Suami istri
[Jadi kamu masih di depan laptop? Padahal ini malam pertamamu, Bro!]
Jendra menarik miring bibirnya membaca pesan dari Ardi. Malam pertama? Dia bahkan tidak berani membayangkan apa yang terjadi seperti layaknya pengantin pada umumnya. Kejadian lampau sudah benar-benar membawa Jendra pada titik sesal yang hingga kini belum berujung.
Belajar dari pengalaman hidup itulah dia kini sangat selektif menentukan langkah, meski lebih terkesan egois karena Jendra tidak ingin masa lalunya masuk ke masa depannya. Rejendra benar-benar ingin menghapus bagian itu dengan kerja keras dan membahagiakan kedua orang tuanya.
Akan tetapi, sekali waktu muncul keinginan untuk tahu siapa perempuan malam itu. Perempuan yang untuk pertama kalinya dia melakukan hal yang sama sekali di luar kuasanya. Semua itu karena minuman yang awalnya hanya untuk challenge dan bersenang-senang semata. Sama sekali tidak memikirkan bahwa apa saja bisa terjadi.
Malam itu setelah melakukan hal yang tak selayaknya, dia pergi begitu saja dan masih dengan kondisi sakit kepala yang sangat. Jendra bahkan tidak sempat menatap wajah perempuan yang tergeletak lemas di ranjang kala itu karena lampu kamar sangat remang dan masih dini hari.
[Udah deh, Jen! Sana ke kamar! Kamu nggak penasaran?] Kembali pesan masuk dari Ardi.
[Kamu sendiri? Kenapa belum tidur? Susah emang ya jomblo!] Seringai kecil Jendra tampak ketika membalas pesan Ardi.
[Ngeledek aja terus! Itu istri cantik jangan dianggurin! Ntr nyesel!]
Jendra tertawa kecil kemudian mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Pria itu lalu bersandar dengan meletakkan kepala di bahu kursi.
Dia memang baru saja mengenal Renata, tetapi entah ada sisi dirinya yang merasa perempuan pernah berjumpa dengannya. Di mana? Entah, dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Malam semakin larut, Rajendra merapikan berkas yang berserakan, menutup laptop lalu bangkit melangkah meniti anak tangga yang membawanya ke kamar.
Lampu remang-remang tak mengurangi pandangannya pada sosok perempuan yang tengah bergelung selimut di ranjangnya. Aroma bunga khas kamar pengantin membuat mood siapa pun akan berubah nyaman. Perlahan dia menutup pintu kamar dan menguncinya. Dengan langkah satu-satu dia mendekat lalu duduk di bibir ranjang.
Mengamati paras sang istri yang terlelap membuatnya tersenyum. Baru kali ini dia benar-benar bisa menatap lekat wajah Renata. Pahatan sempurna telah diciptakan Tuhan untuk istrinya.
Setelah lama mengamati wajah sang istri, muncul pertanyaan kenapa perempuan itu begitu saja mau menikah dengannya? Apakah murni karena mengikuti keinginan orang tua atau ada hal lain? Karena menurut Jendra, perempuan secantik Renata tidak mungkin begitu saja mau. Dengan paras seperti itu, rasanya tidak mungkin Renata tidak memiliki kekasih. Atau apakah istrinya itu sudah mengetahui siapa dia? Atau jangan-jangan Renata memiliki rencana yang dia tidak tahu? Tapi apa?
Beragam pertanyaan mulai hadir di kepalanya, tetapi cepat Jendra menggeleng.
"Aku pikir dia memang perempuan baik-baik karena tentu Papa tahu seperti apa yang aku inginkan," gumamnya seraya merebahkan tubuhnya di ranjang di samping sang istri.
Malam itu berlalu begitu saja. Keduanya terlelap pada mimpi masing-masing
**
Jendra tengah menikmati kopi paginya di balkon saat Renata baru saja keluar dari kamar mandi. Satu dari kekurangan Renata adalah dia agak sulit bangun pagi terlebih jika dia kelelahan. Sementara Rajendra, sejak memilih mengubah hidup, dia tertib dan selalu bangun pagi meski tidur larut malam.
Melihat suaminya sudah kembali asyik dengan pekerjaan dan sudah rapi, Renata merasa tidak nyaman. Masih dengan memakai bathrobe dia mendekat.
"Hai, pagi," sapanya mencoba membuka pembicaraan.
"Pagi." Jendra menoleh sebentar kemudian kembali ke layar tujuh belas inci di pangkuannya.
"Maaf, aku kesiangan."
"It's oke! Di sini bukan asrama yang mengharuskan kamu bangun pagi," timpalnya.
Renata sedikit mendengkus mendengar jawaban suaminya.
"Aku tahu, next aku harap kamu nggak keberatan membangunkan aku, eum ... supaya aku bisa menyiapkan kopi pagimu," jelasnya dengan mengulas senyum.
Jendra menoleh dan hanya menaikkan alis, tetapi matanya memindai penampilan Renata yang masih mengenakan baju mandi dan rambut sedikit basah.
"Kamu mau pakai itu sepanjang hari?" tanyanya, "ada baju lain, kan?"
Kali ini pipi Renata dibuat merah oleh pertanyaan Jendra. Bergegas dia mundur dan berlari kecil kembali masuk ke kamar mandi. Melihat tingkah istrinya, Jendra tertawa kecil seraya menggeleng pelan.
**
"Non nggak bisa masak?" tanya Sundari ramah saat Renata bercerita tentang dirinya yang harus belajar masak.
"Nggak, Bik. Saya sebenarnya pengin bisa masak, tapi ... kadang Mama melarang saya di dapur," keluhnya.
"Kenapa?" Kening Sundari mengernyit menatap istri tuan mudanya.
"Mama bilang kalau saya ikut masak, makin rusuh dan nggak bakal selesai-selesai," jelasnya dengan senyum.
Sundari terkekeh, kemudian mengangguk.
"Non mau saya ajari masak?"
Renata mengangguk antusias.
"Mau, Bik! Masak apa kita hari ini?"
Sundari tampak berpikir sejenak.
"Tapi, Non, Non, kan baru saja menikah kemarin, nggak pantes aja kalau harus sibuk di dapur! Nanti apa kata Mas Jendra?"
"Nggak apa-apa, Bik. Lagian saya belajar masak juga buat suami, kan?"
"Iya juga ya, Non." Sundari membalas senyuman Renata.
"Eh tapi, Non!"
"Kenapa lagi, Bik?"
"Kalau Mas Jendra nggak ngebolehin ... Non kudu nurut loh ya," tuturnya dengan nada khawatir.
"Bibik tenang aja. Saya tahu kok apa yang harus saya lakukan."
Menghela napas, Sundari mengangguk kembali. Lalu dengan cekatan dia menggeser sayuran di depannya ke dekat Renata. Perempuan paruh baya itu memberi contoh bagaimana memotong brokoli dan wortel.
"Mas Jendra itu sangat suka sayuran. Dia nggak mau makan kalau nggak ada sayur di meja," paparnya.
'Oke! Kita berbeda, Jendra. Aku nggak suka dengan segala macam sayuran!' batinnya bermonolog.
"Mas Jendra itu tidak suka sarapan pagi yang berat. Dia lebih suka minum kopi pahit dan roti gandum saja, Non." Suara Sundari mengalihkan lamunannya. "Tapi terkadang juga jus atau susu tanpa lemak."
"Jadi dia nggak makan nasi atau buah saat pagi hari, Bik?"
Sundari menggeleng seraya tersenyum.
"Itu kebiasaannya, Non."
"Tapi kopi, kan nggak bagus kalau ...."
"Siapa bilang nggak bagus?" Jendra tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka dengan senyum samarnya. "Kopi Arabika adalah jenis kopi yang aman bagi lambung karena kadar kafein di dalamnya lebih rendah, kandungan kafein tinggi memang bersifat racun dan lambung memiliki batas tertentu untuk mentolerir kafein."
Renata menarik napas dalam-dalam menoleh ke pria yang tengah membuka lemari es tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Bik, ajari dia bikin jus buah. Aku yakin dia nggak bisa!" Jendra menatap sang istri setelah menutup kembali pintu kulkas. "Betul, kan? Kamu nggak bisa?"
Menelan ludah, Renata mengangguk kecil.
"Iya, Mas. Ini tadi juga Non Renata minta diajari masak. Iya, kan, Non?"
Kembali Renata mengangguk seraya tersenyum.
"Good!" Jendra kemudian melangkah menjauh.
Sundari lalu menatap Renata yang masih menatap punggung sang suami yang menghilang di balik pintu keluar.
"Mas Jendra memang begitu, Non. Dia terlihat tidak bersahabat, tetapi sebenarnya dia sangat baik."
"Dia kini sudah sangat jauh berubah, Non," imbuhnya dengan mata menerawang.
Renata menoleh. Dengan kening berkerut dia bertanya, "Maksudnya, Bik?"
Sundari tersenyum lebar kemudian cepat dia menggeleng.
"Sebaiknya kita lanjutkan belajar masaknya yuk, Non!" tuturnya mengalihkan pembicaraan.
**
Sundari tersenyum melihat Renata menata hidangan makan siang sedemikian rupa di meja.
"Gado-gado salah satu makanan favorit Mas Jendra, Non," terang Sundari.
Perempuan berbaju panjang berwarna abu-abu itu tersenyum.
"Non juga suka sayur?"
"Nggak, Bik! Saya nggak suka sayur," sahutnya. "Tapi kalau buah saya suka!"
Sundari mengangguk paham.
"Biasanya kalau sering lihat orang makan sayur, akan terbiasa dan akhirnya ikutan suka sayur juga, Non!"
Renata mengangguk. "Sudah saatnya makan siang, Bik. Eum ... apa dia juga makan siang tepat waktu?"
Sundari mengangguk.
"Apa dia akan ke ruang makan sendiri atau dipanggil?" tanyanya serius, "apa nggak apa-apa kalau saya mengganggu waktunya untuk mengajak dia makan siang?"
Kali ini perempuan paruh baya itu tertawa kecil.
"Non ini istrinya, kenapa seperti itu, Non?"
"Seperti itu gimana, Bik?"
"Non Renata bukan pelayan di sini. Non bebas kapan pun mengajak Mas Jendra ke mana pun. Lagian ini kan masa bulan madu, Non dengan Mas Jendra?"
Mata Renata membeliak mendengar kata bulan madu. Bulan madu? Benarkah dia sedang berbulan madu? Ataukah saat ini dia justru seperti seorang perempuan yang sedang magang untuk menjadi istri yang layak di mata pria dingin itu?
**
Heloo ... semoga semuanya sehat yaa. Terima kasih sudah berkunjung. Colek jika typo 🤭 salam hangat 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top