Rindu?

Renata menutup mulutnya dengan tangan kanan, perempuan itu cepat bangun dari duduk lalu berlari ke kamarnya. Sejak tadi dia memang mencoba menahan sekuat tenaga untuk muntah karena tidak tega melihat Karina yang tengah lahap menikmati burger jika dia mengeluarkan isi perut.

"Renata? Kamu kenapa!" Karina gegas bangkit menuju kamar Renata mengikuti langkah tergesa Ida.

"Sejak beberapa hari yang lalu Mbak Renata memang agak sakit, Mbak," tuturnya melapor. Perempuan paruh baya itu tampak cemas.

"Renata? Renata kita ke dokter ya, Ren!" panggil Karina seraya mengetuk pintu kamar mandi.

Di dalam Renata tak berhenti muntah. Khawatir terjadi sesuatu, Karina membuka pintu kamar mandi yang memang tidak dikunci itu.

"Udah selesai? Ayo aku bantu!"

"Kamu pucat banget loh!" Karina memapah sahabatnya menuju ranjang.

"Saya buatkan teh hangat, Mbak. Sebentar!" Ida melangkah cepat menuju dapur.

"Ren, kamu sakit?" tanya Karina sambil menyelimuti sahabatnya. "Kita ke dokter yuk! Kata Bu Ida, kamu sejak beberapa hari yang lalu nggak enak badan. Betul?"

Renata menggeleng cepat.

"Aku baik, kok! Mungkin kurang tidur aja, sebab belakangan ini aku agak ngebut bikin tulisan," jelasnya menyungging senyum.

Karina mengembuskan napas perlahan. Dia lalu menoleh ke arah Ida yang datang membawa segelas teh yang asapnya masih mengepul.

"Diminum dulu tehnya, Mbak Renata," ujar Ida masih dengan wajah cemas.

"Makasih, Bu," ucapnya seraya bangkit lalu bersandar di bahu ranjang.

Ida kemudian kembali ke dapur.

"Kamu mau makan apa, Ren? Jangan bilang nggak lapar! Burger tadi juga kamu makan separuh aja."

"Kentangnya aja deh! Aku mau!"

"Oke! Kamu tunggu ya. Aku ambilkan."

**

Langit sudah berwarna saga, tetapi Jendra masih berada di ruangannya. Pria itu seperti enggan pulang. Wajahnya semakin murung terlebih saat kembali dari kantor papanya.

Kilas bayangan Renata terus muncul di memorinya meski berulang-ulang dia abaikan. 

"Sial!" umpatnya saat tak bisa fokus pada kerjaannya.

"Masuk!" titahnya.

Tak lama pintu terbuka, Devan muncul diikuti Ardi. Dua pria yang tahu masalahnya itu saling bertukar pandang kemudian tersenyum geli.

"Ngapain kalian senyum-senyum?" Jendra menatap tajam.

"Tumben aja, sudah senja kamu masih di sini. Biasanya keburu-biru pulang!" jawab Devan saat  dia dan Ardi menghenyakkan tubuh di sofa.

"Tolong handle semua pekerjaan yang harus aku kerjakan. Besok aku harus mencari Renata!"

Kembali Ardi dan Devan saling tatap. Mereka berdua seolah baru bertemu pribadi yang lain dari Jendra.

"Ehem! Jadi dicari nih?" ledek Devan dengan wajah yang makin membuat Jendra kesal.

"Aku nggak tahu harus cari ke mana dan harus mulai dari mana," ungkapnya.

"Mungkin kamu bisa tanya ke teman dekatnya!" usul Ardi seraya menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Aku nggak kenal dan nggak tahu siapa teman dekatnya," keluh Jendra.

"Apa sampai sekarang ponselnya nggak bisa dihubungi?" Devan ikut bertanya.

Pria yang duduk di balik meja itu menggeleng pelan.

"Jendra," seru Ardi bangkit mendekat.

Pria berkemeja putih yang wajahnya tegang itu hanya menggerakkan matanya ke arah Ardi.

"Aku tahu sejarahmu soal bagaimana bisa menikah dengan Renata, dan nggak heran kalau kamu nggak kenal atau bahkan nggak peduli dengan siapa teman dekatnya."

"Kamu mau bicara apa? Nggak usah berbelit-belit!" sentak Jendra.

Ardi tertawa kecil.

"Sabar, Bos!" candanya.

"Ck! Apa yang mau kamu bicarakan!"  Jenderal terlihat berang.

"Oke, aku tanya sekarang, apa kamu mencintainya? Apa kamu sudah jatuh cinta ke istrimu? Atau justru Renata yang jatuh cinta padamu?" selidik Ardi. "Atau sampai detik ini kamu sama sekali tidak mencintainya?"

Jendra tak bereaksi, dia tetap di tempatnya. Manik hitamnya membalas tatapan Ardi.

"Kenapa diam? Jangan bilang kamu belum ada rasa pada istrimu sementara kamu sudah ajak dia main beberapa kali di ranjang. Betul begitu?" pancing rekannya lagi.

"Tutup mulutmu, Ardi! Sejak kapan aku harus menjawab pertanyaanmu? Kenapa tiba-tiba aku seperti pesakitan di hadapan kalian berdua?" keluhnya.

Devan yang sejak tadi duduk dan diam, tertawa terbahak-bahak mendengar obrolan kedua rekannya.

"Kalian berdua seperti jaksa penuntut umum dan terdakwa! kelakarnya disambut tawa Ardi, sementara Jendra hanya menarik bibirnya singkat ke samping.

**

Dea tertawa puas mendengar kabar dari Ranu. Kepergian Renata dari rumah menurutnya adalah  langkah yang baik. Setidaknya dengan begitu, Renata sudah mulai tidak nyaman lagi hidupnya.

"Lalu Jendra? Apa dia mencari istrinya?"

Ranu menggeleng.

"Dia juga tidak tahu di mana istrinya berada!"

Dea menyeringai lalu bertepuk tangan seperti seorang anak kecil yang baru saja diberi mainan baru.

"Bagus, Renata! Bersembunyilah selamanya, sampai suamimu jenuh mencari dan meninggalkanmu. Setelah itu kamu akan menjadi lebih terpuruk!" ujarnya dengan ekspektasi penuh dendam.

Ranu menatap Dea sembari menggeleng.

"Apa Papa mamamu tahu rencana ini?"

Dea mengerucutkan bibir lalu menggeleng.

"Tentu saja nggak!"

"Kalau mereka tahu bagaimana?"

Dea bergeming. Terbayang papanya yang sudah satu pekan harus selalu dilayani karena penyakit stroke dan beberapa komplikasi lainnya. Sementara sang mama terkadang juga sakit karena kelelahan mengurus papanya. Meski dia membayar perawat, tetapi papa Dea itu tidak mau dilayani jika bukan istrinya.

"Mereka nggak akan tahu, karena ini adalah bentuk rasa sayangku pada mereka. Karena Romi telah menghina dan menghancurkan perusahaan papaku, maka aku akan membuat anaknya terhina sampai kapan pun!"

Ranu menaikkan alisnya kemudian tersenyum. Bekerja sama dengan perempuan licik seperti Dea bukan tidak mungkin akan menjadikannya ikut celaka. Karena perempuan yang duduk di depannya itu tidak pernah merasa puas dengan penderitaan yang dialami Renata meski tak bersalah dalam hal ini.

Ranu juga tahu bagaimana sepak terjang papa Dea. Pria itu memang beberapa kali bahkan sering mengambil keuntungan sendiri dalam sebuah kerja sama hingga acapkali merugikan partner kerjanya.

Oleh karena itu menurut Ranu adalah wajar jika Romi melakukan hal yang menurut Dea memalukan. Karena sejatinya justru papa Dea-lah yang telah berbuat curang.

"Sekarang ada baiknya kamu datang ke Jendra, goda dia dengan perempuan. Lebih cepat Jendra melupakan Renata, lebih cepat juga rumah tangganya hancur!" titah Dea.

Menarik napas dalam-dalam, Ranu tersenyum.

"Tujuanku sudah selesai, Dea. Beberapa tender susah aku rebut dari Jendra, dan aku nggak  punya urusan dengan rumah tangga dia. Aku berhenti!"

Dea mengernyitkan dahinya. Ini adalah kali kedua pria itu memilih mundur.

"Nggak bisa, Ranu! Kita belum selesai!"

Ranu bergeming.

"Renata belum benar-benar hancur dan Jendra ... kamu nggak mau melebarkan sayap bisnismu lebih luas? Kamu nggak khawatir bila sewaktu-waktu perusahaan Jendra kembali melampaui pencapaian perusahaanmu?"

"Sudah, Dea. Aku udah capek! Aku mundur, tapi kamu tenang aja, aku nggak akan buka suara soal apa pun tentang rencanamu itu ke siapa pun!"

Dea mengumpat. Dirinya tak lagi bisa memengaruhi pria di depannya itu. Ranu benar-benar ingin berhenti.

"Oke! Nggak masalah asal kamu benar-benar bisa memegang janji dan kalau kamu sampai buka suara. Kamu tahu aku juga bisa!" ancamnya.

Ranu hanya mengangguk menanggapi.

**

Menyeduh white coffe di balkon kamarnya, Jendra terlihat resah. Hari kelima semenjak kepergian istrinya dan dia belum menemukan titik terang keberadaan Renata.

'Kamu bahkan nggak tahu siapa teman dekatnya? Suami macam apa kamu, hah!' suara papanya siang tadi terngiang.

Perginya Renata sampai saat ini belum diketahui Ana. Pramudya memilih bungkam dan berharap besannya juga belum mengetahui tentang ini. Pria paruh baya itu tak ingin hubungan baik yang sudah terbina hancur berantakan gara-gara keegoisan putranya.

Sebenarnya saat dia menyetujui dengan syarat yang diajukan Romi saat akan menikahkan Jendra, bukan hanya karena ambisi soal perusahaan, tetapi lebih kepada ingin membuat putranya itu menyadari bahwa setiap orang punya kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik.

Karena selama ini, Jendra selalu memandang kaku setiap orang yang pernah melakukan kesalahan tanpa mau memberi kesempatan.

Selain itu, dia juga tahu bagaimana sebenarnya puteri Romi itu. Beberapa kali dia pernah berniat menyampaikan keinginannya untuk menjadikan Renata menantu, tetapi belum sempat hingga akhirnya kesempatan datang setelah tragedi yang menimpa Renata itu.

Angin malam mulai terasa menggigit. Tiba-tiba saja Jendra merasakan ada ruang kosong di hatinya. Meski belakangan dia sering mengabaikan Renata, tetapi malam ini justru dia sangat ingin melihat perempuan itu mondar mandir di dalam rumahnya seraya sesekali merapikan anak rambut yang mengganggu wajah cantiknya.

Rindu! Jendra mulai rindu. Akan tetapi, benarkah dia rindu? Atau hanya menginginkan perempuan itu berada di rumah sebagai seseorang yang selalu ada saat dia merasa kesepian?

Jendra mendengkus melipat kedua tangannya di dada, lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sekian lama dia hidup sendiri, diakuinya kehadiran Renata punya arti khusus. Setidaknya perlahan dia merasakan kehilangan. Kehilangan senyum manisnya, kehilangan mata indahnya saat meminta Jendra mencicipi hasil masakannya dan tentu saja kehilangan kehangatan saat melepas hasrat di ranjang.

"Sial!" maki Jendra kemudian mengusap wajahnya dengan kasar saat teringat pertanyaan Ardi soal perasaannya kepada Renata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top