Pernikahan Sena
"Pernikahan mereka sudah satu pekan yang lalu, dan malam ini mereka merayakannya, begitu yang Mama dengar." Ucapan mamanya kembali terngiang. Satu pekan, itu artinya pernikahan mereka hampir sama saja dengan pernikahan dia dan Jendra.
Renata duduk di ruang tamu menunggu sopir yang dijanjikan suaminya. Tak lama terlihat mobil berhenti di depan pagar. Seorang pria paruh baya dengan baju setelan gelap keluar dari sana. Senyum Renata muncul. Dia bangkit kemudian bergegas mendekat.
"Pagi, Bu. Saya Slamet sopir kantor. Pak Jendra meminta saya untuk menjemput Ibu untuk ke butik." Sopan pria itu bertutur.
"Iya, Pak. Terima kasih. Kita bisa berangkat sekarang."
Slamet membungkuk sopan. Dia berjalan lalu membukakan pintu untuk istri majikannya. Kembali Renata mengucapkan terima kasih.
Mobil meluncur menuju butik yang Renata sendiri belum tahu di mana dan seperti apa butik yang akan dia datangi. Akan tetapi, menurut Slamet, butik milik teman mama Jendra itu berada di tengah kota dan tak jauh sebenarnya dari kantor Jendra.
"Tempat itu sering didatangi orang yang hendak menikah juga, Bu," terang Slamet dari balik kemudi. "Saya beberapa kali nganterin Bu Ana ke sana, setelahnya beliau minta diantar ke kantor Mas Jendra," imbuhnya.
Segaris senyum tercetak di bibir Renata. Jendra pribadi yang menarik baginya. Meski baru saja kenal, entah kenapa dia merasa tidak asing dengan pria itu. Terlebih aroma parfum yang dikenakan.
"Eum ... Pak," panggil Renata yang duduk di kursi belakang.
"Ya, Bu?"
"Apa Bapak sering mengantar Mas Jendra pergi?"
"Maksud Ibu?"
Renata kembali tersenyum.
"Enggak, saya cuma pengin tahu saja ke mana Mas Jendra sering pergi. Sebab semenjak saya jadi istrinya, Mas Jendra jarang pergi kecuali untuk urusan kerjaan."
Slamet mengangguk.
"Mas Jendra sejak lama sudah tidak lagi pergi untuk nongkrong, Bu," jawabnya. "Kalau dulu Pak Jendra memang suka nongkrong di tempat hiburan malam, tapi semenjak Bu Ana sakit-sakitan, Pak Jendra memilih untuk tidak seperti itu lagi."
Renata mengangguk paham. Entah kenapa tiba-tiba dia ingin mengulik tentang Jendra, terlebih saat mengetahui ada nama Ranu di kontak teleponnya waktu itu. Apakah dulu Jendra juga kenal dengan Ranu? Apakah itu artinya Jendra kenal dengan Dea? Jika kenal, apakah mungkin Jendra juga tahu tentang dirinya? Kembali beragam tanya muncul di benak Renata.
"Sudah sampai, Bu."
"Oh sudah sampai ya?" Dia tersentak dari lamunan.
"Silakan, Bu. Saya tunggu di luar. Kata Bapak saya diminta menunggu Ibu. Kalau Ibu butuh sesuatu, Ibu bisa langsung telepon Bapak, begitu pesannya," papar Slamet saat membukakan pintu.
"Iya, Pak. Terima kasih ya."
"Sama-sama, Bu."
**
Kedatangan Renata disambut hangat oleh dua karyawan di sana. Sejenak Renata menyapu seluruh ruangan. Ruangan luas dengan mementingkan kenyamanan dan privasi pelanggannya. Ini bisa dia simpulkan karena meski tempat ini bisa dikunjungi siapa saja, tetapi ada seperti fasilitas istimewa bagi calon pengantin jika ingin berkonsultasi lebih detail soal gaun yang akan dikenakan terutama bagi mempelai perempuan.
"Silakan, Ibu. Tadi suami Ibu sudah menelepon owner kami. Beliau menyampaikan kepada kami untuk melayani keinginan Ibu," tutur salah satu dari perempuan di depannya.
Renata mengangguk seraya tersenyum.
"Iya. Saya butuh gaun untuk pesta pernikahan teman malam nanti," jelas Renata.
"Baik, mari ikut kami," ajak karyawan yang mengenakan blazer berwarna lilac itu.
"Oke!"
Baru saja Renata hendak mengekori karyawan itu, matanya menangkap pasangan yang begitu dia kenal hendak keluar. Keduanya tampak kompak mengenakan pakaian serupa. Sesekali terlihat si perempuan menggelayut di lengan si pria.
"Renata!" seru Dea. Perempuan itu sedikit menarik sang pria yang tak lain adalah Sena untuk mendekat.
"Hai, Dea!" jawabnya seraya menyambut uluran tangan perempuan yang seolah enggan melepas tangannya dari lengan Sena.
"Apa kabar?"
"Baik!"
"Eum ... kamu sudah terima undangan dari kami, kan?" Dea kembali bertanya.
"Sudah."
"Syukurlah! Kami tunggu malam nanti."
Renata hanya mengangguk sambil tersenyum. Tak ingin mata Sena terus memindainya, gegas dia mengajak karyawan butik itu untuk melanjutkan tugasnya.
"See you, Renata!"
Mengangguk, Renata kembali melempar senyum kepada Dea. Sementara Sena hanya membisu dengan mata seolah enggan melepas pandangan kepadanya
**
Jendra menelisik paras sang istri. Meski diakuinya Renata terlihat sangat cantik malam itu, tetapi tampak tergambar di matanya kesedihan.
"Kamu kenapa?"
Perempuan yang mengenakan gaun panjang berwarna merah off solder dengan gaun bersiluet mermaid itu menoleh lalu menggeleng.
"Kita berangkat sekarang?"
Renata mengangguk.
"Oke, kamu tunggu aku di mobil. Aku nyusul sebentar lagi!"
Tak menyahut, Renata mengayun langkah menuju garasi. Sementara Jendra membalas pesan Ranu.
[Kamu tahu siapa istrimu, Jendra?]
[Kamu pikir dia perempuan sempurna seperti yang kamu inginkan?]
[Jangan pura-pura lupa. Kamu nggak ingat bagaimana dulu kamu memperlakukan perempuan? Ada berapa banyak perempuan yang kamu ajak ke ranjang?]
Jendra mengaktifkan mode pesawat di ponselnya lalu bergegas ke menyusul Renata yang sudah menunggu di mobil.
**
Suasana pesta terasa sangat meriah. Tak heran karena Hardi Subakti adalah salah satu dari pengusaha terkaya. Beberapa teman menyapa Renata yang digandeng erat sang suami. Sesekali terlihat beberapa tamu berbisik saat dilewati oleh mereka.
Tampak di pelaminan wajah kedua mempelai berseri-seri, terlebih Dea. Perempuan putri keluarga Guntur itu terlihat selalu tersenyum lebar. Sementara Sena hanya sesekali menanggapi.
"Yang teman kamu yang mana? Pria itu atau perempuan itu?" Jendra berbisik.
Mereka berdua tengah antre untuk bersalaman dengan pengantin dan keluarganya.
Renata menoleh sehingga hampir saja bibir keduanya saling bersentuhan.
"Dua-duanya ... temanku."
Jendra menaikkan alisnya seraya mengangguk.
"Dea, sepertinya aku nggak asing dengan wajahnya."
Kali ini Renata menegang mendengar ucapan Jendra.
"Kamu akrab dengan dia?" bisiknya lagi.
Kali ini Renata tak menyahut, dia menoleh karena dicolek seseorang dari belakang.
"Karina!" serunya dengan mata berbinar. Karina terlihat datang bersama sang suami.
"Haii! Kamu cantik banget!"
"Thank you!"
Rico suami Karina menyalami Jendra, lalu keduanya terlihat saling mengobrol ringan. Renata menarik napas lega setidaknya dia tidak merasakan diinterogasi di pesta itu.
Meski kini dirinya harus memutar otak untuk menjelaskan semuanya setelah pesta nanti. Renata akhirnya bisa tahu jika Jendra sama sekali tidak mengetahui sejarah hidupnya yang kelam.
Suka tidak suka, suaminya harus tau dan dia ... harus bisa menerima apa pun nanti ucapan bahkan keputusan Jendra untuknya.
"Renata? Tante senang kamu datang," sapa Mira- mama Sena- ramah. "Mama sampai hampir nggak kenal, iya, kan, Pa? sambungnya menatap Hardi sang suami.
Pria bertubuh subur itu mengangguk tersenyum. Kedua orang tua Sena setahun yang lalu menjadi orang yang sangat menentang hubungan putranya dan Renata saat tahu jika kekasih sang putra telah kehilangan kehormatannya malam saat pesta itu.
Namun, entah kenapa kini keduanya tampak begitu ramah melihat Renata.
"Makasih, Tante. Oh iya ini suami Renata, Om, Tante," tuturnya menoleh ke samping. Jendra tersenyum mengulurkan tangannya seraya menyebut nama.
"Kamu makin cantik, Renata!" Pujian Mira ditanggapi senyum, dia lalu melangkah ke Dea.
"Selamat, Dea. Aku turut bahagia," ungkap Renata saat bersalaman.
"Thank you. Aku juga bahagia kamu datang."
"Kamu tahu bagaimana bahagianya aku malam ini? Aku tahu bagaimana rasa cintamu kepada Sena!" bisiknya tepat di telinga Renata. "Terima kasih sudah menjadi baik untukku!"imbuhnya lalu membuat jarak seraya tersenyum.
Tak ingin berlama-lama dan bertanya perihal ucapan Dea, Renata menghampiri Sena yang terlihat canggung.
"Selamat, Sena. Kamu sudah menemukan perempuan yang kamu cari selama ini. Aku bahagia untuk itu."
"Renata ...," panggilnya pelan seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi Jendra cepat mengulurkan tangan sambil mengucapkan selamat untuk Sena.
Setelah menyalami orang tua Dea yang berdiri di sebelah Sena, mereka berdua menjauh dari pelaminan.
"Lalu, kita mau ngapain lagi?"
"Mas nggak mau makan?"
Jendra menggeleng. "Kalau kamu mau makan silakan. Aku menunggu di luar."
Renata menarik napas dalam-dalam. Otaknya kembali teringat ucapan Dea barusan.
"Baiklah kalau begitu, kita pulang sekarang."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top