06. Baper
"Sebenarnya tujuan Mas ke sini itu mau maki-maki saya atau mau bahas soal naskah, sih?"
Segini relanya mengorbankan waktu sesore ini cuma buat bahas naskah. Kayak nggak ada waktu lain saja. Aku baru tahu ada editor yang rela mendatangi rumah penulisnya untuk diskusi tentang hasil revisi. Menurutku ada dua kemungkinan. Pertama, dia sengaja mencariku di luar jam kerja biar dapat kompensasi lemburan dari kantornya. Kedua, dia memang modus. Apalagi laki-laki sejenis Mas Rhanu. Bukannya mau geer, tapi aku cuma mengira-ngira saja.
Berangsur-angsur warna muka Mas Rhanu kembali normal. Tanpa bicara dan bibir mengatup rapat, Mas Rhanu mengeluarkan catatan dari dalam tasnya. Aku mulai waswas. Dilihat dari tampangnya yang suram, aku menduga kalau dia akan melakukan eksekusi habis-habisan. Selembar kertas penuh coretan diletakkan di atas meja. Rupanya dia sudah menuliskan poin-poinnya di sana.
"Naskah kamu terlalu panjang. Kamu harus pangkas naskahnya maksimal mencapai 40.000 kata," ujarnya sambil melingkari poin pertama dengan pena berwarna merah.
"40.000 kata itu sekitar berapa halaman ya, Mas?" tanyaku sambil memijat pelipis. Segala sesuatu yang berbau revisi membuat kepala dan perutku melilit secara bersamaan.
"Ya kamu kan bisa hitung sendiri dari lembar kerja word kamu kira-kira sudah ngetik berapa kata," sahut Mas Rhanu judes.
Aku bisa mengelola kesabaran sampai detik ini tuh merupakan prestasi yang luar biasa, lho. Aku hanya bersikap profesional, menghormati posisi Mas Rhanu sebagai editorku. Soalnya tanggung jawab berhasil atau tidaknya naskah setelah menjadi buku ada di tangannya. Namun, kesabaran juga ada batasnya. Aku nggak bisa terus-terusan menahan sabar kalau caranya begini.
"Sebagai editor yang sudah berpengalaman Mas kan lebih tahu sekiranya berapa halaman. Biar saya nggak repot juga ngitung-ngitung lembarannya," ucapku kesal.
"Bahkan penulis best seller sekelas J.K Rowling saja pernah mengalami repot, Gi. Sering malahan. Kamu barusan mau jadi penulis yang punya satu calon novel saja sudah protes. Kamu ikutin saja apa yang saya bilang. Percaya sama saya naskah kamu kelak bisa jadi best seller. Kamu tahu nggak kalau dua penulis best seller PurpleBooks itu saya yang nanganin naskahnya."
Tinggal jawab berapa lembar halamannya apa susahnya, sih. Laki-laki kok mulutnya nyinyir. Sombong banget jadi orang. Terus apa gunanya bimbingan kalau pertanyaanku saja jawabannya disuruh nyari sendiri. Boleh nggak sih protes minta ganti editor saja? Bukannya memudahkan malah menyusahkan. Tak lihatin dulu saja kalau besok-besok sikapnya masih semena-mena, aku beneran mau datang ke kantor PurpleBooks untuk mengajukan protes.
"Terus, adegan memberi boneka di bab lima dibuang saja. Terlalu mainstream, saya nggak suka," lanjut Mas Rhanu.
"Adegannya mainstream, tapi cara penyampaiannya kan nggak mainstream. Mas ada saran nggak enaknya diganti gimana?" aku menyambar toples berisi keripik singkong.
"Bonekanya diganti balon."
Mengganti dengan balon? Kayaknya ada yang janggal sama sarannya. Oh, pantas. Pasti Mas Rhanu terjebak kenangannya sendiri. Dia sedang memasuki alam nostalgia dengan cara beralasan menggunakan karya orang lain sebagai tamengnya. Jadi dia masih beranggapan bahwa cerita yang aku tulis ini bersumber murni dari kisah kami.
Sebenarnya nggak segitunya juga. Karakter pemeran utama dan endingnya beda banget. Di dunia nyata tokoh utamanya nggak bersama bahkan cenderung saling memusuhi sedangkan di cerita aku bikin mereka berdua jadian. Aku membayangkan pasti Mas Rhanu baper akut saat mempelajari naskahnya. Memang ada bagian yang sengaja aku ambil dari kejadian nyata. Rasanya pengin tertawa.
"Nggak mau. Terlalu alay. Lagian pakai boneka nggak masalah, kan. Mendingan bunga lebih romantis ketimbang balon," sanggahku.
"Bunga gampang layu, Gi. Ngasih sesuatu itu yang barangnya nggak bisa habis biar gampang dikenang. Apalagi buat orang yang kita sayang barangnya jangan sembarangan."
"Balon juga gampang meletus makanya nggak bisa dikenang. Balon itu berbahaya buat kehidupan bumi, Mas. Gas yang terkandung di dalam balon bikin pemanasan global tambah parah. Lagian balon itu mainan anak kecil. Modal dikit napa kalau ngasih barang buat gebetan," kilahku.
Menegadahkan wajah. Lelaki di hadapanku ini memandangku dengan wajah ditekuk. "Jadi itu alasan kamu dulu ninggalin balonnya di tengah lapangan? Karena nganggep saya nggak modal?"
"Eh, Mas kan sudah sepakat nggak mau bahas itu lagi. Kok jadi situ yang baper, sih."
"Kamu duluan yang mancing saya."
"Santai saja kali, Mas. Jadi cowok kok gampang baperan. Apa-apa dibawa pikiran. Mas melanggar kesepakatan kalau kayak gitu. Ngapain coba diungkit-ungkit terus."
"Ganti bonekanya sama balon, Gi. Biar kesannya nggak terlalu drama. Setidaknya kamu bisa menjelaskan bahwa adegan itu pernah ada kalau ditanya pembaca. Sefiktif-fiktifnya cerita tetap membutuhkan logika biar nggak terkesan mengada-ada," cetus Mas Rhanu mengulang coretan lingkaran lebih besar pada poin pergantian boneka.
"Romantis bunga deh, Mas," protesku.
"Balon saja."
"Balon nggak baik buat kelangsungan hidup bumi. Gas yang buat mompa balonnya bisa merusak lingkungan."
"Balon saja. Nanti saya beliin bunganya buat kamu. Kamu pikir saya nggak bisa romantis apa."
"Itu kan cuma saran buat adegan cerita. Nggak usah dipraktekkin juga, Mas."
Mas Rhanu mengabaikan komentarku. Situasi semakin bertambah nggak jelas ketika Mas Rhanu berpindah duduk di sebelahku. Dia meletakkan kertasnya di pangkuanku.
"Ini kamu pelajari sendiri poin-poin mana saja yang butuh revisi. Maksimal satu minggu ke depan hasil revisiannya sudah kamu kirim balik ke email saya. Kalau kamu bisa tangkas, jadwal terbitnya bisa dimajukan."
Kejamnya. Cepet banget dikasih waktu satu minggu sedangkan memangkas kata-kata itu nggak segampang sekali kedipan mata. Memang kegiatanku sekarang hanya seputar skripsi dan naskah, tapi nggak berarti aku harus berkutat di situ saja. Aku kan juga butuh liburan.
Kemarin aku sama Raza berencana liburan bareng. Rasanya sudah lama aku nggak menyicipi aroma pegunungan. Nggak perlu camping kayak biasanya, paling nggak cukup hiking sehari saja. Rencananya aku sama Reza mau jalan ke Dieng yang bisa dieksplor dalam waktu sehari. Aku cuma butuh refreshing dan Raza perlu pelepas penat. Penginnya sih perginya akhir pekan ini. Kenapa sama Raza? Karena dia adalah partner mendaki terbaikku sejauh ini.
Entahlah itu Mas Rhanu ngomong apaan. Aku nggak sepenuhnya mendengarkan. Pikiranku menggurita ke mana-mana. Gara-gara Mas Rhanu liburanku cuma sekadar wacana forever. Badanku beneran lemas dan perutku mulas. Baru saja aku mau membuka mulut, Mas Rhanu menempelkan telunjuknya di bibirku. Mencegahku melayangkan gugatan.
"Saya selalu menerapkan sistem deadline buat penulis yang naskahnya saya tangani. Kenapa? Karena saya menyukai ketepatan waktu dan disiplin. Kamu harus membiasakan diri disiplin mulai dari sekarang, Gi. Biar kamu nggak kaget kalau suatu saat nanti kamu membaur dengan gaya hidup saya."
Kutepis telunjuk Mas Rhanu dari bibirku. "Saya nggak tertarik berbaur dengan kehidupan Mas yang kaku. Membosankan. Nggak peduli pokoknya saya minta tambahan waktu nyelesein revisinya soalnya Mas sudah mengacaukan rencana liburan saya."
Alis Mas Rhanu menukik tajam. "Selesaikan tugas kamu dulu baru liburan."
"Pokoknya saya minta dispensasi," tegasku.
Coba saja kalau editorku bukan Mas Rhanu. Aku yakin pasti nggak akan sengeyel begini. Meskipun orangnya tetap Mas Rhanu asal dia bertindak manusiawi kepadaku, dengan senang hati aku menuruti nasihatnya. Kalau ingat pas aku disuruh datang ke kantornya cuma buat numpang ngirim email tuh bikin geregetan sendiri.
"Memangnya kamu mau liburan ke mana?" tanyanya setelah menarik napas panjang. Sepertinya dia mengalah untukku.
"Ada, deh. Kepo banget," sahutku mengedikkan bahu.
Suara azan maghrib menginterupsi percakapan kami. Aku bersorak dalam hati. Aku sangat berharap habis azan rampung pasti Mas Rhanu bakal pamit pulang.
"Kamu niat banget sih Mas, bela-belain ke rumah saya buat diskusiin naskah. Kirim email saja kan lebih praktis. Malah milih rempong dateng ke sini," pancingku setelah kumandang azan berakhir.
"Lebih enak ketemu kalau diskusi, Gi. Lagian kita satu kota ngapain juga pake email-emailan," balas Mas Rhanu sembari membereskan perlengkapannya.
Asyik... Bau-baunya mau pulang nih kalau dia sudah memasuki fase beres-beres gitu. Akhirnya. Saking girangnya aku sampai cengengesan. Sudah nggak sabar menantikan saat Mas Rhanu pamitan.
"Besok lagi kalau mau ketemu jangan mendadak gini, Mas. Bikin janji dulu kek. Kan saya masih ngantuk kalau Mas ngabarin mendadak kayak tadi. Padahal sore ini Raza janji mau traktir saya bakso buat syukuran minta didoakan biar dipermudah pas sidang," ujarku tanpa sadar membuka aib sendiri. "Eh, mendingan Mas pulang saja, deh. Istirahat gitu kayaknya Mas capek banget. Kantung matanya tebel gitu."
Mas Rhanu melipat tangannya. Memandangku curiga. Aku nggak sanggup ngelihat mukanya. Sumpah, suram banget. Agak prihatin juga sama kondisinya. Akibat tuntutan pekerjaannya yang sering dikejar deadline, dia jadi melampiaskan beban kerjanya tersebut kepada penulis yang dia tangani.
"Saya numpang maghriban di sini ya, Gi."
Mataku melotot.
"Tapi... habis itu Mas langsung pulang, kan?"
"Iya." Mas Rhanu mengangguk.
Aku tersenyum lega lantas mengambil sajadah di dalam kamar. Menggelarnya di ruang tamu buat Mas Rhanu sementara dia mengambil air wudhu. Kebetulan tamu bulananku lagi berkunjung sehingga aku punya alasan kuat menolak ajakan Mas Rhanu untuk salat jamaah bersamanya.
"Kamu nggak usah nginap di kost Raza, Gi. Kamu harus jaga perilaku untuk nggak menodai nama PurpleBooks," kata Mas Rhanu seraya meletakkan sajadah yang sudah dia lipat di atas sofa.
Aku berdecak. "Khawatir banget, sih. Lagian Raza itu nggak bakal ngapa-ngapain saya. Malahan saya ngerasa aman sama dia. Misalnya dipaksa keadaan pada akhirnya milik saya jatuh di tangan Raza, saya yakin dia pasti mau tanggung jawab. Raza nggak sepengecut itu, kok."
Sontak Mas Rhanu menjewer telingaku. "Jaga bicaramu, Nagi."
Aku berteriak. Spontan kuinjak kaki Mas Rhanu. Bibirku mencebik.
"Oya, Mami kamu di mana? Saya mau pamitan."
Hatiku berpesta pora mendengarnya. Aku memanggil Mami dengan perasaan membuncah. Akhirnya Mas Rhanu menyingkir juga dari rumahku. Namun, kenyataan selanjutnya membuatku gelisah. Lebih parah. Aku nggak nyangka Mas Rhanu malah minta izin sama Mami untuk mengajakku makan malam di luar. Apa-apaan ini?
"Nggak papa yang penting kamu baliki Nagi sebelum jam sepuluh malam, ya," ujar Mami santai.
Mami keburu masuk ke dalam lagi. Padahal aku berharap Mami melarangku pergi sama Mas Rhanu seperti dia melarangku tidur di kostan Raza.
"Ayo, Gi. Katanya kamu mau makan bakso," desak Mas Rhanu nggak nyadar situasi.
"Nggak mau," sentakku.
"Kamu nggak jadi makan bakso gara-gara saya, kan. Daripada makan sama Raza mendingan kamu makan sama saya. Saya yang traktir."
Bola mataku membesar.
"Saya bukan laki-laki pengecut dan bersedia bertanggung jawab atas segala tindakan yang saya lakukan, Gi."
Kali ini mulutku menganga. Kayaknya kadar kebaperan Mas Rhanu sudah nggak tertolong lagi.
[Ditaksir Mas Editor]
Makin ngaco ya? Nikmatin dulu aja sewot-sewotnya mereka.
Kabarin kalau ada typo.
Selamat liburan ya...
Chapter berikutnya kayaknya habis lebaran aja.
Maaf lahir batin semuanya..
Info
Aku punya cerita baru barangkali kalian tertarik mampir.
Tetep berbau romcom cuma agak beda dari biasanya.
Blurb :
Dalam kurun waktu satu tahun, Sakia Paradista sudah dua kali pindah tempat kerja. Maka ketika sahabatnya, Indra Kalana menawarkan pekerjaan di kantornya, Sakia langsung mengiyakan.
Sakia tidak pernah menyangka makan malam dadakan bersama bosnya, Bhaskara Darmawangsa mengantarkannya kepada kisah paling imajinatif. Menjadi karyawan mulifungsi adalah skill yang perlu dikuasai. Tapi, mengondisikan diri menjadi tempat penampungan curahan hati benar-benar di luar kendali.
Sakia frustasi. Menjadi perantara itu sangat menyebalkan.
Yogyakarta, 8 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top