lagi.
"Sabar, Gi. Jangan terlalu benci sama Mas Rhanu ntar jadi cinta lho," cetus Raza sambil mengusap lembut lenganku.
Kulirik Raza seraya memanyunkan bibir. Lalu, aku menginjak kakinya. "Keseringan nonton telenovela kamu tuh. Benci cinta benci cinta gundulmu!"
"Cinta itu anugerah Tuhan, Gi. Nggak ada yang tahu cintamu nanti jatuh sama siapa. Bisa jadi jatuh sama Mas Rhanu bahkan bisa banget jatuhnya ke aku. Makanya jangan sembarangan ngeremehin gitu."
"Nggak usah drama, Za. Kupingku nyeri dengernya," ujarku ketus. "Ayo balik, dah. Aku mau tidur. Mau charge tenaga buat perjalanan ntar malem."
Hatiku masih ngerasa kesal tak terhingga mendapati sikap Mas Rhanu yang ngeselin tingkat sejagat raya. Sok-sokkan nggak kena mentang-mentang situ bawa gandengan. Sombongnya minta ampun ya Tuhan. Semoga kesombongannya mendapat balasan setimpal.
"Yaelah lebay banget. Yang nyetir juga aku, Gi. Kamu sih tinggal molor selama perjalanan juga bisa."
"Nggak. Ntar kamu memanfaatkan kesempatan menjamah tubuhku pas aku tidur."
Aku berjalan lurus menuju kasir. Mengabaikan Raza yang mengekoriku. Langkahku tertahan di barisan rak dekat kasir yang memamerkan bermacam-macam produk kecantikan. Aku memandangi aneka alat kecantikan dari berbagai merek. Banyak banget. Aku nggak tahu fungsinya mereka apa.
Tak sengaja mataku menangkap pantulan wajahku dari sebuah cermin yang disediakan di dekat rak peralatan kecantikan. Aku tercenung. Jemariku mengusapi kedua pipi, menyentuh kelopak mata, dan bibir sendiri. Mendadak aku teringat penampilan wanita yang bersama Mas Rhanu tadi. Kalau aku nyoba dandan kayak gitu pantes nggak ya?
Tanpa sadar aku menelusuri macam-macam produk kecantikan. Mengambilnya beberapa yang sekiranya diperlukan.
"Tumben kamu beli make up, Gi," ujar Raza sambil merampas lipstik dari tanganku.
Aku mengambil paksa sebuah lipstik berwarna cherry glam dari Raza. "Berisik, ah. Suka-suka aku, dong!"
Raza terheran-heran melihatku yang kelihatan kalap menelusuri rak make up. Dia cuma bengong mengikutiku. Setelah dirasa make up yang kuambil komplit, aku berjalan menuju kasir. Nggak usah beli banyak-banyak, secukupnya saja. Sisanya nanti menjarah alat kecantikannya Mami saja.
Mungkin sudah saatnya aku mencoba memoles diri sedikit demi sedikit. Biar kelihatan agak bersinar gitu. Oke, habis ini aku langsung mau nyari video tutorial make up di Youtube. Mau belajar dandan biar keberadaanku nggak diremehkan. Biar keberadaanku nggak diabaikan.
15.06.2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top