Perlahan terurai
Devan menelisik pria di depannya yang sejak kepergian istrinya tidak bisa fokus. Bahkan pria itu semakin uring-uringan.
"Bro! Bisa nggak sih jangan mencampurkan urusan kerjaan dengan urusan pribadi?" tegur Devan serius.
Jendra mendorong laptopnya seraya menggeleng.
"Ini semua gara-gara kepergian Renata! Sial!" Wajahnya terlihat tegang.
Menaikkan alisnya, Devan menggeleng cepat sambil tersenyum.
"Sampai kapan kamu bisa mengubah diri, Jen? Selalu saja orang lain yang kamu salahkan!"
"Sekarang kamu membelanya? Sudah jelas dia salah meninggalkan rumah!" tampik Jendra.
Devan kembali menggeleng.
"Setahuku yang belum berumah tangga ini, perempuan akan melakukan hal itu pasti karena ada sebab. Pasti ada pemicunya, Jen! Lalu apa lagi pemicunya jika bukan kamu? Emangnya seperti apa sih sampai dia pergi dari rumah?"
Jendra menghela napas dalam-dalam. Dia kemudian bangkit berjalan menuju jendela kaca yang berada di sebelahnya. Memandang ke bawah terlihat semuanya kecil. Mobil yang melintas memenuhi jalan begitu rapat dan terlihat mungil, bahkan seperti tak ada manusia di bawah sana.
Seperti itulah yang kini dia rasakan saat mendengar ucapan Devan. Dia memang selalu menatap orang lain yang bersalah tanpa pernah menyadarinya bahwa dirinya juga memiliki salah. Sama seperti saat ini. Dia melihat dari atas semuanya kecil, tetapi terkadang lupa jika mereka yang di bawah juga melihat ke atas dan mendapati sama kecilnya.
"Devan!"
"Ya, Jen?"
"Kamu tahu seperti apa awal pernikahanku, kan?" tanyanya sambil membalikkan badan.
Devan mengangguk.
"Kamu juga tahu aku pernah jadi pria berengsek, kan?"
Kembali rekannya itu mengangguk.
"Renata itu ...." Jendra menggantung kalimatnya.
"Kenapa Renata?"
"Dulu kupikir dia sama seperti perempuannya hedon lainnya. Apalagi ... you know lah seperti apa anak pengusaha kaya pada umumnya. Aku bilang pada umumnya, karena ... aku tahu nggak semua seperti itu."
Devan menyipitkan matanya mendengar perkataan Jendra.
"Sebenarnya apa yang mau kamu bicarakan? Nggak usah berbelit-belit, Jen!"
Jendra bersandar di dinding dengan melipat kedua tangannya di dada.
"Dia pernah depresi setahun lamanya karena diperkosa!" Jendra kemudian menarik napas dalam-dalam.
"Lalu?"
Pria bermata tajam itu mengedikkan bahu. Pikirannya tiba-tiba teringat pada malam di saat dia mabuk berat. Sebelumnya dia dan beberapa teman memang sedang bertaruh kegilaan. Mereka sepakat minum dan membawa salah satu tamu perempuan untuk bersenang-senang di ranjang.
Mengingat kejadian itu, Jendra menggeleng cepat. Entah kenapa dia benci pikirannya. Bukankah kota ini luas? Bukankah perempuan di kota ini banyak, dan malam itu? Ah tentu saja apa yang menimpa Renata tidak pada tanggung jawabnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin hal yang dia pikirkan itu benar adanya. Apakah kejadian malam itu dia bersama Renata? Jika iya, mana buktinya?
Dea dan Ranu! Mereka mungkin tahu soal ini.
"Devan!"
Pria yang dipanggil itu menoleh.
"Kamu selidiki Ranu! Aku rasa dia tahu benang merah dari ini semua!"
"Oke! Kemarin aku nggak sengaja ketemu Ranu sama perempuan itu," ujar Devan seraya menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi.
"Dea maksudnya?"
Pria berkemeja hitam itu menaikkan alis lalu mengangguk.
"Mereka memang dekat sejak lama sepertinya," gumam Jendra masih berada di tempatnya. "Apa jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa?" putus Devan.
Jendra mengatupkan bibirnya kemudian menggeleng samar. Dia sendiri tidak berani mengambil kesimpulan secepat itu sebelum tahu hal yang sebenarnya terjadi.
"Jendra! Apa yang kamu pikirkan?"
"Kalau benar yang terjadi, maksudku ...." Jendra mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. "Apa malam itu dia di sana juga? Apa itu artinya ... aarghhh! Sial!"
Jendra meninggalkan ruangannya dengan sedikit berlari. Sementara Devan mengernyit tak mengerti kemudian bangkit dan berlari mengekori rekannya.
"Jendra! Tunggu! Kamu mau ke mana!" seru Devan saat berada di parkiran.
"Aku mau temui Ranu!" jawabnya seraya masuk mobil.
"Aku ikut!"
Memasang sabuk pengaman, Jendra melajukan mobilnya ke kantor Ranu. Wajahnya terlihat tegang, berkali-kali dia mengumpat seraya mengusap wajahnya.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin ke tempat Ranu? Bukannya kamu tadi nyuruh aku untuk ...."
"Aku mau langsung ketemu dan tanya soal Renata!"
Devan menoleh seraya memiringkan kepalanya.
"Aku nggak ngerti, kenapa justru soal Renata? Apa itu artinya ...."
"Aku harus tahu apakah Renata juga datang saat pesta itu dan jika benar ada dia di sana itu artinya ...."
"Kamu pria berengsek yang dibilang papamu?" Devan meneruskan kalimat menggantung dari Jendra.
Jendra melirik tajam kemudian kembali fokus mengemudi.
"Kamu pikir ini lelucon, Dev?" sergahnya.
"Hei! Aku nggak menganggap ini hal lucu, tapi kalau pun memang itu sebenarnya yang terjadi ... sepertinya kamu akan menerima akibat buruknya."
Tersenyum singkat, Devan menggeleng sambil menepuk pundak Jendra.
"Tapi aku kenal kamu, aku yakin kamu bisa menghadapi ini semua. So, kita lihat aja nanti. Apa yang akan kita dengar!"
**
Renata mengunci mulut. Dia selalu mengalihkan pembicaraan ketika mamanya bertanya soal Jendra. Kemarin tanpa diduga, Diah datang ke rumah peninggalan ibunya dan mendapati Renata di sana. Karena merasa tak biasa, sebagai seorang mama, dia tergelitik untuk bertanya. Akan tetapi, sama sekali dia tak mendapatkan jawaban apa pun.
"Renata, kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama?"
"Nggak, Ma. Nggak ada yang Rana sembunyikan. Rena di sini karena pengin menepi aja sambil belajar masak," jawabnya sambil tertawa kecil.
"Sudah berapa lama di sini? Lalu Jendra, apa dia tahu kamu di sini?"
Renata menarik napas dalam-dalam.
"Mama, kan, Renata udah bilang kalau Mas Jendra sibuk banget akhir-akhir ini. Jadi biarkan dia fokus dulu sama kerjaannya," tuturnya beralasan.
Diah sama sekali terlihat tidak percaya dengan penjelasan itu. Perempuan paruh baya itu menggeleng cepat.
"Sayang, bilang ke Mama, apa kamu tidak diperlakukan dengan baik oleh suamimu?" Kali ini wajah Diah terlihat lebih serius.
"Mama, bukannya Mama pernah bilang ke Renata, jika dalam berumah tangga akan selalu ada cobaan?"
Diah membalas tatapan puterinya lalu mengangguk samar.
"Dan menurut Mama hal seperti itu biasa terjadi, kan, Ma?"
Kembali mamanya mengangguk. Sejenak ruangan berdinding kayu jati itu senyap. Lukisan pemandangan karya almarhum kakek Renata masih indah menempel di dinding. Lampu hias kuno menggantung indah di ruangan itu.
"Jadi kamu sedang bermasalah dengan suamimu?" Suara Diah tak lagi ingin tahu.
"Iya, Ma. Mama jangan khawatir, semua bisa diselesaikan, kok." Renata tersenyum tipis.
"Renata, boleh Mama kasi saran?"
"Boleh, Ma."
"Ada baiknya kamu kembali ke rumah kalian. Jangan pernah pergi dari rumah jika terjadi perselisihan dengan suamimu. Itu bukan solusi yang baik," tuturnya dengan suara lembut.
Renata bergeming. Dia tahu, meninggalkan rumah saat ada perselisihan dengan suami adalah bukan hal yang baik dan bukan jalan keluar, tetapi jika mengingat bagaimana Jendra telah sedemikian rupa menuduh dan memperlakukannya, menurut Renata itu sudah cukup baginya sebagai alasan kenapa dia harus pergi dari rumah itu.
"Iya, Ma. Renata paham. Nanti Renata akan balik ke rumah, tapi untuk saat ini biarkan Renata di sini dulu."
Diah mengangguk seraya menarik napas dalam-dalam.
"Kamu sudah hubungi Jendra? Setidaknya biarkan dia tahu jika kamu baik-baik saja."
Menarik napas dalam-dalam, Renata mengangguk. "Nanti Renata hubungi, Ma."
Diah bersandar di kursi, dia masih merasa puterinya tidak benar-benar akan melaksanakan sarannya.
"Renata."
"Ya, Ma?"
"Apa Jendra mempermasalahkan masa lalumu?
Mendengar pertanyaan Diah, Renata hanya menarik napas dalam-dalam.
"Setiap pasangan terkadang memang berhak tahu seperti apa masa lalu pasangannya, kan, Ma? Itu hak Mas Jendra jika mempermasalahkan. Buat Renata hal itu wajar dan ... sudah biasa," jawabnya lirih.
"Apa ini alasan kamu hingga pergi dari rumah?" Wajah Diah mendadak terlihat gusar.
"Apa betul begitu, Renata? Katakan ke Mama!"
Renata tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Mama, Renata sudah terbiasa dengan hal itu, dan biarkan Renata belajar untuk lebih bisa menerima apa pun pandangan orang terhadap Renata. Itu hak mereka. Termasuk Mas Jendra, Ma."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top