Perhatian Renata
Haii ... mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Aku mau koreksi lagi perbabnya ini sebab ada beberapa yang loncat loncat keknya. Selamat membaca ulang yaa. Terima kasih koreksinya.
**
Malam kian merangkak, hujan seolah enggan berhenti. Guntur menggelegar dan kilat masih terlihat. Renata merapatkan selimut mencoba senyaman mungkin menikmati istirahat malamnya. Dia berusaha mengabaikan pikirannya soal Jendra.
"Aku nggak pernah memintanya untuk tinggal di sini. Aku juga nggak pernah memohon padanya untuk berada di dekatku! Terserah apa maunya!" gumamnya lirih seraya kembali merapatkan selimut.
Namun, sekuat apa pun dia mencoba abai, tetap saja otak dan hatinya kembali pada pria itu. Bahkan matanya pun enggan terpejam karena selalu terbayang paras suaminya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, dan dia belum bisa memejamkan mata meski sekejap. Kesal dengan pikirannya, Renata bangkit mencoba mencari tahu apakah mobil Jendra masih ada di luar.
Membuka pintu perlahan, dia berjalan menuju jendela. Berharap pria dan mobilnya sudah tak lagi ada di sana. Akan tetapi, Renata salah! Mobil itu tetap ada di tempat semula. Perempuan itu membuang napas menyadari jika ucapan Jendra tidak main-main. Renata menarik napas dalam-dalam kemudian memutar badannya berniat kembali ke kamar dengan segudang kesal.
Namun, langkahnya terhenti, tiba-tiba rasa iba muncul mengingat di luar pasti sangat dingin dan mungkin pria itu sedang lapar dan membutuhkan minuman hangat.
Mencepol rambutnya, dia melangkah ke dapur membuatkan minuman jahe instan dan krim sup instan seperti yang dia nikmati tadi. Asap mengepul, minuman dan makanan hangat sudah siap. Akan tetapi, Renata mematung menatap hidangan itu.
Dia berpikir jika dia yang mengantar ke Jendra, pria itu pasti berpikir jika Renata telah luluh dan mengabaikan apa yang pernah Jendra perbuat padanya. Sementara yang terjadi tidak seperti itu. Renata masih butuh waktu untuk dirinya sendiri untuk berpikir apa yang terbaik bagi dia dan tentu saja calon bayi yang ada di rahimnya.
Pria memang terkadang semudah itu melakukan kesalahan dan semudah itu pula meminta maaf. Mereka tidak tahu bagaimana sulitnya bangkit dan mencoba berpikir panjang tentang hal yang mungkin sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh pria.
Menyingkirkan luka tidak semudah membuat pintu maaf. Mungkin bisa memanfaatkan, tetapi untuk melupakan butuh banyak waktu dan segudang alasan untuk bisa dipahami untuk diri sendiri atau untuk dipahami oleh orang lain.
Kembali gelegar guntur seolah memecah cakrawala. Renata tersentak dari lamunannya, dan kembali menatap kedua hidangan di depannya.
"Mbak, Renata? Kenapa di dapur? Mbak lapar?" Suara Ida muncul tiba-tiba di sebelahnya.
"Bu Ida?"
"Iya, saya dari kamar mandi. Saya lihat Mbak di sini lagi ngelamun," terangnya seraya menatap makanan di depan Renata. "Eum ... Mbak mau maka lagi?"
Perempuan bertubuh semampai itu menggeleng seraya merapikan cepolan rambutnya.
"Terus ini untuk siapa?"
Sejenak Renata berpikir, kedua sudut bibirnya terangkat singkat.
"Saya minta tolong Ibu berikan ini ke orang yang ada di mobil di depan itu, Bu," pintanya.
Kening Ida mengernyit. Tanpa memberi jeda untuk Ida bertanya lebih lanjut, Renata meletakkan mangkuk dan cangkir di depannya itu ke nampan.
"Ibu tolong antar ya. Nanti keburu dingin ini minuman juga makanannya!" Dia menyodorkan nampan ke Ida dengan bibir melebar.
"Mbak, tapi beneran yang di dalam sana orang baik?" Tampak Ida masih mempertanyakan hal yang sama seperti beberapa jam yang lalu.
Kali ini Renata tertawa geli seraya menggeleng.
"Saya tahu dia siapa, Bu. Jadi saya yakin kalau dia orang baik," jelasnya.
Ida mengangguk lalu membawa nampan itu menuju pintu yang sudah dibuka oleh Renata.
"Ibu ketuk dulu pintunya, nampan ibu letakkan di meja teras aja dulu," titahnya.
Mengikuti apa yang diucapkan majikannya, Ida berjalan keluar. Sementara Renata memilih tetap di dalam di balik tirai jendela mengamati dari jauh. Dia melihat Ida mengetuk berkali-kali jendela mobil Jendra sebelum akhirnya terbuka.
Tampak Ida sedikit tergopoh-gopoh menghindari hujan mengambil nampan yang sudah disiapkan. Setelah sedikit basa-basi, Ida kembali ke rumah. Sementara Renata memilih berjalan menuju kamarnya setelah tahu Jendra baik-baik saja.
"Mbak Renata!"
"Iya, Bi?"
Ida terlihat ragu, tetapi jelas bibirnya menahan untuk mengulas senyum.
"Udah diterima sama orang yang di dalam mobil?" tanyanya mencoba bersikap biasa.
"Sudah, Mbak. Dia bilang terima kasih."
Renata mengangguk, tetapi kemudian matanya membulat memindai Ida.
"Ibu bilang apa tadi?"
"Saya bilang ini ada minuman dan makanan hangat dari Mbak Renata, gitu!"
Memejamkan mata sejenak seraya menepuk dahi, Renata menggeleng.
"Kenapa, Mbak?"
"Kenapa Ibu bilang dari saya?"
"Kan memang dari Mbak? Kan, Mbak Renata yang bikin itu semua tadi? Salah ya, Mbak?" Ida balik bertanya dengan ekspresi cemas.
Menarik napas dalam-dalam, perempuan bermata bening itu menggeleng.
"Nggak salah, Bu, tapi seharusnya jangan bilang kalau dari saya. Ibu langsung kasi ke dia aja tadi gitu."
Memajukan bibirnya, Ida terlihat berpikir.
"Emang kenapa, Mbak? Emang dia siapa, Mbak? Mbak nggak selingkuh, kan? Suami Mbak tahu kalau ada orang ganteng lagi deketin Mbak? Eh, Mbak, itu orang yang di dalam mobil tadi kok ganteng banget ya, Mbak? Duku ibunya ngidam apa ya?" celoteh Ida tanpa jeda.
"Sstt, Bu. Siapa yang selingkuh? Orang yang ada di sana itu ...."
"Siapa, Mbak?"
Pintu rumah terdengar diketuk, kedua perempuan yang tengah berbincang itu saling menatap.
"Itu pasti orang ganteng tadi, Mbak. Kenapa ya kok dia ngetuk pintu?"
"Ibu bukain aja, Bu. Tanya dia mau apa, saya ke kamar dulu ya!"
Tanpa memberi kesempatan Ida untuk kembali bertanya, Renata sudah mengambil langkah seribu meninggalkan Ida menuju kamarnya.
Ida gegas membuka pintu, dia tersenyum menatap Jendra yang membawa nampan seraya kembali mengucapkan terima kasih.
Mata pria itu tampak mengedar seolah mencari seseorang yang tentu saja Ida tahu siapa yang dicari.
"Nyari Mbak Renata?" tanyanya setelah menerima nampa dari tangan Jendra. "Mbak Renata istirahat di kamar. Eum ... kalau boleh tahu Mas ini siapa?"
"Eum ... saya ...." Jendra menahan kalimatnya. Dia terlihat berpikir sejenak, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. "Saya suaminya. Suami Renata, Rajendra Biantara, Bu!" Suara Jendra terdengar tegas seraya mengulurkan tangan sopan, mengajak perempuan paruh baya itu berjabatan.
Tertegun dengan ucapan pria atletis di hadapannya, Ida menarik bibirnya perlahan seraya menerima jabat tangan Jendra.
"Saya Bu Ida. Saya yang biasa menunggu rumah peninggalan nenek Mbak Renata," jelasnya.
"Oh, jadi Mas ini suami Mbak Renata?" tanyanya mencoba meyakinkan.
"Iya, Bu."
"Kalau begitu, silakan duduk, biar saya panggilkan Mbak Re ...."
Jendra menggeleng cepat seraya berkata, "Nggak usah, Bu. Dia pasti lelah dan butuh istirahat. Eum ... saya cuma mau numpang ke kamar mandi bisa?"
"Oh iya, Mas! Bisa, mari ikut saya!"
Jendra berjalan mengekori perempuan paruh baya di depannya. Rumah peninggalan nenek Renata itu memang luas, dan banyak sekali pernak-pernik kuno di dalamnya. Guci dan berbagai hiasan dinding bernuansa vintage membuat tempat tinggal Renata terasa mengagumkan.
Sementara itu di kamar, Renata tetap seperti tadi. Matanya tak bisa terpejam sedikit pun. Berkali-kali dia mengatur posisi tubuh senyaman mungkin, tetap saja tak bisa membuat dirinya bisa tertidur.
Jendra menyipitkan mata saat melewati meja di ruang makan. Ada beberapa kotak susu untuk ibu hamil berderet di sana. Sejenak terlihat keningnya berkerut, tetapi kemudian dia menggeleng melanjutkan langkahnya.
"Jadi Mas mau kembali istirahat di mobil?" tanya Ida heran.
Jendra tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Tapi di sini ada kamar kosong kalau Mas mau istirahat tanpa mengganggu Mbak Renata. Ada tiga kamar utama di sini. Satu kamar dipakai Mbak Renata, dua kamar lagi kosong," papar Ida panjang lebar.
Kening Jendra mengernyit. Entah kenapa dia kepikiran dengan susu untuk ibu hamil di meja makan yang dia lewati tadi.
'Di rumah ini hanya Renata dan Ibu Ida yang tinggal, lalu susu itu untuk siapa?' pikirnya dalam hati.
"Iya, Bu. Saya permisi, terima kasih," sahutnya sopan kemudian menuju pintu keluar dan melangkah cepat menuju mobil.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top