03. Teman Hidup
Kalau ada typo atau sesuatu yang aneh kabarin aja soalnya gak pake edit.
"Beneran, Ri. Itu Mas Rhanu yang dulu orasi di depan panggung waktu penutupan OSPEK. Sekarang orangnya tambah songong dan nyebelin," ucapku sambil bertopang dagu mengamati jemari lentik Rianti menggoreskan kuas di atas kanvas.
Ukuran kamar Rianti yang cukup luas membuatku betah. Aku duduk bersila di atas kasur sambil mengamati Rianti melukis. Kalau sudah nggak ada bahan obrolan dan aku bosan mengamati Rianti melukis, biasanya habis menguap aku langsung terlelap.
Menurutku cewek sejenis Rianti ini mendekati sempurna. Otaknya cemerlang, kesayangan dosen-dosen, banyak penggemarnya pula. Banyak laki-laki yang deketin dia, tapi hatinya tertambat sama tetangganya sendiri yang sekarang lagi tugas menjaga patok negara di wilayah perbatasan Kalimantan.
Rianti gemar melukis. Setiap Sabtu sore, Rianti ikut kelas melukis yang diadakan oleh sebuah sanggar kesenian. Katanya kalau setelah lulus nggak kunjung dapat kerja, Rianti mau mengabdi di sanggar itu. Jadi guide sekaligus ngajar melukis karena sanggar tersebut juga memiliki galeri seni yang peminatnya nggak main-main. Aku heran dia sempat mikir ke arah situ. Padahal dia bisa minta tolong sama ayahnya yang punya jabatan top management di sebuah perusahaan asuransi terkemuka biar jalur rekrutmen untuknya dipermudah.
"Oh, yang habis orasi terus dia nembak kamu di tengah lapangan pake balon-balon itu kan?" cetus Rianti, tangannya menarik sebuah garis terakhir hingga karyanya berakhir memuaskan sesuai versinya.
"Iya," sungutku.
Rianti tertawa terbahak-bahak. "Mas Rhanu yang sering nungguin kamu di depan kelas cuma buat ngasih kembang mawar sama sekotak permen coklat, kan. Eh, ada lagi. Dia juga bikin puisi khusus buat kamu terus dibacain pas acara Dies Natalies fakultas, kan. Ya ampun, Gi. Aku saja kecewa kok bisa kamu nolak cowok langka kayak dia."
"Malesin banget, Ri. Aku nggak suka caranya umbar kealayan di depan umum. Malu-maluin tahu. Nambah-nambahin stres saja."
"Terus kamu nambah stres waktu Mas Rhanu jadian sama Cantika teman sekelas kita. Makanya kamu bikin cerita judulnya Pacarku adalah Pacar Temanku."
"Sembarangan," kilahku sambil mencubit lengan Rianti. "Aku bikin cerita karena stres sama skripsi."
"Ya sudah terserah kamu, Gi," cetus Rianti seraya merapikan peralatan lukisnya. Memandangi hasil karyanya sekali lagi, Rianti tersenyum puas.
"Lagian kenapa mesti dia yang jadi editorku, Ri. Aku males berurusan sama dia lagi."
"Nih, minum dulu biar adem, Gi." Rianti menyodorkan segelas es kelapa muda padaku. "Karena emang kerjaannya jadi editor, Gi. Berburu naskah yang dia anggap potensial dan kebetulan naskah kamu sesuai sama kriteria. Sudahlah kamu ngikutin saja apa kata Mas Rhanu. Kalau dia masih berulah dan kamu nggak suka, tinggal tegasin saja. Gampang, kan."
Benar juga, sih. Buat apa aku membayangkan terlalu berlebihan soal Mas Rhanu. Toh, selama aku bersikap sesuai prosedur kurasa nggak ada masalah. Lagipula dia sudah punya pacar. Wanita cantik di lobi itu buktinya. Jadi nggak mungkin banget Mas Rhanu masih jahil gangguin aku.
"Gi, minggu depan aku sidang skripsi. Kamu datang, ya."
Aku menoleh cepat ke arah Rianti. "Sidang? Cepet banget."
"Makanya kamu usaha dikit. Jangan naskahnya melulu yang diedit, tuh skripsi kamu nasibnya juga diperhatiin. Dulu alesannya sibuk organisasi sekarang sibuk ngurusi naskah. Kapokmu kapan, Gi, " sahut Rianti menjitak pelan kepalaku.
"Lagi males, Ri. Santai sajalah ntar juga kelar sendiri. Kalau nggak kelar-kelar ntar aku pake jasa pihak ketiga buat nyelesein skripsinya. Tenang saja selalu ada jalan menuju wisuda," cetusku sambil menelungkupkan wajah di bantal.
"Tapi aku nggak mau disuruh ngerjain skripsimu," sahut Rianti.
"Ye, siapa yang nyuruh kamu. Jasa calo bikinin skripsi masih ada, kan? Kalau mentok ntar aku nyuruh calo buat nyelesein skripsiku aja. Ngapain ribet-ribet," ujarku santai.
"Dasar Nagi!" Rianti menjitak kepalaku.
[Ditaksir Mas Editor]
Aku duduk bengong nungguin Rianti di depan kelas yang dipakai buat sidang. Hari ini beberapa orang terjadwal untuk mempertanggungjawabkan haasil tugas akhirnya di depan dosen penguji. Mataku memperhatikan raut wajah para peserta sidang yang beragam. Ada yang keluar kelas dengan tampang lesu, kuterka dia nggak lulus ujian dan harus mengulang. Ada yang salto saking semangatnya tuh orang sampai kepleset. Lulus nggaknya seseorang sidang itu kelihatan dari ekspresi wajahnya.
Jadi sedih sendiri lihatnya. Kayaknya aku yang paling nelangsa di antara mereka. Cuma bisa berangan doang kapan aku kayak gitu. Aku menghela napas pasrah. Mimpi hanyalah mimpi kalau nggak berusaha direalisasi.
"Hai, Gi. Ngelamun aja," sapa Raza mengibaskan tangannya di depan mukaku.
"Ish. Main nongol aja sih, Za," sungutku kaget.
"Abis bimbingan aku, Gi. Bab tiga sudah Acc.
Raza menunjukkan kertas kendali bimbingan skripsi padaku. Terdapat tanda tangan Pak Hesa di sana sebagai tanda dia telah mendapatkan otorisasi. Aku mencibir.
"Nggak usah sombong. Kena batunya baru tahu rasa ntar," sahutku seraya mendorong kepala Raza ke belakang.
"Skripsimu apa kabar, Gi?" ejek Raza.
"Kabar kabur!" balasku malas.
Raza tertawa. Aku sudah biasa disindirin sama manusia satu ini. Kalau nggak Rianti ya Raza. Karena memang mereka berdua yang sering barengan sama aku. Aku dekat sama Rianti karena satu kelas terus dari semester satu sedangkan aku dekat sama Raza karena selalu beraktivitas di organisasi yang sama. Apalagi selama dua periode kepengurusan aku dan Raza berada di departemen yang sama pula.
"Tadi Pak Hesa nanyain kamu, lho. Kayaknya kangen."
"Kok bisa sih, Za. Dosen pembimbing kita sama, tapi kelarnya kamu duluan. Kamu langganan keripiknya Pak Hesa ya makanya mulus bener tuh dapet Acc."
"Heh, jangan suuzon dulu. Nggak gitu juga, Gi. Pak Hesa nggak sejahat itu, kamunya aja yang sensi duluan. Makanya kamu itu yang rajin jangan males-malesan." Raza menarik-narik rambut kuncir kudaku. "Semangat, dong. Masa kamu kalah sama aku, sih."
Aku memberengut lantas gantian menarik rambut ikal Raza. "Bukan aku yang sensi, tapi Pak Hesa."
"Nggak usah nyalahin orang lain, Gi," balas Raza tak kalah sengit.
Raza memegang kepalaku dan aku juga memegang kepalanya. Kami beradu pandang, menahan kedipan. Biasanya yang nggak kuat nahan kedipan bakal mengacak-acak rambut lawan sebagai bentuk pelampiasan. Dan, aku nggak kuat duluan. Aku mengacak-acak rambut Raza, mencurahkan segala emosi. Raza nggak mau kalah, dia melepas ikat rambutku kemudian memberantakkannya.
"Kalian ngapain?"
Aku menoleh. Rianti sudah berdiri di depan kami memasang senyuman lebar. Kayaknya hasil sidangnya berbuah manis.
"Eh, gimana sidangnya Ri?" seruku sambil mendorong kepala Raza hingga hampir membentur tembok. Raza mengumpat mengeluarkan nama-nama hewan peliharaannya.
Rianti melirik Raza sebentar. Lalu, dia tersenyum kepadaku. "Alhamdulillah, aku lulus. Masih ada revisi, tapi nggak banyak."
"Akhirnya, Riantiku lulus juga," aku bersorak seraya menubruk Rianti. Memeluknya erat. Bangga sekali sama sahabatku ini.
"Traktirannya kapan, Ri?" celetuk Raza.
Aku menoyor kepala Raza. "Pikiranmu traktiran mulu. Modal dikit, dong. Dasar pejuang gratisan."
"Mendingan pejuang gratisan ada yang pekain, Gi. Daripada perjuangin kamu yang ada dipandangin sebelah mata terus." Raza menjulurkan lidahnya padaku.
"Fitnah! Sejak kapan kamu merjuangin aku, hah? Yang ada kamu tuh minta bantuan aku buat merjuangin orang lain. Sok kegantengan banget. Kamu nggak usah bikin berita hoax, Za. Dasar penyebar kebencian, pemecah belah umat kamu tuh, " protesku hendak menjitak kepala Raza, tapi tanganku ditangkisnya duluan.
"Udah deh kalian berdua tuh nggak bisa diem kalau ketemu. Sama-sama bikin ulah," lerai Rianti. "Tenang saja, aku akan traktir kalian, kok. Tapi nggak sekarang soalnya aku mau jemput kakakku di bandara. Jadi..."
Menunggu Rianti bicara, aku menduga ada sesuatu yang meresahkan dari lanjutan kalimatnya. Dia memegang pundakku dan pundak Raza. Kami berdua menatapnya curiga.
"Za, aku minta tolong anterin Nagi pulang. Soalnya tadi berangkatnya barengan aku, tapi aku nggak bisa balikin lagi. Makanya aku minta tolong sama kamu, ya," ucap Rianti.
"Nggak. Aku bisa pulang sendiri. Males banget balik sama cecurut ini. Hih," elakku bergidik.
Raza menepuk lenganku. "Eh, sok jual mahal kamu. Yang biasanya WA duluan minta dijemput rapat siapa? Yang biasanya WA malem-malem minta dibeliin martabak siapa? Mentang-mentang kostanku sebelahan sama pedagang martabak semena-mena saja kamu memperbudak."
Berseteru dengan Raza nggak pernah ada habisnya. Memerlukan waktu lama bagi kami berdebat untuk hal-hal nggak berfaedah. Niatnya buat bercandaan, sih. Nggak ada seriusnya. Yah, tapi begitulah justru itu yang bikin aku betah berteman dengan Raza. Senyolot-nyolotnya aku padanya, dia nggak pernah marah.
"Oh, jadi kamu nggak ikhlas?" seruku.
"Aku balik duluan, ya. Aku buru-buru, nih. Maaf, Gi. Kamu pulang sama Raza dulu, ya. Za, nitip Nagi. " pamit Rianti memelukku sekali lagi lantas bergegas pergi.
"Aku nggak dipeluk, Ri?" teriak Raza.
Rianti cuma melambaikan tangannya. Aku menghela napas lesu.
"Ayo balik, Gi." Raza menarik lengan kaosku. Dia menyeretku untuk mengikuti langkahnya.
[Ditaksir Mas Editor]
Nggak tahu sudah berapa lama aku bengong di depan laptop. Dua jenis lembar kerjaan berbeda kubuka dalam waktu bersamaan. Skripsi dan naskah novel. Aku bingung mau mulai yang mana duluan. Di satu sisi aku baper gara-gara Rianti bentar lagi mau wisuda dan Raza skripsinya sudah mau masuk bab empat. Aku semakin baper saat Mami memarahiku habis-habisan sore tadi. Nanyain kapan skripsiku beres. Untung saja nggak nanya kapan nikah. Bisa-bisa aku milih kabur dari rumah.
Di sisi yang lain naskah novelku harus dipermak tuntas sebelum aku serahkan minggu depan sama Mas Rhanu. Ya sudah, aku milih ngedit naskah saja.
Panjang umur sangat ya Tuhan. Barusan disinggung nih orang langsung nongol saja. Jam sepuluh malam. Tumben banget dia ngirim pesan jam segini. Kayaknya dia lagi kesepian makanya chat malam-malam sok beralasan nanyain kerjaan.
Mas Rhanu : Nagi, jangan lupa deadline naskahnya minggu depan.
Benar, kan. Aku mengabaikan pesan Mas Rhanu. Nggak usah didramatisir, aku ingat minggu depan itu deadline ngumpulin naskahnya. Lagian ini juga masih dalam proses edit. Nggak sabaran banget. Percaya, deh pasti bakalan selesai sesuai tanggal kesepakatan.
Pesannya nggak aku balas, lima belas menit kemudian dia ngirim pesan lanjutan.
Mas Rhanu : Kamu sudah tidur, Gi?
Akhirnya aku mengetik balasan biar dia berhenti bertanya.
Aku : Iya, Mas. Masih proses edit. Kan deadline masih minggu depan.
Kujauhkan ponsel dari jangkauan biar ngedit naskahnya bisa fokus maksimal. Sayangnya, bunyi notifikasinya bikin tanganku gatal pengin membuka pesannya.
Mas Rhanu : Lagi ngedit, ya? Mau saya temani?
Sepertinya situ yang butuh teman deh. Bukan aku. Merusak konsentrasi saja. Gimana aku bisa fokus kalau Mas Rhanu chat terus. Eh, tapi momen kayak gini nggak asing. Seolah aku pernah mengalami sebelumnya.
Pikiranku berpetualang ke masa silam. Ketika musim semesteran dan aku baru sempat belajar larut malam, Mas Rhanu pernah chat juga nawarin apa aku mau ditemani belajar. Padahal waktu itu dia sudah pacaran sama Cantika. Parah banget. Jangan bilang sekarang momennya terulang lagi. Di saat dia sudah punya pacar malah gangguin cewek lain.
Aku : Saya nggak butuh teman.
Mas Rhanu : Kalau teman hidup?
Gila!
Nggak ngerti lagi aku sama Mas Rhanu ini. Aku mematikan ponsel. Menyimpannya di dalam lemari untuk memaksimalkan konsentrasi.
Yogyakarta, 1 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top