Romi mencari tahu

Romi duduk di depan Dea dan mamanya. Sangat jelas terbaca air muka Romi siang itu. Papa dari Renata itu sengaja datang ke kediaman almarhum Guntur untuk memastikan apa yang dia dengar dari Sena.

"Setelah semua yang kamu lakukan ke putriku, apa sekarang yang kamu dapatkan? Puas? Bahagia? Begitu?" tanyanya dengan gigi gemeretak.

Dea memasang wajah tak peduli, sementara mamanya justru terlihat sangat terkejut dengan semua cerita Romi.

"Mohon maaf, Pak. Apa benar semua yang Bapak katakan itu? Apa benar Dea melakukan semuanya?" tanya perempuan paruh baya yang terlihat kurus.

Romi membuang napas kasar. Matanya berkilat amarah masih memindai Dea.

"Tanyakan saja ke putrimu! Dia berdalih ingin membalaskan dendam karena kebangkrutan perusahaan Guntur dengan cara menghancurkan masa depan Renata, benar! Dia sudah hancur! Tetapi apakah dengan semua yang dia lakukan sudah bisa membuat dia bahagia? Apa dengan melakukan hal nista seperti itu bisa mengembalikan perusahaan Guntur seperti sebelumnya? Apa dia juga bisa mengembalikan nama baik papanya di mata banyak kolega?" cecarnya dengan suara meninggi.

Perempuan di sebelah Dea itu menoleh menatap tajam padanya.

"Apa benar apa yang dikatakan Om Romi, Dea?"

Dea membuang napas perlahan lalu melipat kedua tangannya ke dada.

"Apa yang Dea lakukan juga buat Mama! Buat keluarga kita," sahutnya enteng.

"Tapi itu sama sekali tidak dibenarkan, Dea! Jadi semua yang terjadi pada Renata adalah karena kamu? Kenapa kamu lakukan itu? Kenapa!" Kali ini perempuan bertubuh kurus itu menaikkan suaranya. Matanya tampak berkaca-kaca dan jelas tergambar kekecewaan yang mendalam di parasnya.

"Mama, kenapa mama malah ikut menyalahkan Dea? Dea ini sudah berusaha membantu agar nama baik Papa kembali pulih di mata banyak orang!" bantahnya. "Lagipula, sekarang Renata juga udah bisa kembali menjalani hidupnya dengan baik kok. Jadi untuk apa Om marah?" imbuh Dea tanpa rasa hormat.

Mendengar jawaban Dea, satu tamparan mendarat di pipinya. Tangan sang mama baru saja memberi warna merah di sana.

"Kami nggak pernah mendidikmu  nggak tahu adab seperti ini, Dea! Selama ini kami berpikir kalau kamu baik-baik saja dan sama sekali tidak pernah kamu memiliki perasaan buruk tentang apa pun yang kamu kerjakan. Kamu tahu, Dea? Kamu sudah bikin Mama sangat malu dan ... papamu, kamu nggak pernah terpikirkan soal beliau? Papamu tentu akan ditanya bagaimana mendidik anaknya?"

Romi di, membiarkan isteri almarhum Guntur itu terus berbicara pada Dea. Dia bisa saja memenjarakan Dea detik ini juga, tetapi dirinya masih memikirkan sisi kemanusiaan bagi anak Guntur tersebut. Terlebih kini keluarga Guntur sudah semakin terpuruk sama dengan kebangkrutan perusahaannya.

"Ck! Dea salah lagi, kan? Bahkan saat Dea terpuruk, Dea tetap disalahkan!" protesnya. "Ma sama aja sama Ranu, Sena dan yang lainnya! Semua menyalahkan Dea!"

"Iya! Karena kamu memang salah!"

"Cukup, Bu," sela Romi seraya mengangkat tangan memberi isyarat agar perempuan paruh baya itu  berhenti. Mama Dea itu hendak kembali melayangkan tangannya ke pipi sang puteri.

"Sekarang Om tanya, Om harap kau menjawab dengan jujur! Apa benar malam itu Jendra tidak tahu apa-apa soal rencanamu?"

Terlihat berpikir, Dea membalas tatapan Romi. Dia mulai paham apa yang ada di kepala pria paruh baya di depannya. Susah barang tentu Romi akan menyingkirkan Jendra jika dia mengatakan bahwa Jendra adalah orang yang terlibat dalam rencananya malam itu.

Jika dia mengatakan hal seperti itu, sudah pasti pria di depannya itu akan memisahkan Renata dan Jendra. Dengan begitu jika terjadi apa yang dia pikirkan, maka sudah dipastikan sudah tentu tak ada bedanya kehidupan rumah tangga dia juga  Renata. Sama-sama hancur, dan jika itu terjadi, tentu satu kebahagiaan yang dia dapatkan. Karena tujuan utamanya adalah menghancurkan Renata.

"Jawab! Apa pria itu memang juga orang yang ada dalam skenariomu?" tanya Romi mengulang.

"Apa untungnya kalau Dea jawab? Silakan Om cari sendiri kebenarannya. Atau ... Om bisa tanya ke Jendra langsung, kan?" jawabnya santai.

"Dea! Jawab yang benar apa yang sebenarnya terjadi! Kamu nggak ingin papamu menderita di sana karena ulahmu, kan?" sergah mamanya masih dengan perasaan marah bercampur malu karena perbuatan sang puteri.

"Ck! Mama, Om Romi bisa cari tahu dengan kekuasaannya, kan?"

"Tapi kejadian itu sudah lama berlalu, Dea! Bersikaplah sopan sedikit! Jangan bikin malu mamamu!" timpalnya.

Dea bergeming. Dari ekspresinya dia jelas tidak merasa salah dan tidak takut dengan kemarahan mamanya.

"Oke! Om bisa melaporkanmu ke polisi atas semua yang kamu lakukan, Dea! Ada saksi yang akan memberatkanmu!" Kali ini wajah Romi terlihat dingin.

"Om awalnya tidak ingin melakukan ini, tapi karena kamu mempersulit ... kamu tahu Om bisa melakukan apa pun, kan?" tanyanya dengan tatapan menusuk.  "Termasuk mencari saksi yang memberatkan! Kamu paham itu?" sambungnya.

"Maaf, Pak Romi, saya mohon jangan melakukan itu padanya. Saya tahu Dea salah, tapi tolong jangan lapor polisi atas semua tindakannya. Biarkan saya saja yang menggantikan posisinya. Laporkan saya saja, Pak!" Mama Dea terlihat memohon. Pipinya mulai basah oleh air mata.

Dea menoleh ke samping menatap sang mama. Ada beragam perasaan yang menyelimutinya. Kebencian pada Renata dan keluarganya, kekesalannya pada Tuhan yang menurutnya seperti tak pernah memihak padanya, dan kekesalan terhadap sang mama yang menurutnya juga menjadi penyebab semua bangkrutnya perusahaan sana papa.

Masih terlintas bagaimana mamanya seringkali menghambur-hamburkan uang bersama teman-teman sosialitanya, pelesiran dan belanja barang branded di luar negeri seperti sudah menjadi jadwal khusus.

Kini setelah semuanya terkuak, sang mama tak ubahnya seperti domba yang tak bertanduk. Perempuan paruh baya itu sama sekali tidak melawan dan membelanya. Alih-alih membela, mamanya justru membuat posisinya semakin sulit dan terjepit.

"Oke, baik! Jendra adalah orang di luar skenario! Jelaskan, Om?" Dea mendengkus lalu menyandarkan tubuhnya kasar ke sofa.

Romi menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Ingat, Dea! Om bisa jasa memperlakukan kamu seperti memperlakukan papamu! Om bisa saja dengan sangat mudah memenjarakanmu dan membuatmu malu sepanjang hidupmu! Kamu tahu itu!" Romi menatap Dea tajam.

"Tapi ada alasan kenapa Om tidak melakukan itu, meski hal tersebut bisa saja kapan pun Om lakukan, jadi ... sebaiknya kamu berhenti merasa paling benar! Pikirkan mamamu!"

Romi beringsut dari duduk.

"Maaf, sebaiknya Anda perhatikan seperti apa anak Anda! Jika sekali lagi dia bersinggungan dengan Renata atau siapa pun yang ada hubungannya dengan keluarga saya ...." Romi menggeleng. "Saya pastikan tidak ada lagi kesempatan untuknya!"

**

Renata baru saja keluar dari kamar mandi. Matanya membulat melihat Jendra sudah berada di kamarnya. Pria itu sedang duduk santai bersandar di ranjang seraya tersenyum menatapnya. Perempuan yang masih mengenakan bathrobe itu mundur hendak kembali masuk ke kamar mandi.

"Mau ke mana? Mandinya belum selesai?" Jendra bangkit menghampiri.

"Nggak, eum ... kenapa masuk ke kamar aku?"

"Pintunya tadi nggak dikunci dan kamu nggak menutup rapat. Apa aku masih nggak boleh berada di kamar ini?" tanyanya terus melangkah hingga berada tepat di depan sang isteri.

Renata menggeleng cepat seraya kembali mundur. Dia terlihat memegang handel pintu bersiap untuk masuk dan menutupnya. Namum, sigap Jendra menahan.

Pria itu kini semakin tak berjarak sehingga aroma segar dari tubuh Renata menyeruak indra penciumannya. Rambut yang masih basah menjadikan penampilan Renata semakin istimewa meski hanya memakai baju mandi. Hal itu membuat Jendra berusaha menahan diri untuk merengkuh dan membenamkan sang isteri di dalam dekapannya.

"Aku suamimu dan yang ada di rahimmu itu adalah anakku, jadi kenapa aku masih kamu hukum?" tanya dengan tatapan dan suara lembut seraya memiringkan kepala.

Kali ini mata mereka bersirobok. Bibir ranum Renata yang kini menjadi perhatiannya. Andai dia tidak sedang mengikuti kemauan sang isteri ingin rasanya segera membawa perempuan itu ke ranjang dan melanjutkan permainan di sana. Akan tetapi, Jendra memang harus bersabar mengikuti apa yang menjadi keinginan isterinya.

Membasahi kerongkongan, Renata perlahan menarik tangannya dari handle pintu yang juga tengah dipegang oleh suaminya. Bukan dia tak tahu soal itu, dan juga tidak ada yang salah dari ucapan juga permintaan Jendra, tetapi dia hanya ingin perlahan menerima dan membuang jauh ingatannya saat kejadian malam setahun yang lalu itu.

Di kepalanya perlahan mulai bisa mengingat. Di matanya meski samar tetapi mulai jelas tergambar siluet pria yang berada di atasnya malam itu. Meski kini dia tahu jika Jendra-lah pelakunya, tetapi dirinya masih merasa harus berusaha untuk sedikit mengenyahkan ingatan itu meski mungkin tidak bisa semuanya.

Akan tetapi, untuk saat ini hal tersebut masih benar-benar membuatnya takut, walaupun beberapa kali dia dan sang suami pernah melakukan hubungan yang memang sudah seharusnya, tetapi kini hal itu menjadi berbeda setelah mengetahui yang terjadi sesungguhnya.

**

Suka nggak nihh, aku up lagi kisah Renata?

Disempurnakan Cinta udah ada ebook-nya ya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top