Distraction 10
Hujan deras turun semenjak pagi. Memaksa orang-orang untuk tidak melakukan perjalanan dan mengurung mereka di satu tempat untuk berteduh. Mereka sedang berada di dalam perjalanam pulang ke rumhnya setelah kunjungannya ke rumah sang kakek.
Kunjungan kali ini ke rumah kakeknya mungkin tidak semenyenangkan kunjungan sebelumnya karena Arabela yang tiba-tiba jatuh sakit dan merengek untuk segera pulang. Daniel tahu bahwa kakeknya mencemaskan keadaan Arabela dan merasa bahwa sebaiknya Arabela di rawat di tempatnya. Namun Arabela terus merengek dan merengek hingga akhirnya ayah dan ibunya mengabulkan permintaan kakaknya.
Sore itu mereka langsung melakukan perjalanan ke marquessate of Riverdale hanya untuk menemukan bahwa Arabela telah menggigil dengan hebatnya di dalam pelukan sang ayah. Gerimis kecil pun turun seolah menjadi pertanda bahwa sebaiknya mereka menepi dan bermalam di sebuah penginapan kecil tidak jauh dari hutan yang baru saja mereka lewati.
Malam itu terasa panjang. Kedua orang tuanya tidak tertidur sama sekali dan selalu siaga untuk mengawasi Arabela. Ketiadaan dokter membuat mereka kalang kabut dan yang bisa mereka lakukan adalah membuat Arabela tetap hangat. Kakak sulungnya, Phineas juga sama paniknya. Terlihat seperti sudah kehilangan akal ketika Arabela menjadi sakit sementara Daniel yang saat itu berusia lima belas tahun hanya bisa terdiam dan mengamati segalanya.
Daniel pergi ke dapur. Meminta pelayan membuat ramuan yang akan membuat Bela membaik dengan herbal yang Daniel tahu. Daniel juga lah yang memastikan bahwa selimut untuk Bela harus dihangatkan setiap satu jam sekali. Dirinya juga memastikan Phineas dan kedua orang tuanya menghabiskan makanannya. Mungkin dalam keadaan panik di malam itu, hanya Daniel lah yang tetap bersikap tenang dan bisa berpikir dengan tepat. Dan itu membuat Daniel bangga sekaligus sedih. Bukankah untuk orang normal, dirinya seharusnya bertindak bodoh dan menggila seperti Phineas? Bukankah Bela juga saudaranya? Namun dirinya tidak bisa melakukan itu. Daniel tahu bahwa dirinya harus bersikap bijak. Sejak dulu dia memang begitu. Sejak dirinya tahu bahwa bukan Phin yang akan mewarisi gelar dari ayahnya, melainkan dirinya.
"Kita harus menemukan dokter," gumam Wilona tersiksa. Tubuh Arabela tidak lagi menggigil, namun napasnya terdengar berat dan kepayahan.
"Aku akan mencarinya, Sayang."
Wilona menggeleng. "Tidak. Kita harus segera membawa Bela pergi dari sini."
"Tetapi hujan masih turun," gumam Daniel pelan lebih kepada dirinya sendiri.
"Baiklah. Aku akan menyiapkan kereta," ujar sang ayah tegas sebelum ia keluar dari kamar hangat itu. Tiga puluh menit kemudian, mereka telah siap dengan Bela yang tertutup rapat oleh selimut yang membungkusnya.
"Ayo," ajak Phineas sembari mengawal ibunya sementara sang ayah menggendong Arabela di pelukannya.
Mereka telah menaiki kereta itu. Bersiap untuk berangkat ketika mata Arabela terbuka dan mengatakan bahwa dirinya kelaparan.
"Aku akan mencari makanan di dalam," ujar ayahnya. "Tunggu di sini dan jangan ada yang keluar. Banyak orang akan membuat kereta tetap hangat."
Phineas mrngangguk. Sementara otak Daniel menghitung kalkulasi beban yang akan kereta mereka bawa ketika sudah berjalan. Benar bahwa panas dari tubuh menusia akan menyebar. Namun laju kereta yang pelan akan membuat Arabela tersiksa.
Ketika Daniel sedang sibuk dengan pikirannya, dia melihatnya. Sebuah tubuh kurus yang berdiri di tengah hujan. Menatap langit di atas bangunan penginapan yang baru saja mereka tinggalkan.
"Ada apa, Dani?" tanya Phineas yang kemudian sama tercekatnya dengan Daniel.
"Di- dia-"
"Peri hujan," guman Daniel tidak sadar.
"Itu bukan peri hujan. Dia gadis kecil yang gila," komentar Phineas.
Daniel mengernyit. Mengamati tubuh mungil yang masih terdiam. Gaunnya yang berwarna putih menempel di tubuhnya sangat kontras dengan rambut hitamnya. Kemudian, ketika beberapa waktu Daniel masih mengamatinya, gadis itu menoleh dan memperlihatkan netranya yang sewarna padang lavender namun sayangnya terlihat sedih dan takut. Bibirnya sudah membiru dan Daniel tahu bahwa jika seseorang tidak menyeret gadis itu untuk berteduh, dia bisa saja terkena radang paru-paru atau hipotermia. Yang mana pun tidak akan menyenangkan.
Seolah tubuh Daniel memiliki pikirannya sendiri, ia bergegas keluar. Mengabaikan teriakkan Phineas dan ibunya yang menyuruhnya untuk tetap tinggal. Daniel tidak menurut. Untuk satu kali ini, Daniel mengabaikan apa yang keluarganya ucapkan padanya. Satu hal yang di luar kebiasaan baginya.
Langkah kaki lebarnya terus mendekati gadis itu. Ia kemudian merengkuh kedua bahu gadis itu. Berlutut di hadapannya dan membawa wajah mereka sehingga saling menatap.
Dan dalam satu detik, Daniel merasa bahwa jiwanya terhisap ke dalam netra violet yang berada di depannya. Merasa pilu ketika melihat kesedihan di sana dan terpesona di saat yang sama ketika melihat wajah peri hujannya yang sangat cantik.
"Apa yang kau lakukan?" teriaknya keras berusaha mengalahkan suara hujan.
"A-aku..." gadis itu hanya mengerjap. Suaranya bergetar karena dingin, takut, dan cemas.
"Aku tidak akan menyakitimu. Tetapi kita harus menepi," ujar Daniel lagi kali ini sembari menyeret gadis itu ke depan penginapan yang baru saja mereka tinggalkan.
"Bela meninggalkan beberapa pakaian yang kurasa bisa kau kenakan. Siapa namamu?" ucap Daniel masih menggenggan tangan mungil di depannya.
"Daniel, apa yang kau lakukan?" tanya sang ayah yang baru saja akan kembali ke kereta mereka. Di tangannya terdapat buntalan yang dirinya yakin berisi makanan.
"Papa, aku... Dia..." jawab Daniel bingung.
Jeremi lalu melihat gadis mungil yang tampak menggenaskan bersembunyi di belakang Daniel. Dan sebagai seorang ayah, Jeremi cukup mengerti apa yang telah putranya lakukan saat ini. Jika situasinya lebih baik, dengan kedua tangannya sendiri ia pasti akan menolong gadis itu. Tetapi...
"Daniel," peringat Jeremi.
"Pa..." mohon Daniel dengan satu ucapan pendeknya. Matanya memohon dan itu belum pernah Daniel lakukan selama ini.
Kemudian, Phineas datang dan menyela mereka. "Kusir bilang bahwa akan lebih baik jika kita mengurangi muatan. Akan lebih baik jika Papa, Mama, dan Bela segera berangkat. Kami akan menyusul begitu kami mendapatkan kereta lainnya."
"Phin-"
"Bela menunggu makanannya, Papa. Dan Mama juga sudah menunggu Papa agar cepat berangkat."
Jeremi lalu menatap kedua putranya bergantian. Menyadari bahwa mereka telah beranjak dewasa dengan cepat dan bisa untuk dirinya percayakan akan perjalanan pulang yang harus mereka tempuh.
"Segera lah pulang," pesan Jeremi sebelum dirinya segera masuk ke dalam kereta. Dengan cepat pula kusir segera memacu kereta kuda itu hingga Arabela segera bisa memperoleh pengobatan terbaik dari dokter pertama yang mereka temukan.
Sementara Daniel mengurus gadis itu. Memberinya pakaian kering dan makanan tanpa banyak bertanya. Menyuruh gadis itu beristirahat sementara Phineas sibuk mencari kereta kuda untuk mereka.
"Terima kasih My Lord," gumam gadis itu ketika malam telah datang. Hujan telah berhenti dan Daniel bisa mendengar suara lembut dan jernih dari gadis yang ia tolong.
"Apa yang telah terjadi kepadamu?"
Mata gadis itu membulat sempurna. Dia hanya menggeleng dan bungkam. Kemudian membalik tubuhnya untuk memunggungi Daniel yang menghela napas lelah.
"Beristirahatlah dan besok aku akan mengantarmu pulang."
Tubuh gadis itu menegang untuk sesaat. Dia tidak ingin kembali ke tempat itu jika hanya untuk mendapatkan tekanan berat dengan berlatih dan berlatih memainkan banyak alat musik. Dirinya bukan mesin dan seharusnya tidak pantas diperlakukan seperti itu.
"Daniel. Aku mendapatkan sebuah kereta dan kita bisa kembali besok pagi," teriak Phineas begitu membuka pintu kamar mereka.
"Bagus, Phin."
Phineas mengangguk. Dia lalu melihat gadis yang kini sedang terbaring dan memunggungi mereka.
"Bagaimana dia?"
"Dia sudah tidak apa-apa. Apapun yang sedang dia hadapi, aku tahu bahwa sebenarnya dia gadis yang kuat," jawab Daniel yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya dan juga kakaknya. Daniel lalu mengernyit. Menatap tubuh gadis itu yang bernapas dengan teratur. Sepertinya dia memang telah tertidur.
Kerutan di wajah Daniel semakin dalam. Ia tidak mengerti mengapa dirinya melakukan hal seperti ini untuk gadis yang tidak dirinya tahu. Mereka bahkan baru sekali bertemu. Namun ada sesuatu yang dimiliki gadis itu yang tanpa sadar seolah menarik Daniel untuk menyelamatkannya. Menjaganya tetap aman. Melindunginya karena sepertinya hanya dia yang bisa melakukan hal itu di dunia gadis itu. Tanpa sadar, Daniel mengulas senyum kecil.
"Kau juga harus beristirahat karena sepertinya kau mulai terlihat payah setelah mengurusi kami. Maafkan aku," tukas Phin yang menarik lengan Daniel agar mengikutinya turun. Memakan sup hangat yang Phin minta untuk adiknya yang tangguh. Sepertinya peran mereka tertukar dan bukan kali ini saja hal itu terjadi.
Phin selalu ingin menjadi kakak yang baik untuk adik sempurnanya. Walaupun itu sulit karena menjadi sempurna bukanlah sifat Phineas.
Kemudian, ketika pagi datang dan gadis mungil itu pergi, Phin tahu bahwa ada sesuatu yang ikut pergi bersama dengan Daniel. Bibinya pernah menceritakan mengenai ia yang mencintai suaminya sejak dirinya kecil dan sepertinya, pertemuan singkat Daniel dengan peri hujannya telah membuat Daniel mengalami hal yanyg sama.
Sekilas, Daniel seolah bersikap normal. Namun keengganannya untuk berbasa basi dengan wanita jelas di sebabkan oleh apa yang dia alami di hari itu.
Dan saat ini...
"Mengapa kau pergi?" tanya Daniel setelah satu pagutannya yang panjang di bibir manis Tatiana. Ia telah membawa tubuh Tatiana terbaring di atas sofa yang besar dengan tubuhnya yang menjulang di atasnya.
Mata Tatiana mengerjap-ngerjap. Pikirannya tumpul dan dia memerlukan jeda agar fungsi otaknya bisa berjalan. Mengapa dirinya pergi? Ulang Tatiana di dalam pikirannya.
"Karena aku bisa," jawab Tatiana yang membuat Daniel menggeram kesal.
"Jadi, kau akan melakukannya berulang kali? Datang dan pergi semaumu seumur hidupmu?" tanya Daniel dengan netranya yang tidak lepas dari wajah Tatiana. Dia terlihat merana dan terluka. Dan Tatiana tidak menyukai pemandangan yang ada di hadapannya.
"A-aku..." jawab Tatiana tergagap.
Jantung Daniel terasa mencelos keluar dari rongga dadanya. Ia lalu segera bangkit meninggalkan Tatiana yang kemudian merasa kehilangan.
Daniel menyugar rambutnya. Merogoh kantong celananya dan menemukan kalung bermata rubi di sana. Ia mengambilnya dan menggantungnya di depan Tatiana.
"I-itu-"
"Milikmu, kan? Sesuatu yang sengaja kau tinggalkan untuk menyiksaku."
Tatiana menggeleng dengan cepat. Dia berdiri dan segera mendatangi Daniel. "Aku tidak berniat menyiksamu," bisiknya.
"Tetapi kau selalu melakukannya, bukan? Karena kau bisa? Datang dan pergi sesukamu. Membuatku terluka sama halnya yang kau lakukan sepuluh tahun yang lalu."
"Daniel-" suara Tatiana tercekat.
Daniel kembali menyugar rambutnya. Meletakkan kalung itu di atas sofa. "Pergilah dan jangan datang lagi ke dalam hidupku. Aku tidak ingin merasakan hal itu lagi untuk ketiga kalinya."
Tubuh Tatiana membeku. Ketiga kalinya dia bilang. "Daniel, kau mengingatku?"
Daniel mengangguk. "Tetapi bukankah itu tidak ada gunanya karena kau akan menikah dengan orang lain, huh?"
"Tetapi-" Tatiana menelan ludahnya susah payah. "Bagaimana jika ucapanmu benar. Bagaimana jika aku mengandung anakmu?"
Daniel tertawa. "Apakah kau hamil saat ini?"
"Tidak."
Tawanya menghilang. "Jadi, mengapa kau harus menikah dengan pria lain jika kau mencintaiku?"
"Daniel, itu... Aku..."
Daniel menarik napas panjang. "Pulanglah. Kita telah selesai," ucap Daniel kalah.
Bahu Tatiana merosot. Secara perlahan dia mulai melangkah hingga mencapai bibir pintu di mana mereka berada. Ia kemudian berbalik dan segera mengangkat tinggi dagunya.
Pria ini benar-benar!
"Kau bilang bahwa kita akan berbicara! Dengan kau yang terus-terusan mengeluarkan omong kosong dan tidak membiarkanku menjelaskan bukanlah sebuah pembicaraan, Daniel!" bentaknya keras. Ia lalu menarik tangan Daniel sehingga mereka saling berhadapan.
"Dengar! Bukan aku yang akan menikah dengan Mr. Hendon! Dan aku, sama sekali tidak ingin nenyakitimu, Daniel!"
"Maka jangan pergi lagi dariku! Jangan melakukannya hanya karena kau bisa!"
"Apakah kau pikir aku bisa jika setiap detiknya kau berada di dalam kepalaku, huh?"
"Kalau begitu, mengapa kau pergi?"
"Karena kau membenciku! Karena di matamu aku adalah wanita yang hina, Daniel!"
Napas Daniel memburu. Itu benar. Apa yang dikatakan wanita itu benar dan kali ini, dia memang bersalah.
Tubuh Daniel meluruh. Dia lalu bersimpuh di depan Tatiana dan memeluknya erat.
"Maafkan aku..."
Tatiana mendongakkan wajahnya. Berharap air matanya tidak akan turun dan mengalir di pipinya.
Oh Tuhan. Ia ingin Daniel memandangnya dan meminta maaf kepadanya. Tetapi tidak dengan berlutut seperti ini.
"Daniel..."
"Maafkan aku. Tetapi jangan pergi lagi karena aku merasa kosong tanpamu..." gumamnya di perut Tatiana.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top