Sesal
Napas Jendra naik turun saat tiba di kantor Ranu. Menurut asistennya pria itu sedang berada di luar kota. Berkali-kali dia mencoba menelepon, tetapi telepon Ranu tidak aktif. Hal tersebut semakin membuatnya berang.
"Sial!" umpatnya seraya memukul kemudi. Gemeretak giginya terdengar, wajahnya memerah dengan mata berkilat.
"Ke mana kita sekarang?" tanya Devan.
Pria di balik kemudi itu menatap lurus. Dia tidak tahu harus bertanya ke mana selain Ranu. Sebab ke Dea pun dia tidak tahu di mana tempat tinggal perempuan itu.
"Tolong kamu hubungi terus Ranu sampai bisa!" titahnya sembari menyalakan mobil.
Devan mengangguk kemudian menarik napas panjang. Selanjutnya jalan hati Jendra semakin tidak nyaman. Berulangkali dia bertanya ke Devan apakah Ranu sudah bisa dihubungi.
"Sepertinya dia memang tidak ingin diganggu, Jen. Mungkin ada urusan yang penting," ujar Devan.
Jendra menekan klakson kesal karena mobil di depannya terasa lambat
"Jendra! Kamu boleh marah, tapi jangan ngajakin orang lain marah juga!" tegur rekannya.
Jendra menggerutu, dia membuang napas kasar dari mulut.
"Ck! Sekarang aku harus cari Renata ke mana?" tanyanya tanpa menoleh.
Alis Devan terangkat kemudian mengedikkan bahu.
"Aku nggak tahu! Kamu masa nggak tahu satu pun temannya?"
Kali ini Jendra menggeleng pelan. "Kalau aku tahu, aku nggak bakal tanya kamu!"
Devan tersenyum masam mendengar jawaban Jendra. Menaikkan kecepatan, Jendra memacu mobilnya menuju rumah mamanya.
"Ini jalan ke rumah papamu, kan?" tanyanya heran.
"Ada Mama di rumah, dan aku harus cari tahu soal ini!" jawabnya.
Satu sudut bibir Devan tertarik, selama dia bergaul dekat dengan Jendra, baru kali ini dia terlihat khawatir dan bingung. Hal itu membuat muncul satu pertanyaan di benaknya.
"Jendra!"
"Hmm."
"Kalau memang kesimpulan sementara itu benar, apa yang pertama kali kamu lakukan?"
Pria di balik kemudi itu melirik tajam ke rekannya.
"Kenapa aku harus menceritakan apa yang harus aku lakukan ke kamu? Sejak kapan kamu beralih fungsi jadi dewan penasehatku?" jawabnya sinis.
Bukannya merasa bersalah dengan pertanyaan yang dia lontarkan, Devan malah tertawa lebar.
"Bukannya begitu, cuma mau kasi pencerahan sedikit."
"Pencerahan? Pencerahan apa?"
"Aku akan terus mencoba menghubungi Ranu mulai malam ini, sementara kamu bisa cari Renata," terangnya.
Jendra menoleh sekilas kemudian mengedikkan bahu.
"Oke, deal! Jangan lupa ajak Ardi!"
Devan mengangkat satu sudut bibirnya kemudian mengangguk.
**
Pramudya menatap intens paras puteranya. Jendra terlihat putus asa dengan cerita yang disampaikan papanya. Menurut kisah Pramudya, Renata satu tahu lalu diperkosa saat menghadiri pesta ulang tahun temannya. Dia sama sekali tidak mengetahui siapa yang melakukan hal tercela itu.
Pria paruh baya itu bangkit dari duduk kemudian mendekati puteranya. Pramudya berdiri bersandar di meja dengan kedua tangan dilipat di dada.
"Papa sudah bilang ke kamu, setiap orang punya salah dan setiap orang berhak untuk memperbaiki diri. Sejauh ini Renata hanya korban. Korban dari pria berengsek! Jika Romi tahu mungkin pria itu sudah patah kakinya atau membusuk di penjara," papar sang papa.
Jendra mengusap tengkuknya seraya bergidik membayangkan ucapan papanya. Hatinya menjadi semakin tak tenang. Perasaan bersalah dan berdosa menari-nari di kepalanya. Tatapan mata indah dan air mata sang istri kala dia berkata kasar dan menyinggung perasaannya silih berganti muncul.
Tak salah lagi, malam itu dialah pria berengsek yang dibilang papanya. Dialah pria bodoh yang berhak dipatahkan kakinya atau membusuk di penjara.
Menyadari itu semua, Jendra mengepalkan tangan merasa inilah saatnya dia menerima hukuman dari semua perbuatannya. Inilah saatnya dia mengiba memohon dan meminta maaf kepada Renata.
Akan tetapi, di mana? Di mana dia bisa bertemu istrinya itu? Istri? Mash pantaskah dia menjadi suami perempuan yang sudah sedemikian rupa dia rusak masa depannya?
"Sial!" umpatnya seraya bangkit dari duduk.
"Kenapa, Jendra? Kamu masih berpikir jika istrimu itu kotor sehingga sampai detik ini belum juga mencarinya?" cecar Pramudya.
Jendra bergeming masih mengepalkan tangan.
"Papa sudah pada titik pasrah! Papa tahu Papa salah karena menurutmu Papa sudah menjualmu ke Romi untuk puterinya. Kali ini Papa angkat tangan, karena Papa yakin mertuamu sudah tahu soal ini, jadi semua terserah kamu!"
"Pa!" Suara Jendra terdengar berat.
"Kenapa?"
"Apa Papa tahu di mana Renata sekarang?"
Pramudya menaikkan alisnya kemudian menggeleng.
"Satu-satunya cara untuk mengetahui di mana Renata adalah bertanya ke orang tuanya atau teman dekatnya."
Jendra menarik napas dalam-dalam kemudian memijit pelipisnya.
"Kenapa? Kamu nggak tahu teman dekat Renata? Atau kamu takut bertemu mertuamu?"
Puteranya itu membisu. Suasana hati Jendra sekarang semakin tak keruan. Jika dia ke rumah Renata, sudah pasti dia akan dicecar pertanyaan yang sudah barang tentu kemungkinan bertemu sang istri sangat minim. Sementara saat ini dirinya sangat ingin bertemu dan berbicara empat mata saja dengan istrinya itu.
"Wajar kalau kamu takut bertemu mertuamu, karena kamu ada di posisi salah. Iya, kan? Kamu terlalu bangga dengan pencapaian dan semua perubahan yang kamu alami tanpa melihat orang lain juga butuh diberi ruang untuk memperbaiki diri!"
Jendra semakin terdesak. Kali ini dia merasa kecil mendengar ucapan papanya. Jika sebelumnya dia memang selalu merasa berhak mendapatkan yang terbaik menurutnya. Akan tetapi, dia lupa jika Tuhan-lah yang paling berhak memberinya yang terbaik menurut Tuhan.
Tentu akan lebih panjang lagi perjalanan dia untuk mendapatkan yang terbaik. Jika selama ini dia mengabaikan pemberian terbaik menurut Tuhan, kini Jendra tersadar bahwa selama ini Renata adalah bentuk anugerah terbaik dari Tuhan yang hampir terlepas.
Kini Jendra harus memperjuangkan untuk kembali meraihnya. Meski dia tahu itu bukan hal yang mudah.
"Pa, Jendra boleh cerita sedikit?" Suaranya kali ini terdengar lirih.
"Ceritakan saja. Ada apa?"
Pria yang tampak berantakan itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan pelan.
"Jendra dulu memang berengsek, Pa," tuturnya lirih. "Jendra bukan pria baik yang bisa dibanggakan. Papa tahu itu, kan?"
"Lalu?"
"Kalau memang benar cerita itu ...." Dia tak meneruskan kalimatnya.
"Cerita yang mana?"
"Cerita soal Renata dan kejadian malam itu."
Pramudya menyipitkan mata seraya memiringkan kepala memindai sang putera. Pikiran pria paruh baya itu dibuat berkelana mendengar ucapan Jendra. Otaknya bergerak kepada satu kesimpulan yang dirinya sangat benci jika hal itu memang benar adanya.
"Jangan bilang kalau pada malam yang sama kamu juga ada di sana dan sebenarnya kamu yang ...."
Jendra bergeming. Dia merasa sangat bersalah, sehingga gak perlu menjawab pun dia rasa sang papa sudah tahu apa jawabannya.
Pramudya menggebrak meja, kilat amarah terlihat jelas di matanya. Tangan besarnya melayang tepat di pipi kiri Jendra. Segenap kemarahan dan kekecewaan bercampur di hatinya. Seolah tak cukup satu tamparan, dia kembali melayangkan ke pipi kana puteranya.
"Kamu nggak cuma bikin malu, Jendra! Tapi kamu sudah bikin kami orang tuamu tidak berguna!" sentaknya dengan paras meradang.
Jendra tetap diam, dia membiarkan papanya menumpahkan segala perasaan kecewa dan amarah padanya. Tak peduli bibirnya luka karena kuatnya tamparan sang papa. Dia merasa memang berhak diperlakukan seperti ini dan itu saja baginya tidak akan bisa mengembalikan semua yang Renata terima karena ulahnya.
"Pergi kamu sekarang! Cari istrimu sampai kamu bisa mendapatkan maaf darinya. Nggak cuma istrimu, tetapi kedua orang tua Renata! Kamu harus mendapatkan maaf dari mereka. Kalau mereka tidak memaafkan ... Papa rasa itu wajar dan itu hak mereka. Karena apa? Karena perbuatanmu itu memang sudah sangat keterlaluan dan sulit untuk dimaafkan! Paham kamu!"
Tanpa suara, Jendra bangkit kemudian melangkah menuju pintu. Sejenak dia diam lalu berbalik menatap Pramudya yang duduk di kursinya dengan tangan menyangga kepala.
"Maafin Jendra, Pa. Jendra janji akan melakukan apa.yanh Papa mau dan menerima apa pun keputusan Renata dan keluarganya. Jendra permisi, Pa."
**
Renata bersandar di ranjang. Sudah genap sepuluh hari dia meninggalkan rumah. Seharusnya dia bisa merasa lebih baik saat ini, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Mamanya mendesak agar dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga akhirnya kedua orang tuanya tahu jika persoalan rumah tangga puteri mereka adalah seputar masa lalu Renata, setelah puterinya itu didesak sedemikian rupa.
Hal itu tentu saja membuat Romi berang karena sejak awal mereka sudah meminta agar tidak kembali mengungkit yang sudah berlalu. Karena cukup berat bagi Renata untuk memulihkan kondisi kejiwaannya kala itu.
"Papa mau bicara sama mertuamu soal ini!"
"Papa, nggak usah, Pa. Nggak perlu," cegah Renata.
"Tapi mereka sudah melanggar janjinya, Renata! Papa nggak mau kamu kembali terpuruk karena itu lagi!"
Renata menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.
"Renata nggak akan terpuruk lagi, Pa. Papa tenang saja. Nggak perlu pakai emosi begitu. Lebih baik kita selesaikan tanpa amarah," ujarnya tenang.
Romi mendengkus kesal. Matanya terlihat meradang.
"Mereka harus bertanggung jawab atas ini semua! Pramudya dan anaknya akan menyesal!"
"Pa." Renata menggeleng. "Ini murni urusan Renata sama Mas Jendra, bukan dengan mertua Renata. Jadi tolong, biarkan Renata selesaikan sendiri, Pa," pintanya.
"Papa Pram, Mama Ana, mereka sangat baik dan sayang ke Renata, Pa!"
Romi menarik napas dalam-dalam kemudian menatap puterinya.
"Oke! Papa lakukan ini karena permintaanmu. Lakukan apa yang kamu mau, tapi ingat! Jangan pernah kembali kepada pria itu lagi! Kalian harus pisah bagaimana pun caranya!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top