Sebuah pengungkapan

"Kita pulang ke rumah ya. Ke rumah kita," pinta Jendra dengan wajah memohon.

Renata bergeming. Sejujurnya dia sama sekali tidak keberatan jika memang harus kembali ke rumah itu, tetapi tentu tidak semudah itu. Papanya bisa dipastikan tidak akan tinggal diam jika mengetahui hal sesungguhnya. Terlebih menurut cerita Jendra, papanya sudah mengurus surat-surat untuk memisahkan dia dengan pria di balik kemudi itu.

Siang itu akhirnya mereka meninggalkan kediaman orang tua Jendra. Setelah sebelumnya mereka berdua sepakat untuk masih menyembunyikan kehamilan atas permintaan Renata.

"Sayang?" Jendra mengulurkan tangan kirinya ke puncak kepala Renata lalu mengusapnya pelan.

"Aku ... bukan aku menolak, tapi ...."

"Kenapa?"

"Papa. Papa pasti nggak akan tinggal diam kalau tahu."

Jendra menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. "Aku paham, tapi aku suamimu yang punya hak sepenuhnya, kan?"

Perempuan yang menguncir kuda rambut hitamnya itu menggeleng samar.

"Aku tahu itu, tapi Mas nggak kenal papaku."

"Aku tahu seperti apa papamu. Tegas dan sulit diajak bernegosiasi jika dia rasa orang yang sedang berhadapan dengannya salah. Begitu, kan?"

Tak menyahut, Renata hanya menarik napas dalam-dalam tanpa menoleh. Sudah barang tentu apa yang diucapkan suaminya itu benar. Papanya memang keras kepala dan sulit menerima alasan apa pun dari siapa pun meski jika Renata yang meminta dia akan memikirkan kedua kali.

Namun, dalam kasus kali ini, sepertinya Renata sudah tidak bisa meluluhkan hati sang papa. Terbukti pria paruh baya itu sudah mengurus surat-surat untuk dia dan Jendra bercerai. Itu artinya Romi sudah menutup pintu maaf dengan alasan apa pun.

"Mas, biarkan aku kembali ke rumah itu dulu. Ada banyak hal yang harus diluruskan dan biarkan perlahan kita selesaikan," tutur Renata lirih.

Menarik napas dalam-dalam, Jendra mengangguk.

"Kalau itu maumu dan menurutmu akan lebih baik, aku ikuti, tapi biarkan aku juga ada di sana."

Perempuan beraroma cherry itu menoleh memindai sang suami.

"Mas ...."

"Iya, aku akan tinggal di sana menemanimu, menjagamu, dan memenuhi semua yang kamu butuhkan!"

Renata mengerutkan keningnya.

"Aku suamimu, dan papa dari anak kita! Sudah tugasku untuk melakukan itu semua," paparnya menjawab kerut di kening sang isteri.

Sudut hati Renata tersentuh mendengar penuturan suaminya. Benar kata asisten rumah tangga pria itu saat mereka berada di villa beberapa bulan silam. Jendra memang pribadi yang baik, meski terlihat tak acuh bahkan terkesan angkuh. Meski beberapa kali dia merasakan perhatian dari pria itu, tetapi kali ini, Renata merasa Jendra tidak main-main dengan ucapannya.

"Kenapa bengong? Ck! Ayolah, itu semua wajar dilakukan oleh semua suami dan calon papa. Betul, kan? Nggak berlebihan, aku hanya ingin papamu tahu kalau aku benar-benar ingin berubah," ungkap pria beralis tebal itu seraya menarik bibirnya lebar.

"Tapi, Mas, kalau Mas di sana, Papa pasti akan ...."

"Sudah kubilang, apa pun yang dilakukan papamu sudah menjadi resikoku. Apa pun aku terima. Kamu tenang aja."

Renata menggeleng cepat. Semakin Jendra kukuh pada pendiriannya, semakin dirinya cemas.

"Mas, bukannya aku menolak, tapi aku nggak mau Mas dijadikan bulan-bulanan kemarahan Papa. Ada Bu Ida yang menemaniku, biarkan aku yang mencoba bicara dulu dengan papa soal ini. Siapa tahu dengan setelah Papa tahu soal kehamilanku, beliau bisa mengubah keputusannya," jelas Renata.

Jendra menepikan mobilnya kemudian menoleh seraya tersenyum menatap isterinya. Ada kegembiraan yang meluap mendengar ucapan perempuan di sebelahnya barusan. Dari nada suara Renata, tampak jelas jika isterinya itu mencemaskannya.

"Kamu mengkhawatirkan aku?"  tanyanya masih dengan bibir melebar dan tatapan hangat.

Semburat merah terlihat di pipi Renata. Dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaannya kepada pria itu meski berkali-kali dia coba.

"Pipimu memerah? Kenapa?" Jendra mendekatkan tubuhnya mencoba menangkup wajah sang isteri.

Renata berusaha menghindar menyembunyikan rona merah dan tentu saja degub jantung yang kembali berlompatan tak beraturan.

"Kenapa? Nggak perlu disembunyikan, aku suka melihatnya!" Kali ini pria itu berhasil membingkai wajah Renata sehingga dia bisa bebas menatap di kedalaman mata beningnya.

"Mas, kenapa berhenti?" tutur sang isteri mencoba mengalihkan perhatian.

"Tatap mataku, Renata. Jawab, apa kamu mengkhawatirkan aku?"

Renata tak bisa berkutik. Tatapan mata Jendra telah mengunci tubuhnya. Percuma saja menyembunyikan perasaan yang semakin membuncah pada pria itu, toh pada akhirnya Jendra bisa membacanya.

"Apa aku salah jika khawatir?" Lirih suara Renata menjawab pertanyaan suaminya.

Jendra tersenyum kemudian menggeleng.

"Tentu saja nggak salah, aku bahkan bahagia mendengarnya."

Pria itu lalu menarik napas dalam-dalam.

"Tapi ... kekhawatiran sebagai apa?" sambungnya.

"Maksud Mas?"

Jendra menaikkan alisnya kemudian berkata, "Aku mengkhawatirkanmu karena aku mencintaimu, dan karena kamu isteriku juga ibu dari anakku yang sedang berkembang di dalam sana. Aku sangat mengkhawatirkan kalian."

"Apa kekhawatiranmu itu sama sepertiku? Apa kamu juga punya perasaan seperti itu?" imbuhnya masih membingkai paras sang isteri.

"Apa ada alasan lain selain itu?" jawabnya diplomatis dengan tatapan mata ragu.

Jendra memiringkan kepalanya bibirnya perlahan kembali melebar.

"Apa itu artinya kamu mencintaiku?" Terdengar nada suaranya begitu antusias. "Apa boleh aku mengambil kesimpulan itu, Renata?"

Jendra, pria angkuh, egois dan selalu ingin dianggap benar itu saat ini seolah mengubah citranya yang menempel selama ini. Pria berhidung mancung itu ternyata memiliki kehati-hatian untuk menyimpulkan apa pun saat ini.

"Renata? Kenapa kamu diam? Apa ucapanku tadi salah? Apa aku yang berengsek ini nggak boleh ...."

Renata meletakkan telunjuknya di bibir sang suami seraya menggeleng.

"Cukup, Mas! Jangan dilanjutkan. Kita semua punya masa lalu, dan berhak untuk memperbaiki."

Pelan Jendra meraih tangan Renata lalu mengecup lembut jemarinya.

"Makasih, Sayang. Makasih sudah memiliki hati yang luas untukku. Terima kasih sudah memberi kesempatan dan ruang untukku juga untuknya," tuturnya  mengusap perut Renata kemudian pelan merengkuh Renata dan menenggelamkan ke dalam dadanya. "Percayalah, Renata! Setelah aku tahu perasaanmu, aku semakin tidak takut dengan ancaman apa pun dari papamu."

**

Dea berteriak memanggil Sena di kantor pria itu. Matanya memerah dengan wajah meradang. Pria yang dipanggil keluar dari ruangannya lalu menariknya masuk.

"Kamu apa-apaan sih, Dea? Kamu bikin malu tahu!" sentaknya saat mereka sudah duduk di sofa di ruangan Sena.

"Sengaja! Kenapa? Biar saja semua karyawan kamu tahu kalau kita sedang bermasalah!"

"Diam, Dea! Mau kamu apa, hah!"

"Aku nggak mau kita cerai!"

Sena menggeleng cepat.

"Aku nggak bisa! Aku nggak bisa hidup dengan perempuan sakit sepertimu! Perempuan yang melakukan apa pun untuk dirinya sendiri!"

Dea tertawa sumbang.

"Kamu seperti sedang membicarakan dirimu sendiri, Sena! Kamu nggak ingat apa yang sudah kamu lakukan kepada Renatamu waktu itu? Kamu bahkan memilih mengabaikan semua penjelasannya? Untuk apa itu? Untuk dirimu sendiri, kan?" sindirnya dengan tawa yang semakin keras.

Sena mengepalkan tangannya menahan amarah.

"Kamu sakit, Dea!"

"Aku? Memang aku sakit! Aku sakit hati karena ulah Renata dan keluarganya! Kenapa dia selalu beruntung bahkan saat dinikahi dengan Jendra?"

Terlihat kilat amarah di mata Sena ketika mendengar nama Jendra. Pria yang kini menjadi suami Renata itu telah sangat membuatnya cemburu.

Bagaimana mungkin pria yang memiliki catatan masa lalu yang tidak baik itu bisa dengan mudahnya menyanding Renata? Bahkan setahu dia Renata membiarkan dirinya diabaikan. Setidaknya itu yang dia tangkap saat bertemu Renata beberapa waktu lalu.

"Kenapa? Kenapa diam? Kamu sedang menyesali apa yang telah kamu perbuat kepada Renata? Lalu kamu berpikir untuk menceraikan aku dan berharap Renata bisa kembali padamu, begitu?" Kembali Dea menyindirnya.

Sena bergeming, dia seperti tak peduli dengan ucapan perempuan di sampingnya.

"Lalu ... apa kamu pernah berpikir jika Jendra akan mempertaruhkan apa saja asal Renata tetap menjadi miliknya? Dan kamu ... kamu yang menyedihkan ini ... bisa apa?"

Darah Sena mendidih, dia naik pitam. Tangannya terangkat hendak melayang ke pipi Dea. Perempuan yang mengenakan celana denim itu mengangkat wajahnya.

"Kenapa? Kamu mau tampar aku? Tampar aja! Tampar!"

Pria berkemeja biru langit itu membuang napas kasar.

"Keluar, Dea! Aku bilang keluar sekarang!"

Dea menantang. Perempuan itu menggeleng seraya bersandar dan menyilangkan kakinya.

"Aku masih isterimu, Sena! Apa pun alasannya, sekuriti kantor ini tidak berhak mengusirku!"

"Oke! Kalau begitu, aku yang pergi!"

"Kamu sakit, Dea! Aku akan menemui Om Romi untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Agar dia tahu kalau semua yang terjadi otaknya ada di kamu!"

Dea hanya mengedikkan bahu dan masih duduk santai di sofa.

"Soal perceraian itu ...." Sena menggeleng. "Aku nggak bisa. Kita harus cerai!"

Tanpa menunggu respon dari Dea, Sena mengayun langkah cepat meninggalkan ruangan itu.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top