Pernikahan Kilat
"Aku speechless banget! Speechless kamu akhirnya bisa kembali membuka hati. Lebih speechless lagi secepat ini kamu memutuskan menikah, Renata!" Karina berdiri di belakang Renata yang tengah menatap dirinya dari pantulan cermin.
Karina adalah satu-satunya teman yang dia percaya sejak peristiwa malam di acara ulang tahun Dea setahun yang lalu. Karina adalah sahabat yang sama sekali tidak pernah memaksa dia untuk segera melupa, Karina juga paling tahu kapan saat dia harus sendiri dan kapan saat dia harus bersama teman.
"Kamu tahu, Karina? Aku sebenarnya juga sama sepertimu. Speechless!" ungkapnya.
Karina tersenyum lalu mendekat. Mereka berdua menatap cermin pada titik yang sama.
"Kamu itu cantik, Renata! Kadang aku iri dengan kecantikan yang kamu punya."
Sejenak Karina menarik napas.
"Rajendra akan bahagia memiliki pendamping hidup sepertimu!" bisiknya.
"Sok tahu!" Renata tertawa kecil. "Aku baru kenal dan dia begitu kaku!" imbuhnya.
"Kaku?" Kirana mengernyit, "kalau kaku, kamu bertugas untuk melemaskan!" kelakarnya menahan tawa dengan alis turun naik.
Mendengar jawaban sahabatnya, Renata hanya tersenyum tipis, lalu menarik napas dalam-dalam mengingat kejadian lampau.
Kini, dia harus harus bisa menata hidup meski dengan pria yang dia sendiri hanya tahu dari perkenalan singkat. Renata hanya tahu jika Jendra adalah putra dari rekan bisnis sang papa.
Romi papanya mengatakan jika Jendra seorang pria pekerja keras sehingga dia hampir bisa dibilang tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan karena seluruh waktunya sudah habis untuk bekerja di anak perusahaan papanya.
Saat ini dia tengah berada di euforia kebahagiaan kedua orang tuanya. Memakai gaun pengantin internasional berwarna putih dengan tiara kecil di kepala membuat dirinya bak puteri raja. Di tangannya menggenggam buket bunga Lily menyempurnakan penampilannya pagi itu.
Semalam dia, dan keluarganya bertolak dan menginap di villa yang sudah dipilih untuk jadi tempat pernikahan. Karina pun ikut bersama suaminya yang baru sebulan dinikahi.
"Aku berharap kamu bahagia, Renata!"
"Aku juga berharap begitu," sahutnya lirih. "Aku takut dan sangat khawatir, apa sebaiknya aku jelaskan seperti apa kondisiku ya, Rin?"
"Kondisi apa? Soal itu? Aku yakin orang tua dia tahu, bukannya kemarin mamamu sudah meyakinkan jika pihak keluarga Jendra sudah paham soal itu?"
Kembali Renata menarik napas dalam-dalam. Keraguan hadir lagi.
"Mungkin keluarganya bisa, tapi dia? Apa mungkin dia tahu atau jangan-jangan ... keluarga dia belum memberitahu, Rin?"
"Renata ...."
"Karina ... secara umum mana ada pria yang mau dengan perempuan bekas dan kotor seperti aku untuk dijadikan ...."
"Stop, Renata! Kamu buka perempuan bekas dan bukan perempuan kotor! Berhenti berasumsi dan menganalisis soal dirimu sendiri di mata orang lain!" potong Karina.
"Ini hari bahagiamu! Rasakan, nikmati!"
"Ck! Kamu pasti bahagia! Kali ini kamu harus bahagia lebih dari siapa pun! Bahkan dari pria brengsek yang akan menikah itu!" tukas Karina dengan penekanan.
Karina tahu seperti apa Sena yang 'membuang' begitu saja sahabatnya tanpa mau mendengarkan penjelasan dari Renata.
Sebenarnya Renata memang sudah bersiap dengan apa pun keputusan Sena kala tahu kondisinya, tetapi ucapan pria itu juga sikap keluarga Sena yang menganggap Renata perempuan yang tidak layak dimaafkan adalah sesuatu yang tidak bisa dia terima.
Renata hanya korban malam itu, dia hanya datang ke pesta ulang tahun yang akhirnya tanpa dia ketahui telah meneguk minuman yang salah sehingga terjadi hal yang sama sekali tidak diinginkan.
"Menikah dengan pria yang baru kukenal dan sangat dingin, itu bukan impianku. Tetapi untuk perempuan seperti aku, bukankah seharusnya tidak boleh bermimpi?"
Karina menggeleng.
"Ini hari bahagiamu! Ucapkanlah hal-hal yang baik, Ren! Singkirkan semua hal buruk yang menghantui!"
"Sayang, calon suamimu sudah siap membacakan ijab kabul." Diah muncul di pintu yang terbuka sedikit. "Ayo keluar!" titahnya.
"Mari calon nyonya Rejendra, saya antar keluar menemui Tuan Rajendra ...." Goda Karina seraya membungkukkan tubuhnya.
"Ngaco!" Renata tertawa kecil.
"Baru kali ini aku bisa kembali melihat tawa itu lagi, Rena!" ungkap Karina bahagia.
Senyum manis terukir di bibirnya, kemudian perlahan melangkah ke luar kamar.
**
Ucapan syukur dan doa terucap dari seluruh yang hadir di acara akad nikah Renata dan Rajendra. Jendra dengan lancar mengucapkan kalimat singkat, tetapi sebagai awal dari perjalanan panjang.
Wajah kedua keluarga tampak berseri dan tentu saja dengan sang mempelai. Sesi foto tentu tak dilewatkan, terlebih ketika untuk pertama kalinya Jendra mengulurkan tangannya menyambut tangan Renata. Terlihat wajahnya sedikit tegang kala jemari lentik sang istri menyentuh tangannya. Dengan takzim perempuan yang baru saja berubah status menjadi istri Jendra itu mengecup punggung tangannya.
Seluruh hadirin kembali mengucap syukur sembari bertepuk tangan. Tampak Karina sibuk mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya.
Mereka lalu menuju lokasi pesta yang berada di halaman villa. Dekorasi berwarna putih dengan bunga lili yang juga berwarna putih kontras dengan pemandangan hijau di sekeliling villa.
Cuaca cerah dengan angin sepoi-sepoi seolah ikut merayakan kebahagiaan hati ini. Seperti yang diinginkan Jendra, hanya keluarga dekat serta sahabat saja yang hadir di hari sakralnya. Meski begitu sama sekali tidak menghilangkan kemeriahan pesta pernikahan mereka.
Jendra berulangkali harus mengangguk saat para rekan mengucapkan selamat dan berbisik mengomentari penampilan istrinya. Pria bermanik hitam itu tersenyum singkat sesekali melirik ke samping seolah ingin memastikan jika ucapan semua rekannya benar.
Sungging senyum tercetak di bibirnya kala tak sengaja mata Renata dan matanya bersirobok.
"Kamu ... cantik!" tuturnya kemudian kembali menyambut uluran tangan para tamu.
Renata yang terkejut mendengar pujian suaminya, mendongak dengan senyum ditahan.
"Tadi bilang apa?" tanyanya mencoba mencairkan suasana. sebab sejak mereka di depan penghulu hingga di pelaminan, baru kali ini saling sapa.
Jendra hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengaminkan doa para rekan yang menyalaminya.
"Aku nggak bilang apa-apa! Aku cuma bilang cuaca cerah. Itu aja!" jawabnya menoleh sejenak.
"Tapi tadi perasaan nggak bilang begitu deh!" Renata menarik bibirnya lebar masih menatap sang suami.
"Berarti itu cuma perasaan kamu aja. Udah ah! Tuh ada temanmu!" Jendra menunjuk dengan dagunya saat Karina dan suaminya mendekat.
**
Renata menatap hamparan kebun teh dari balkon, semua keluarga sudah pulang. Kini hanya tinggal dia, Jendra dan dua pelayan di villa itu. Piyama berbahan satin berwarna merah muda membungkus tubuh semampainya. Tidak ada di pikirannya tentang malam indah sepasang suami istri seperti yang kerapkali dia baca di banyak novel dan cerita nakal Karina saat pertama kali seranjang dengan Rico suaminya.
Renata bersyukur karena Jendra justru sibuk di lantai bawah. Pria itu tampak serius dengan laptopnya. Sesaat sebelum dia naik ke lantai atas tadi, Jendra sempat berpesan agar dirinya beristirahat.
"Kamu bisa panggil Bik Sundari kalau butuh sesuatu!" ujarnya datar tanpa menatap.
Diperintahkan seperti itu, dia hanya mengangguk lalu cepat menuju lantai atas.
Menarik napas, Renata melipat kedua tangannya ke dada. Cuaca dingin mulai menusuk, perempuan beraroma strawberry itu masuk setelah menutup rapat pintu kamar.
Kamar besar itu sangat indah karena memang dihias sedemikian rupa sebagaimana kamar pengantin. Taburan mawar merah menjadikan suasana romantis, meski tak ada kegiatan apa pun di tempat itu selain Renata yang merasa lelah. Aroma bunga yang menyeruak membuatnya rileks, sehingga tanpa menunggu lama, perempuan berkaki jenjang itu terlelap ke dunia mimpi.
**
Terima kasih sudah mampir ke cerita ini.
Salam hangat. Semoga hari ini dan seterusnya selalu menyenangkan 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top