04. Ngambek


Mas Rhanu menolak memberiku alamat emailnya. Dia menyuruhku datang ke kantornya untuk menyerahkan naskah utuh yang sudah kurombak. Tadinya aku mau nelpon kantornya minta alamat email Mas Rhanu atau kutitipkan sama resepsionis saja, tapi aku khawatir kalau nggak tersampaikan. Ya sudah, aku ikutin saja instruksi Mas Rhanu. Walaupun hatiku dongkol kesal seperempat hidup, aku yakin di balik peristiwa ini pasti ada hikmahnya.

Pukul sepuluh tepat aku sudah tiba di kantor PurpleBooks. Namun, informasi yang kudapat dari resepsionis membuatku pengin membakar seluruh gedung kantor ini. Minimal mengacak-acak lobi. Tapi, aku tahu itu nggak mungkin. Sebelum semua terjadi aku pasti bakal diusir sama satpam duluan.

Keputusan yang dibuat secara sepihak memang kebanyakan nggak menyenangkan. Mau protes menuntut keadilan, tapi nggak tahu sama siapa. Bisa-bisanya Mas Rhanu bikin janji sama aku ternyata dia sudah punya agenda meeting sama divisinya. Meetingnya di luar kantor pula. Kalau nggak niat mau ketemu harusnya nggak usah bikin janji ketemuan. Atau ganti jadwal saja ketemuannya kalau dia memang lagi sibuk. Aku mencium unsur kesengajaan di sini. Dia sengaja bikin aku menunggu. Seolah-olah ingin menunjukkan kalau dirinya orang penting.

"Silakan ditunggu dulu ya, Mbak. Tadi Mas Rhanu nitip pesan kalau setengah jam lagi meetingnya selesai," ucap Nirina, nama resepsionis yang kuketahui dari name tag yang tersemat di dada kirinya.

"Makasih ya, Mbak," sahutku kecewa.

Setengah jam apaan, palingan itu meeting kelarnya habis makan siang. Sepertinya Mas Rhanu sengaja ngerjain aku. Hatinya masih diselimuti dendam terselubung makanya diriku dijadikan pelampiasannya. Ah, padahal dia sudah berjanji mau melupakan semuanya. Ternyata nggak ada pengaruhnya. Sikapnya padaku tetap saja seenak jidatnya.

Pendingin ruangan yang disetel di lobi kantor ini terasa pas dan nyaman. Bersandar di sofa empuk, lambat laun mataku meminta mengatup. Baru satu detik terlelap, aku tersentak merasakan benda dingin menempel di pipiku. Rupanya botol air mineral.

"Ngantuk, Gi," sapa Mas Rhanu sembari mengambil duduk di sebelahku.

Aku mendengkus. Melepaskan ransel dari punggungnya, Mas Rhanu mengeluarkan MacBook berwarna silver. Kuamati segala pergerakannya bahkan detail penampilannya hari ini tak luput dari perhatian tangkapan mataku.

Kulit Mas Rhanu memang agak gelap memancarkan kesan maskulin yang pas. Badannya nggak atletis, tapi jika dilihat dari tinggi badannya yang lumayan bikin aku mendongak kalau lagi bicara sama dia, bisa dibilang cukup proporsional. Sebenarnya dia manis sih, tapi nyebelinnya itu ya ampun. Tinggal ngasih alamat emailnya kan beres. Buang-buang waktu saja nyuruh aku datang ke sini. Maksudnya waktuku yang terbuang. Waktunya dia sih nggak.

Nggak tahu kenapa rasa kantukku lenyap begitu melihatnya fokus menatap layar MacBook di atas pangkuannya. Coba yang dipangku itu bukan MacBook, tapi...

"Kamu bawa laptop?" tanyanya mengacaukan lamunanku.

"Hm? Bawa, Mas. Kenapa?" jawabku segera menegakkan badan.

"Buka laptopmu, konekin ke wifi. Ini passwordnya." Mas Rhanu menyodorkan secarik kertas padaku.

"Oke."

Sejauh ini aku berusaha menuruti apapun instruksi Mas Rhanu. Aku mau jadi anak baik saja supaya urusanku dengannya lancar dan cepat selesai. Laptopku sudah kusambungkan dengan wifi sesuai permintaannya.

"Sudah nyambung wifinya, Mas."

"Buka email kamu."

Aku menurut. "Sudah. Terus?"

"Sekarang kirim naskah kamu ke email saya. Ini alamatnya." Lagi, Mas Rhanu memberikan kertas bertuliskan alamat emailnya padaku.

"Oh, oke."

Terkirim. Sesaat aku tertegun. Sebentar, kayaknya ada yang nggak beres di sini. Barusan aku ngirim naskah ke Mas Rhanu pakai email, kan. Sedangkan dia bilang kemarin nggak mau naskahnya dikirim via email makanya aku disuruh datang ke kantornya. Kalau gitu yang barusan ini maksudnya apa? Kan, dia ngerjain aku.

Sontak aku menoleh. Memandang Mas Rhanu penuh murka. "Barusan dikirim via email ya, Mas?"

"Sudah nyampe, kok. Saya pelajari dulu ya, Gi. Nanti saya hubungi kamu kalau ada revisi," sahut Mas Rhanu enteng, mengabaikan perasaanku yang mendidih.

"Kenapa nyuruh saya ke sini kalau ujung-ujungnya ngirim naskahnya via email? Kenapa nggak pake flasdisk saja? Tahu gitu Mas Rhanu tinggal kasih saya alamat emailnya biar bisa saya kirim dari rumah. Saya nggak usah ke sini, pake nungguin Mas meeting pula. Dipikir saya nggak punya kerjaan selain ngurusin naskah apa?" teriakku emosi.

Mas Rhanu tercenung menatapku. Bulu matanya yang nggak lentik mengepak-ngepak. Nirina dari balik meja resepsionis sampai melongokkan kepala. Tersihir sama getaran suaraku yang memang kuakui membahana.

"Saya nggak mau ambil resiko kena virus gara-gara flasdisk kamu nyolok di MacBook saya. Ini benda prestise, perawatannya mahal."

"Ya pake flasdisknya Mas, dong!"

"Flashdisk saya ada di lantai tiga. Males ngambilnya."

"Terus ngapain nyuruh saya ke sini kalau akhirnya ngirimnya lewat email," cecarku gemas.

"Di rumah kamu ada wifi nggak?"

Keningku mengernyit. "Nggak ada."

Mas Rhanu menjentikkan jari di depan wajahku. "Nah, itu dia. Kalau ngirim emailnya dari rumah, kamu membutuhkan koneksi internet yang nggak mungkin kamu dapatkan dari wifi karena fasilitas itu nggak tersedia di rumah kamu. Kamu pasti bakal pake tethering dari ponsel yang otomatis mengurangi jatah paket data kamu. Jadi, mendingan pake wifi kantor, kan. Gratis dan praktis."

Aku nggak tahu sisi praktisnya itu dilihat dari mana. Yang ada justru merepotkan orang lain. Ngeselin banget, kan. Apalagi ekspresi mukanya itu sama sekali nggak ada rasa bersalah. Datar. Sok polos.

Kuhela napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan lewat mulut. Mataku menyipit. "Mas ngerjain saya, ya."

"Emangnya kamu pengin banget saya kerjain?" cetus Mas Rhanu sambil bersidekap menatapku.

Kayaknya percuma ngomong sama dia. Sebaiknya aku nggak membalas perkatannya. Aku mengalah bukan berarti kalah. Aku cuma nggak mau memperpanjang masalah. Semakin dilanjutkan mendebatnya semakin nggak nemu ujungnya.

"Ada yang lain lagi nggak, Mas? Kalau nggak ada saya pamit pulang."

"Nggak ada. Silakan kalau mau pulang."

Mas Rhanu memusatkan perhatian kepada layar ponsel dalam genggamannya. Kan. Bahkan sekadar berucap 'hati-hati ya, Gi' atau 'kamu pulang naik apa, Gi' nggak ada. Kurasa sisi kemanusiaannya sudah terkikis. Nggak pakai lama, aku membereskan perlengkapanku.

"Permisi, Mas," ucapku langsung bergegas tanpa menunggu tanggapan dari Mas Rhanu. Tak lupa aku melempar senyum kepada Nirina yang sejak tadi curi-curi pandang mengamati interaksiku dengan Mas Rhanu.

Mencapai ambang pintu, seseorang menarik lenganku. Menghentikan langkahku.

"Nagi." Mas Rhanu menyelipkan selembar uang dua puluh ribu ke tanganku. Bola mataku membesar.

"Ini ongkos pulang buat kamu. Saya tahu kamu nggak bisa naik motor makanya saya sudah pesan ojek online buat kamu. Sebentar lagi ojeknya datang. Saya lagi nggak ada saldo makanya pembayarannya pake tunai saja," lanjutnya.

Aku memandangnya sinis. Kukembalikan selembar uang itu padanya. Tanpa mengurangi segala hormat, aku nggak bisa menerimanya.

"Makasih, Mas. Cancel saja pesanannya soalnya habis ini saya dijemput sama Raza."

"Raza?"

Seorang pengemudi motor berseragam khas ojek online memasuki halaman kantor PurpleBooks. Sebenarnya kasihan sama bapak ojeknya, tapi aku nggak bisa segampang itu diiming-imingi. Kusingkirkan cekalan tangan Mas Rhanu lantas aku bergerak melesat cepat meninggalkan PurpleeBooks. Lebih baik aku nunggu Raza di pinggiran jalan saja.

[Ditaksir Mas Editor]

"Maaf, Za. Ngerepotin kamu terus," ucapku ketika motor yang dikendarai Raza berhenti di traffic light.

"Santai saja, Gi. Tengah malem kamu nelpon pun aku bersedia dateng ke rumah nganterin martabak buat kamu, kok."

"Yah, tapi aku tetap nggak enak sama kamu, Za."

"Tumben kamu baper, Gi. Habis ketemuan sama Mas Rhanu hatimu makin peka saja," ejek Raza.

"Nggak ada hubungannya sama dia, ya!"

Raza terkikik. "Nggak usah gengsi kali. Kayak aku baru kenal kamu kemarin sore saja."

Kebetulan atau memang sudah direncanakan sama Tuhan, aku, Raza, dan Mas Rhanu tergabung dalam organisasi yang sama. Nggak tahu kenapa pada masa itu aku pengin banget gabung di BEM. Terlepas dari keterlibatan Mas Rhanu di organisasi itu lho, ya. Aku gabung di sana karena panggilan hati pengin berorganisasi, bukan panggilan hati karena ada Mas Rhanu. Soalnya bagiku tantangan banget. Nggak semua orang bisa gabung di sana. Masuknya pakai seleksi diterapkan sistem gugur juga kayak ngelamar CPNS.

Biasanya saat diklat dalam rangka pergantian pengurus gitu para demisioner dan alumni turut memeriahkan acara dengan memberikan wejangan atau materi tentang pengalaman mereka. Namun, sesudah lulus dari universitas Mas Rhanu sama sekali nggak pernah kelihatan hadir di setiap acara. Sekitar dua tahun aku nggak ketemu dia. Aku sih nggak peduli kehidupannya setelah lulus kayak gimana. Hingga tiba-tiba dia muncul dalam wujud seorang editor yang menghandle naskahku, benar-benar di luar perkiraan.

"Tetep saja aku ngerasa nggak enak sama kamu, Za. Jujur aku bakal kehilangan banget kalau kamu lulus duluan ntar kalau ada urusan darurat aku mau minta tolongnya sama siapa," sahutku sambil memijat pundak Raza.

Raza melajukan motornya kembali dengan kecepatan sedang.

"Aku berencana ngelanjutin S2, Gi. Jadi aku masih tetap stay di Jogja. Masih ada banyak waktu buat kamu nambahin repotnya aku."

"Ya ampun, otakmu nggak capek mikir kuliah mulu, Za. Ganti mikirin masa depan gitu. Kerja, nikah, punya anak, hidup bahagia sama keluarga. Percuma kamu lanjut S2 kalau nggak jadi dosen, Za."

"Pendidikan itu bagian dari masa depan, Gi. Emang selama ini anggapan yang beredar kayak gitu seolah ambil S2 itu cuma buat jalan pintas karena nggak dapat kerjaan atau khawatir nggak dapat kerjaan. Aku sih nggak ada rencana jadi dosen, tapi lanjutin usaha keluarga saja. Misalnya jalanku jadi pendidik sih nggak papa. Malah seru, kan."

Aku manggut-manggut. "Kesambet apaan kamu di jalan sampai omongan bijak gitu, Za. Jadi terharu diriku. Makasih ya, Za kamu sudah bersedia aku repotin mulu."

"Asal kamu jangan lupa bagi-bagi royaltinya ke aku, Gi. Minimal traktiran kek," tawa Raza.

"Tetep ya otak kamu tuh nggak jauh dari gratisan apalagi soal makanan. Tenang, Za. Buat kamu sudah ada anggarannya, kok," ujarku mencengkeram jaketnya sebab Raza menambah laju kecepatan berkendaranya.

"Oke, deh. Terus kita ke mana, nih? Pulang?" tanya Raza sembari melirikku dari kaca spion.

"Makan bakso, yuk. Mendadak laper. Tapi bayar sendiri-sendiri, lho. Royaltinya belum cair."

Raza terpingkal. "Beres, Gi."


Aku ngambil settingnya di Jogja lagi. Kebetulan akunya di sini dan belum pengin ambil setting kota lain.

Next project saja ganti settingnya. Ntar aja publishnya kalau cerita ini udah mau selesai. 

Yogyakarta, 3 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top