02. Pura-pura
Ketemu lagi?
Seketika tubuhku membeku. Kalau dia bilang seperti itu berarti dugaanku benar. Laki-laki yang duduk di seberangku ini adalah Rhanu, kakak tingkatku. Laki-laki yang kuakui sangat gigih sekaligus loyal. Eh, tapi kok dia bisa jadi editor fiksi? Melenceng banget sama jurusan kuliahnya bahkan nggak ada nyambung-nyambungnya. Kuliahnya Akuntansi kerjanya jadi editor fiksi.
Nggak heran, zaman sekarang sih jurusan nggak berpengaruh. Yang penting habis lulus bisa kerja apapun tipe pekerjaannya. Tetanggaku saja ambil kuliah kebidanan akhirnya nyantol juga jadi teller bank swasta ternama. Yang penting kerja halal, katanya.
Aku mengaduk-aduk ingatan. Barangkali ada kepingan kenangan yang tertinggal di angan. Pantas saja, dulu Mas Rhanu pernah jadi wartawan kampus. Sering menang lomba karya tulis ilmiah sampai tingkat nasional, dan dia juga salah satu pelopor penggerak dunia literasi kampus. Kayaknya Mas Rhanu lebih cinta sama passionnya. Eh, tapi masa sih dia beneran Mas Rhanu yang 'itu'? Aku masih ragu.
"Nagi, kapan kamu mau serahkan naskah utuhnya sama saya?" tanya Mas Rhanu memberantakkan imajinasiku.
Tuh, kan. Cuma orang-orang tertentu yang manggil aku dengan nama Nagi. Keluargaku dan teman-teman dekatku. Biasanya orang kebanyakan memanggilku Nagita atau Gita. Cluenya semakin terkuak. Tidak diragukan lagi bahwa editor yang bakal megang naskahku ini adalah seseorang yang sempat bikin aku pusing bertahun-tahun lalu.
"Nagi?"
"Ya? Maaf, tadi Mas Rhanu bilang apa?"
"Tetep saja kamu masih nggak fokus. Orang akan malas bicara sama kamu kalau kamunya nggak peduli kayak gitu, Gi," decak Mas Rhanu bersandar di punggung kursi sembari bersidekap menatapku tajam.
"Sebentar, kayaknya ada yang nggak beres di sini. Tolong sebelum kita membahas naskah, Mas Rhanu bisa jelasin dulu sama saya. Maksudnya 'akhirnya kita ketemu lagi' itu apa ya? Emangnya sebelumnya kita pernah kenal gitu?" tanyaku menahan kesal. Aku sedikit membusungkan dada memasang gestur songong. Emangnya cuma kamu saja yang bisa songong, Mas.
Mas Rhanu terlihat menarik napas dalam-dalam. Jemarinya terketuk di atas meja, tidak memindahkan pandangannya dariku. "Kamu beneran nggak tahu atau sengaja nggak tahu?"
Mataku setengah melotot. Kedua tanganku terkepal di bawah meja. Rasa gugup yang menyelimuti diriku menjelma menjadi rasa dongkol tak terhingga. Apaan, sih? Kenapa orang ini jadi ngeselin, ya.
"Oke, kalau kamu maunya gitu. Kamu milih pura-pura nggak kenal sama saya, maka saya juga akan pura-pura nggak kenal sama kamu. Yang penting buat urusan kerjaan kita harus profesional. Kamu harus nurut sama saya. Untuk urusan naskah saya harap kamu bisa kesampingkan idealis yang selalu kamu junjung itu," ucap Mas Rhanu santai. Nadanya rendah, tapi penuh penekanan.
"Lho, saya kan emang nggak tahu makanya saya nanya. Ini gimana sih kok jadi simpang siur begini," sungutku mengentakkan kaki.
"Ya sudah. Gimana kalau kita bikin kesepakatan aja, Nagi. Kita lupakan saja semuanya dan memulai dengan hal baru. Oke?"
Berdasarkan perkataannya yang ribet dan muter-muter barusan sudah dipastikan lelaki ini memang punya keterkaitan dengan seseorang yang pernah menorehkan kenangan nggak bermanfaat di masa laluku. Ternyata semakin tua Mas Rhanu bukannya nambah bijak, tapi malah semakin menyebalkan. Mentang-mentang dia editorku terus seenak bokongnya mau balas dendam gitu dengan mengambing hitamkan naskahku.
Aku berkata lirih. "Saya sih biasa saja. Kalau memang Mas masih marah sama saya itu urusannya Mas. Lagian sudah lama banget masa dendam sampai segitunya. Untung saja Mas Rhanu nggak pakein saya guna-guna."
"Saya nggak dendam. Cuma tiba-tiba teringat sejak saya baca naskah kamu di platform online itu. Saya berasa kenal sama beberapa adegan yang kamu tulis. Setelah saya lihat biodata penulisnya ternyata kamu. Ya bener saja. Saya tersanjung, nggak nyangka kamu yang bilangnya nggak suka malah menempatkan saya sebagai pemeran utama," sahut Mas Rhanu mengedikkan bahu.
Menautkan kedua tangan, aku menunduk memandangi sepatu baruku yang kubeli di mal hasil berburu barang diskon. Cerita yang aku tulis nggak seluruhnya nyata. Aku cuma ngambil beberapa adegan yang beneran kejadian saja. Inti ceritanya mirip sama pengalamanku, tapi nggak semuanya. Kurasa kebanyakan penulis pada ngambil sebagian kisah hidup mereka buat dijadikan bahan tulisan terus dikembangkan sesuai kebutuhan.
"Jadi kamu beneran Mas Rhanuraga Basudewa?" tanyaku ragu-ragu melirik kepadanya.
"Kalau iya, kenapa?" jawabnya dengan senyuman tengil menyebalkan.
"Ya nggak papa. Tinggal bilang gitu saja susahnya kebangetan pake kode-kode segala. Dipikir lagi ekskul pramuka apa," sahutku ketus.
"Bukannya kamu suka kode-kodean, ya?"
Aku berdecak.
Berarti selama dalam jangka waktu ke depan yang belum ditentukan, aku bakal menjalin komunikasi intensif dengan Mas Rhanu. Bukan pertanda baik, tapi gimana lagi. Dia terikat tanggung jawab pekerjaan mengurusi naskahku.
"Kapan kamu mau menyerahkan naskah utuhnya sama saya?" ulang Mas Rhanu.
"Saya edit dulu, Mas. Kalau sudah beres ntar langsung saya kasihin Mas."
"Kapan? Saya butuh tanggal pastinya biar nggak keteteran. Soalnya naskah kamu dijadwalkan terbit akhir tahun ini."
"Oh, lumayan cepet juga."
"Tapi nggak menutup kemungkinan jadwal terbitnya bisa dimajukan atau malah mundur jadi tahun depan."
"Kasih saya waktu sebulan buat ngedit, Mas."
"Kelamaan, Gi. Sudah kamu tamatin, kan? Dua minggu, deh."
"Jangan, dong. Tiga minggu gimana?"
"Oke," ucap Mas Rhanu setelah menatapku cukup lama sambil menimbang-nimbang tawaranku.
"Oya, nomormu berapa? Biar kita gampang komunikasinya."
Mas Rhanu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dilihat dari casing yang kinclong kayaknya itu ponsel keluaran terbaru. Pasti dia barusan beli. Diam-diam aku memperhatikannya. Bukan memperhatikan ponselnya, tapi orangnya. Sepintas penampilannya memang beda. Air mukanya lebih segar, auranya terpancar membuatnya makin sedap dipandang. Bisa gitu, ya. Lama nggak terdeteksi dari peredaran selalu memberikan kejutan setiap dihadapkan kembali kepada pertemuan.
Mataku menelusuri jari-jarinya ternyata nggak ada cincin melingkar di sana. Berarti Mas Rhanu masih single atau dia memang sengaja nggak pakai cincin biar disangka masih available. Ah, lagian apa urusanku dia masih available atau nggak.
"Berapa nomormu, Gi?"
Aku menyebutkan angka identitas nomor ponselku.
"Nanti kalau kamu sudah kasih naskah utuhnya biar segera diproses sekalian kita atur jadwal buat bimbingan. Sebenarnya kondisional, tapi kan lebih enak saja kalau terjadwal." Mas Rhanu berkata sambil menekan tombol angka sesuai yang aku diktekan. "Saya sudah SMS nomornya ke kamu, ya."
Aku mendengkus. Dia bilang bimbingan aku jadi ingat skripsiku yang nggak kelar-kelar. Nggak di sini nggak di kampus diingetin mulu sama perkara tugas akhirku. Apa dia tahu aku ini mahasiswa semester tua yang lagi bermasalah sama skripsi? Sengaja nyebut bimbingan biar aku merasa tersinggung gitu.
"Kayak skripsi saja pake bimbingan, Mas," cetusku sedikit mencebik.
"Lhaiya. Skripsi saja pake bimbingan apalagi hati," balas Mas Rhanu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.
"Hati?" gumamku heran.
"Iya, Gi. Seperti skripsi, hati kamu juga perlu dibimbing."
Sumpah, ya. Nih orang kayaknya sengaja bikin aku emosi. Bagaimanapun aku harus tetap tenang. Aku harus jadi anak baik biar langkahku nggak dipersulit sama manusia satu ini. Setidaknya aku berusaha menyabarkan diri sampai novelku dicetak. Habis itu aku nggak mau punya urusan lagi sama dia. Sabar, Gi. Orang sabar bokongnya lebar.
"Saya bisa bimbing hati saya sendiri nggak perlu bantuan orang lain! Apalagi Mas Rhanu yang bimbing, dih."
"Kalau kebetulan orangnya saya gimana?"
"Katanya sudah nggak mau bahas itu lagi. Ngikutin prosedur saja deh, Mas. Saya nyediain tulisan, kamu yang ngereview. Masalah di luar itu nggak usah ngiku-ngikut. Kamu sendiri yang bilang mau lupain dan memulai dengan hal baru, kan."
Mas Rhanu terdiam. Dia beranjak lantas berpindah duduk di sebelahku. Aku menggeser kursi ke kiri biar jarak kami nggak terlalu mepet. Aku pengin keluar dari tempat ini. Waktuku habis sia-sia buat pembicaraan yang nggak bermakna.
"Kamu bisa lupa?" tanyanya menatapku.
Aku menggeleng. "Nggak, tapi saya usahakan."
"Oke. Saya juga akan berusaha," sahut Mas Rhanu menepuk pipiku. Membuatku terperanjat.
Sementara aku mencemberuti nasib sialku, Mas Rhanu menerima panggilan dari ponselnya. Aku bersyukur ketika Mas Rhanu bilang harus bergegas. Berarti aku segera terbebas dari situasi absurd ini.
"Kita lanjutkan lain kali. Tamu saya sudah datang. Kamu kabari saya kalau naskahnya sudah siap, ya."
"Oke, Mas." Akhirnya kelar juga urusan hari ini.
Aku dan Mas Rhanu berjalan bersisihan keluar ruangan. Dia bilang tamunya nunggu di lobi makanya sekalian jalannya barengan sama aku. Keheningan mengiringi perjalanan kami sampai lobi. Baik aku atau Mas Rhanu nggak ada yang mau bicara. Akunya sudah malas sedangkan Mas Rhanu mungkin merasa percuma mengajakku bicara.
Sampai di lobi, kulihat seorang wanita cantik berbodi aduhai langsung berdiri. Perawakannya kayak model-model cantik banner iklan yang dipampang di pinggir-pinggir jalan. Dia tersenyum lebar ke arah Mas Rhanu. Mas Rhanu membalasnya dengan lambaian tangan.
Make upnya tebel banget. Tapi bukannya terlihat norak malah dandanannya itu bikin dia memesona berkharisma. Jadi minder melihat diriku sendiri yang mukanya polosan cuma disapu sama bedak tipis banget. Jangankan mau dandan cetar, bedain antara blush on sama eye shadow saja aku nggak paham. Aku meneguk ludah. Gila, cakep banget. Berarti kriteria ceweknya Mas Rhanu sekarang itu harus wajib dandan. Peningkatan yang luar biasa.
"Pacarnya Mas Rhanu," gumamku tanpa sadar.
"Kenapa, Gi? Kamu nyesel dulu pernah nolak saya?" bisik Mas Rhanu sedikit memiringkan kepalanya padaku.
Dalam hati aku mengumpat.
[Ditaksir Mas Editor]
Yogyakarta, 27 Mei 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top