Rajendra Biantara

Rajendra Biantara, pria berperawakan tinggi dengan tubuh proporsional itu duduk berhadapan dengan Pramudya papanya. Tangannya diletakkan di meja persis seperti seorang mahasiswa dengan dosennya. Semenjak Ana sakit-sakitan, Jendra memang telah banyak berubah. Dia cenderung tertutup dan berubah menjadi seorang pekerja keras.

Rajendra punya pengalaman masa lalu yang cukup berantakan. Kehidupan malam sudah menjadi kegiatan rutinnya. Menghambur-hamburkan uang termasuk hal yang paling digemari. Minum minuman keras dan bergonta-ganti pasangan termasuk satu dari kisah perjalanan hidupnya. Hingga suatu ketika sang mama jatuh sakit karena memikirkan sepak terjang putranya.

Mengetahui sang mama hampir sekarat karena memikirkan dirinya, Rajendra perlahan memutus satu per satu circle pertemanan di masa lalu. Tak mudah memang untuk bisa lepas dari lingkaran pertemanan di masa lalu, tetapi demi melihat sang mama tersenyum dan bahagia, Jendra rela mengikuti keinginan mamanya.

"Dia cantik, kan?" Pramudya memindai Jendra.

"Jendra belum buka pesan dari Papa," sahutnya datar.

Pramudya menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum.

"Buka sekarang! Dari tadi kamu ngapain aja?"

"Ada klien, Pa. Mereka sepakat dengan harga yang Jendra tawarkan tempo hari. Jadi mulai bulan depan, Jendra bisa tangani sendiri pembangunan villa yang pernah Jendra ceritakan waktu itu," paparnya.

"Bagus! Papa bangga dengan ini. Itu berarti ... proyek pertamamu di perusahaan Papa!"

Jendra mengangguk samar. Pria beralis tebal itu memang sangat sulit berbasa-basi. Dia akan berbicara jika dirasa penting dan selanjutnya dia memilih diam. Banyak hal yang membuat dirinya berubah, salah satunya adalah jika dia ingat betapa masa lalu sudah sedemikian rupa hampir menghancurkan keluarganya.

"Jendra, coba sekarang kamu buka pesan Papa. Ada perempuan cantik bernama Renata. Dia putri teman Papa dan ... Papa rasa kamu nggak akan keberatan kalau kalian berdua saling berkenalan."

"Papa sama Mama sudah sepakat mengenalkan kamu dengan dia."

Sejenak Rajendra mengangkat wajah membalas tatapan papanya. Setelah hampir tiga tahun berkecimpung di dunia hura-hura, dekat dengan berbagai model perempuan semua itu membuatnya sedikit antipati untuk kembali mengenal perempuan, terlebih dia paham apa maksud dan tujuan papanya.

"Papa mau menjodohkan Jendra, begitu, kan?"

"Tepat sekali!"

Kembali Jendra bungkam.

"Kenapa bengong? Kamu nggak penasaran seperti apa paras perempuan yang fotonya ada di ponselmu?"

Jendra menyeringai samar lalu menggeleng.

"Terserah Papa aja. Yang penting dia perempuan baik-baik dan ...."

"Dan?"

"Nggak pernah kenal dunia malam seperti Jendra dan ...."

"Dan?"

"Perawan!"

Kening Pramudya berkerut mendengar jawaban sang putra. Perawan! Sementara dia tahu bagaimana status Renata. Putri dari Romi itu sudah ternoda tanpa dia tahu siapa. Miris memang, tetapi dia tidak ingin perusahaan yang dirintisnya harus begitu saja diambil alih oleh Romi.

Menyadari sang papa membisu, Jendra memiringkan kepalanya menatap intens.

"Kenapa, Pa? Apa ada yang salah dari ucapan Jendra tadi?"

Pramudya menggeleng.

"Kenapa harus seperti itu syaratnya?"

"Kenapa? Karena Jendra merasa perempuan sekarang itu semuanya nggak ada yang seperti Jendra utarakan tadi! Apalagi perempuan yang notabene anak seorang konglomerat seperti teman Papa itu!"

"Jendra hanya nggak mau lagi bersinggungan dengan masa lalu, Pa. Jendra masih punya banyak rencana untuk hidup Jendra."

"Papa tahu, tapi itu bukan berarti semua perempuan sama di mata kamu, Jendra! Dan Papa rasa kamu juga tidak sempurna seperti yang perempuan inginkan, kan?"

Paras pria beralis tebal itu sedikit berubah, tetapi kemudian dia menautkan kedua alisnya.

"Pa. Sebagai pria yang sudah berubah, nggak ada salahnya, kan meminta kriteria seperti yang diinginkan?"

Pramudya menarik bibirnya ke samping. Dia tahu seperti apa sepak terjang sang putra di masa lalu, dia juga paham jika sikap Jendra kini telah banyak berubah terlebih dalam mencari pendamping. Itu juga sebabnya jika hingga saat ini Rajendra putranya itu belum pernah mengutarakan keinginannya untuk menikah. Jangankan untuk menikah, mengenalkan pasangannya saja belum pernah.

"Jendra! Kamu berkata seperti itu seolah-olah kamu sudah tahu Renata. Dia itu perempuan baik-baik!"

Jendra mengerucutkan bibirnya kemudian menyeringai.

"Pa, apa Papa lupa seperti apa circle pertemanan Jendra beberapa waktu lalu?" tanyanya seraya bersandar di bahu kursi. "Jendra tahu seperti apa pergaulan mereka."

"Tapi, Jendra. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Dia ...."

"Oke, Pa. Oke. Jendra ikuti aja apa yang Papa mau. Demi Mama dan ... demi perusahaan Papa, kan?"

Pramudya terdiam. Sekali lagi dia harus mengakui putranya lebih bisa membaca ke mana arah maksud pembicaraan ini bermuara. Meski dia tahu bagaimana putri dari Romi itu, tetapi dia memilih untuk tidak mengungkapkan kepada sang putra.

"Oke! Kapan jadwal yang sudah Papa rencanakan?"

Pramudya mengendorkan dasinya mengalihkan rasa terkejut.

"Kapan kamu ada jadwal kosong?"

Jendra menaikkan alisnya kemudian menggeleng.

"Jendra ngga ada jadwal kosong, Pa. Pekerjaan menumpuk. Papa tahu dong?"

"Jendra ... ini penting buat kamu. Buat masa depanmu dan ...."

"Buat masa depan Jendra? Really? Bukan masa depan perusahaan ini, Pa?"

"Jendra!" sentak Pramudya. "Apa kamu sudah memiliki pilihan lain untuk pendampingmu?"

Pria berkemeja putih dengan lengan digulung hingga siku itu menarik bibirnya singkat. Sedikit bayangan masa lalu kembali melintas. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya jika teringat masa silam.

"Oke, Pa. Jendra anggap ini upaya Jendra untuk membahagiakan Mama juga Papa. Kapan pun Papa ajak. Jendra luangkan waktu untuk itu."

**

Renata menyimak penjelasan Romi soal rencana perkenalan dengan Jendra. Dari parasnya, tampak Renata sama sekali tidak tertarik. Dia hanya menarik singkat bibirnya kemudian menarik napas dalam-dalam sepanjang Romi bercerita.

"Renata."

"Iya, Pa?"

"Kamu mau mengubah hidupmu, kan?"

Menarik napas dalam-dalam, kembali bibirnya terangkat.

"Hidup Renata sudah berubah sejak malam itu, Pa. Renata bahkan nggak tahu seperti apa kelak garis hidup Renata."

"Renata," sela Diah.

"Memang seperti itu adanya, Ma. Renata nggak yakin pria yang akan Papa kenalin ke Renata akan menerima keadaan kotor Renata di masa lalu," imbuhnya dengan senyum getir.

Diah bangkit dari duduk, dia lalu mendekati sang putri dan membelai lembut rambutnya.

"Sayang ... semua orang punya masa lalu, seburuk apa pun masa lalu seseorang, dia tetap layak untuk mendapatkan masa depan seperti apa yang dia usahakan," tutur Diah bijak.

"Tapi Mama nggak tahu, kan? Apa yang ada di kepala pria itu nanti ketika tahu kondisi Renata, Ma. Jadi sebaiknya ... nggak perlu mengenalkan atau menjodohkan Renata dengan pria mana pun!" keluh Renata, seolah tahu maksud kedua orang tuanya.

Romi dan Diah saling tatap. Ternyata waktu satu tahun tidak cukup untuk membuat putri mereka 'kembali.' Renata masih terpuruk meski tidak seburuk awal-awal dulu.

"Renata, Papa juga Mama nggak ingin melihat kamu terus bersembunyi di rumah, Sayang. Kamu cantik! Kamu punya banyak keahlian, kamu bisa menggunakannya fasilitas yang Papa punya dan apa pun yang kamu inginkan akan Papa beri."

Renata memamerkan dekikan di pipi. Kedua orang tuanya memang orang yang paling bisa menerima keadaannya. Mereka bahkan tetap berdiri tegak di kala sebagian orang mencibir.

Sebenarnya mudah saja bagi Renata untuk pergi menenangkan diri ke luar negeri, tetapi itu tak dilakukan karena baginya, bersama dengan orang tua tidak pernah bisa digantikan terlebih di masa-masa sulit kala itu.

"Makasih, Pa. Makasih, Ma. Renata paham maksud Papa juga Mama, tapi Renata takut jika perkenalan itu terjadi, Mama dan Papa akan kecewa karena mereka tahu Renata adalah korban pemerkosaan yang merupakan aib seumur hidup."

"Cukup, Renata. Apa pun yang nanti reaksi mereka, Mama dan Papa sudah siap. Kami, dan kedua orang tua pria itu sudah kenal.lama. kami sudah memiliki hubungan yang sangat baik, jadi sebaiknya kamu ikuti saja permintaan kami, Nak." Dia kembali bertutur kali ini dengan merangkul putrinya.

Tak ada lagi penolakan dari Renata, dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam seraya bermonolog bahwa dirinya kini hanya akan menjalani hidup untuk membuat kedua orang tuanya bahagia. Karena sudah cukup lama Mama dan papanya ikut sedih dengan kondisi jiwanya.

**

Jendra memalingkan wajah ke jendela setelah menatap lama foto di galeri ponselnya. Foto kiriman dari Pramudya.

Pesona kesempurnaan wajah khas perempuan Indonesia ada pada setiap pahatan di wajahnya. Hidung mancung, bulu mata lentik, rambut lebat dan kulit bersih semua kesempurnaan seperti diciptakan untuknya. 

Pria berkaus putih itu meletakkan ponsel ke ranjang lalu melangkah ke balkon. Enam bulan sudah dia menempati rumah pribadinya. Rumah yang dia beli dan desain sendiri itu sangat nyaman.

Sejenak dia tersenyum lalu menarik napas dalam-dalam. Kepalanya menengadah seolah berharap keinginannya untuk mengulang waktu agar bisa memperbaiki perbuatan masa lampau terwujud.

**

Tiga bab pertama untuk pertama kalinya spesial di WP untuk pembacaku tersayang. Boleh tinggalkan komentar Andah, Cantik? Hi-hi

Jan lupa vote-nya. Eh iya, sampe sini, suka tak?

*

Terima kasih sudah berkunjung 🙏💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top