Penyesalan?
Renata perlahan menutup pintu rumah. Hari sudah senja saat dia tiba di rumah. Mobil Jendra sudah terlihat di garasi itu berarti suaminya sudah ada di dalam.
Menarik napas dalam-dalam dia melangkah menuju kamar. Terdengar suara Jendra sedang menelepon di teras samping. Hatinya sedikit lega karena pria itu tidak menginterogasinya.
Saat Renata memutar kenop pintu, suara Jendra terdengar.
"Dari mana?"
Pelan dia membalikkan badan menatap sang suami.
"Dari ...."
"Dari mencari pembelaan atas semua salah yang kamu lakukan?" sinisnya. "Dari mana? Dari rumah orang tuamu?"
"Nggak. Aku dari ketemu Karina. Bukannya tadi aku udah kirim pesan ke Mas?"
Jendra menatap istrinya dari ujung rambut hingga kaki, kemudian menjauh menuju ruang kerja meninggalkan Renata yang mematung.
Tidak ada pilihan lain selain bertanya bagaimana nasib rumah tangganya. Tak ingin berlama-lama di perlakukan bak seorang yang kotor, Renata melangkah ke ruangan Rejendra.
"Boleh aku masuk?" tanyanya sedikit melongokkan kepala ke pintu yang memang tidak ditutup.
"Mau apa?" ketusnya.
"Ada yang harus aku bicarakan."
Jendra mengangguk memberi isyarat dengan kepalanya agar sang istri masuk.
"Duduk!"
"Makasih.
Menarik napas dalam-dalam, Renata duduk di sofa besar yang tak jauh dari suaminya berdiri.
"Bicaralah!"
Perempuan yang mengenakan celana panjang putih dengan blouse berwarna hijau lumut itu tampak lelah, tetapi masih terlihat cantik.
"Mas sudah tahu seperti apa aku meski hanya sepihak. Aku tahu di mata Mas aku nggak layak diperlakukan seperti perempuan baik pada umumnya, jadi sekarang apa yang Mas mau lakukan untuk pernikahan ini?"
Pria berkaus hitam itu memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya seraya mengedikkan bahu.
"Memangnya apa yang kamu pikirkan soal itu?" Dia balik bertanya.
Menggeleng pelan, Renata menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Dia berpikir akan lebih baik jika biduk rumah tangga yang baru seumur jagung ini diakhiri saja, karena tidak akan ada baiknya jika dipaksa untuk dilanjutkan. Meski entah mengapa sampai saat ini dirinya masih tetap merasa nyaman berada satu rumah dengan Jendra.
Renata membetulkan posisi duduknya saat Jendra menghenyakkan tubuh di sofa yang sama.
"Kamu sedang berpikir agar aku mengakhiri pernikahan ini?"
Tak menjawab, perempuan berkaki jenjang itu menelan ludahnya. Mendengar kalimat Jendra, ada nyeri perlahan menyapa di hatinya. Ada hati yang ingin tinggal meski otak ingin membawanya pergi.
"Apa kamu pikir pernikahan semudah itu? Apa kamu sedang berencana mempermainkan pernikahan?" Kembali suaminya bertanya.
Jendra bersandar santai di bahu sofa. Sambil menyeringai, dia berkata, "Nggak semudah itu, Renata. Nggak semudah itu setelah kamu tidak jujur tentang dirimu kepadaku!"
"Kamu berpikir jika aku akan mengakhiri pernikahan ini dan dengan begitu kamu bebas kembali mencari mangsa baru demi kepuasan dirimu sendiri, begitu?"
Ucapan Jendra kali ini membuatnya naik pitam. Rasa yang masih dia abaikan mendadak muncul ke permukaan. Tanpa bisa dikendalikan dia melayangkan tangannya ke pipi sang suami dengan mata berkaca-kaca.
Namun, tentu saja hal itu tak terjadi, karena sigap Jendra menahan. Keduanya kini menjadi sangat dekat tak ada sekat. Mata mereka saling bertukar pandang dengan Jendra yang masih memegang erat tangan istrinya. Entah kenapa berada sangat dekat dengan bibir Renata tak bisa membuatnya berpikir.
Jendra semakin mendekat hingga bibir mereka bersentuhan. Awal yang panas menjadi semakin panas, tetapi dengan suasana berbeda. Jika sebelumnya emosi yang memuncak, kini ada dorongan lain yang membuat keduanya memanas.
Sentuhan bibir yang tadinya hanya singkat, kini semakin menuntut. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Jendra mulai memainkan perannya sebagai suami.
Renata tak sanggup menolak meski hatinya seperti diiris, karena ada di sudut nurani dia merasa Jendra adalah takdir dari Tuhan yang harus dia terima.
Dua jam di ruang kerja. Semesta dan seisi ruangan seperti menjadi saksi panasnya mereka berdua menghabiskan malam itu. Renata bangkit perlahan, dengan cepat dia memungut dan mengenakan pakaian yang berserakan di lantai. Sementara Jendra tanpa bicara juga memakai kaus dan celananya.
Masih membisu, setengah berlari, Renata pergi meninggalkan Jendra yang masih duduk bersandar di ruang kerjanya.
**
Ardi dan Devan terbahak mendengar cerita Jendra. Mereka tahu hal itu pasti terjadi dan mereka juga paham, mana mungkin seorang Jendra mengabaikan perempuan secantik dan sebaik Renata.
"Ini bukan lelucon!" tegasnya menginterupsi.
"Bro, dengar! Dia istrimu dan sah jika memang hal itu terjadi berulang-ulang!" seloroh Devan. "Lalu kenapa kamu uring-uringan?"
"Ck! Kalian memang nggak bisa diajak berpikir dengan baik!" sungutnya.
Kedua rekannya saling menatap lalu mengedikkan bahu.
"Kamu masih berpikir soal masa lalu Renata?"
Jendra tak menanggapi, baginya tak ada gunanya menjawab toh pada akhirnya dia juga yang akan disalahkan oleh mereka berdua.
"Jendra! Kalau kamu ragu dan mempertanyakan masa lalu istrimu, lalu apa kabar dengan masa lalumu? Apa kamu sempurna? Big no, Bro! Nggak ada manusia yang nggak punya masa lalu. Semua punya! Baik atau buruk masa lalu itu tentu akan selalu jadi bayang-bayang meski tidak semuanya," ujar Ardi bijak. "Karena baik buruk seseorang itu adalah bagaimana dia bisa bangkit dan memperbaiki semua kesalahan di masa lampau untuk menjadi lebih baik ke depannya."
Devan menaikkan alisnya mendengar penuturan Ardi yang menurutnya benar dan sangat bijaksana.
"Tumben kamu bener, Ardi!" kelakarnya terkekeh.
"Karena ini menyangkut pernikahan teman kita, Dev! Perpisahan itu bukan cara terbaik untuk sebuah pernikahan. Jangan sampai itu terjadi, Jendra! Kamu sudah berjanji dengan papanya Renata untuk mengambil alih Renata. Dia sudah menyerahkan dan kamu harus menjaganya," papar Ardi menatap Jendra.
Jendra melirik tajam sejenak ke Ardi lalu kemudian menyesap kopi hitam di depannya.
"Sok tahu kamu, Di!" gerutunya kembali meletakkan cangkir kopi ke meja. "Lagipula siapa yang memutuskan untuk berpisah? Sejauh ini aku belum memutuskan apa pun!"
"Aku merasa ditipu!" imbuhnya dengan rahang mengeras. "Semua orang menipuku!"
"Masalahnya kamu merasa paling benar, Jendra. Sebenarnya kalau kamu bisa lebih dewasa menyikapi, kamu nggak akan merasa ditipu," timpal Devan.
Jendra menggeleng kecil.
"Lalu kamu mau apa? Menurutku, Renata nggak salah kalau menurut cerita papamu yang kamu bagi ke kami tadi."
Jendra menarik napas dalam-dalam. Terngiang cerita sang papa soal Renata yang sempat depresi setahun lamanya. Mungkin kedua rekannya benar. Renata memang tidak salah, tetapi dia sudah tidak jujur. Dan tentu saja hal itu menambahkan kekecewaan Rajendra.
"Aku cuma butuh waktu untuk memutuskan apa yang akan kuputuskan," ujarnya. "Aku pernah punya mimpi memiliki keluarga yang bahagia tanpa melihat ke belakang. Aku tahu aku punya masa lalu, tapi aku belajar dari masa itu untuk tidak lagi berkubang di dalamnya termasuk dalam mendapatkan pasangan."
Kali ini kedua rekannya tak menanggapi. Devan dan Ardi hanya menaikkan alisnya kemudian masing-masing dari mereka menyesap kopi di depannya.
**
Renata tersenyum mendengar cerita Ana. Sengaja siang itu dia bertandang ke rumah sang mertua untuk belajar masak makanan kesukaan Jendra. Renata sadar betul bagaimana suaminya mulai melakukan penolakan meski mungkin apa yang terjadi semalam di luar batas kemampuannya sebagai seorang pria. Mengingat itu, sungging kecil tercetak di bibirnya.
"Jendra itu memang suka sayur, tapi dia juga suka penganan kecil yang juga sangat dia sukai."
"Apa itu, Ma?"
"Croissant! Dia paling suka. Isi apa pun dia suka!"
Kembali Renata tersenyum.
"Tapi sulit bikin itu, Ma. Bikin kulitnya itu dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi," keluhnya.
Ana menggeleng.
"Sekarang apa-apa sudah tersedia, Renata. Kalau Mama dulu mungkin memang sulit, tapi sekarang ... kamu bisa membeli kulitnya, nah isiannya bisa kamu utak-atik sendiri sesukamu," jelas Ana seraya mengeluarkan puff pastry instan dari lemari pendingin.
"Oh iya, Jendra nggak pernah bicara kasar ke kamu, kan?"
Renata bergeming.
"Dia memang kalau bicara nggak ada remnya terkadang," ujarnya kemudian tertawa kecil. "Tapi sebenarnya dia itu baik. Meski kadang memang suka nyelekit kalau ngomong."
'Ah, Mama. Andai Mama tahu ....' keluh Renata dalam hati.
"Mama."
"Iya, Sayang?"
Membasahi kerongkongan, Renata menghampiri mertuanya yang berdiri tak jauh darinya.
"Apa Mama nggak menyesal memiliki menantu seperti Renata?"
**
Dobel update untuk hari ini. Hehe, Semoga semua sehat yaa ... salam hangat. Terima kasih semua ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top