Penolakan
Renata perlahan mengompres rahang Jendra yang memar mengusap pekan bibirnya yang berdarah.
"Mas yakin ini cuma jatuh?" tanyanya curiga.
"Iya, aku nggak sengaja tadi kesandung batu," jawabnya seraya memekik pelan menahan nyeri.
Renata menarik napas dalam-dalam, dia tidak percaya dengan jawaban sang suami. Karena tidak yakin suaminya itu berbuat gegabah sampai terjatuh disertai memar dan berdarah. Meski baru bisa dihitung bulan dia mengenal Jendra, tetapi untuk urusan kehati-hatian dan disiplin Jendra tidak bisa dianggap sepele.
"Mas yakin?" tanyanya mengulang seraya menyodorkan segelas kopi putih yang diminta Jendra.
"Iya, Sayang. Kenapa? Kamu nggak percaya?" Jendra lalu menyesap perlahan kopi yang masih mengepulkan asap itu.
Renata menggeleng. "Nggak, Mas. Aku nggak percaya. Katakan, ada apa sebenarnya?"
Pria beralis tebal itu tersenyum manis lalu menggeleng. Dia mengusap puncak kepala sang isteri seraya berkata, "Yang sebenarnya adalah, aku nggak sabar membawamu pulang ke rumah kita. Itu yang sebenarnya terjadi."
Renata tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Mas bohong, kan? Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Mas seperti ini. Apa ini terjadi karena orang suruhan Papa?" tanyanya dengan mata memindai tajam pada Jendra.
Jendra menarik napas dalam-dalam.
"Ssstt! Kenapa jadi berburuk sangka sama papamu? Sudah, mending kita pulang. Apa kamu sudah bereskan semua barang?"
Perempuan yang mengenakan baju rumahan dengan panjang sebatas lutut berwarna cokelat itu mengangguk.
"Bu Ida sepertinya sudah membawa koperku."
Jendra menghela napas lega. Dia kemudian bangkit.
"Kalau begitu kita pergi sekarang," ajaknya.
Mengangguk cepat, Renata menyambut uluran tangan sang suami. Akan tetapi, dari pintu depan muncul Ida dengan wajah cemas. Di tangannya masih memegang koper majikannya.
"Bu Ida? Kenapa?"
"Maaf, Mbak Rena. Saya nggak bisa," sahutnya lirih kemudian meninggalkan ruangan itu dan membiarkan traveling bag Renata tetap di tempatnya.
"Bu Ida?" Renata mencoba menghampiri, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara sang papa.
"Mau ke mana? Jangan dipikir Papa nggak tahu apa yang dipikirkan pria itu, Renata!"
Sontak Renata menoleh ke arah suara. Romi yang baru saja pulang dari kantor itu terlihat meradang.
"Kamu kenapa berani masuk ke rumah ini?" Pria itu menatap tajam Jendra.
"Saya suaminya, Om. Saya ...."
"Suami kamu bilang? Suami macam apa yang telah melecehkan isterinya sendiri? Suami macam apa yang telah membuat jiwa isterinya hampir mati? Itu yang kamu bilang suami?" sentaknya dengan mata berkobar amarah.
Romi berjalan mendekati Jendra, sementara Renata mencoba membuat letup emosi papanya reda.
"Papa, please, papa jangan marah-marah begitu, Pa," mohonnya.
"Kamu duduk diam saja, Renata. Ini urusan Papa. Papa sudah bilang, kan? Kalau masalah ini sudah Papa ambil alih?"
Mata Romi terus menelisik pria di depannya seperti hendak melahapnya hidup-hidup.
"Keluar dari rumahku! Keluar!" usirnya. "Aku sudah melakukan apa yang diinginkan Renata untuk tidak mencampur adukkan masalah ini dengan bisnis bersama orang tuamu! Dan sekarang waktunya kamu harus meninggalkan Renata. Ceraikan dia!"
"Papa!"
"Diam, Renata! Masuk kamar sekarang!" bentak Romi.
"Om, tolong izinkan saya untuk memperbaiki semuanya. Izinkan Renata bersama saya. Saya janji akan mempertaruhkan apa pun untuk kebahagiaan isteri saya, Om."
"Jangan mimpi, Jendra! Mungkin kamu berpikir dengan merobek surat itu kamu bisa leluasa kembali dengan anakku, tidak semudah itu, Anak Muda!" ejeknya.
"Papa, tolong jangan marah-marah begitu, Pa."
Melihat puterinya masih di ruangan itu, Romi semakin naik pitam. Kembali dia membentak Renata menyuruhnya untuk masuk kamar.
"Papa, biarkan Renata memilih jalan yang menurut Renata baik, Pa. Izinkan Renata merasakan bahagia seperti yang Renata mau. Please, Pa," pintanya seraya mengatupkan kedua tangannya di dada.
Kening Romi berkerut mendengar ucapan sang puteri. Renata jarang sekali mengungkapkan keinginannya semenjak peristiwa itu. Dia lebih sering menyerahkan semua keputusan kepada Diah atau pin dirinya. Mendengar permintaan itu, Romi memalingkan pandangannya ke arah Jendra.
"Kamu pikir kamu bisa mengelabui anakku? Mungkin anakku bisa, tapi tidak dengan papanya! Pecundang!"
Jendra bergeming, dia membiarkan pria paruh baya itu mengeluarkan semua kekesalannya. Dia seperti sudah siap dengan resiko apa pun kecuali jika harus dipisahkan dengan Renata.
"Papa." Lagi-lagi Renata mencoba meredakan amarah papanya.
"Masuk!"
"Om, Renata isteri saya dan saya yang paling berhak membawanya ke mana pun saya mau."
"Tidak ada aturan itu untuk pria seperti kamu, Jendra! Sekarang kamu pergi, jika kamu masih mau perusahaan papamu baik-baik saja! Pergi dan jangan pernah temui anak saya!" usirnya lalu meraih lengan Renata.
"Bu Ida!" teriak Romi.
Perempuan paruh baya itu keluar tergopoh-gopoh.
"Iya, Pak?"
"Bawa koper Renata ke mobil saya!" titahnya.
"Baik, Pak." Ida membungkuk sopan lalu bergegas melaksanakan perintah Romi.
"Mulai sekarang, kamu pulang ke rumah Papa! Dan kamu! Ingat! Jangan pernah bermimpi untuk kembali dengan anakku! Urus saja perceraiannya!"
"Kita pulang, Renata. Ayo!" Romi sedikit menarik lengan puterinya hingga hampir saja Renata jatuh tersungkur jika tidak dengan sigap Jendra menahannya.
"Jangan kasar dengan isteri saya, Om!" serunya kali ini berani menatap sang mertua.
Romi diam menyadari kesalahannya. Namun, tentu saja pria paruh baya itu tetap menjaga wibawa di hadapan menantunya.
"Kamu pikir saya sama denganmu? Kamu pikir saya siapanya? Saya papanya! Nggak usah belagak paling benar!" Romi kembali mengajak Renata melangkah. "Lepaskan tanganmu dari sana!" titahnya memberi isyarat agar Jendra melepaskan tangannya dari bahu Renata.
"Om, tunggu! Satu yang Om harus tahu, sampai kapan pun Om meminta saya untuk melepaskan Renata ... saya pastikan itu tidak akan pernah terjadi!"
Romi memiringkan kepalanya menatap Jendra. Pria itu lalu tertawa sumbang.
"Sebaiknya jangan terlalu percaya diri. Kamu hanya pecundang yang memanfaatkan Renata yang tidak sadar malam itu dan sekarang berlagak jadi pahlawan begitu?"
Jendra menggeleng cepat.
"Dari mana Om punya kesimpulan seperti itu? Saya bahkan tidak mengetahui jika malam itu Renata yang ...." Jendra menahan kalimatnya. Jujur jika dia diminta untuk kembali memutar peristiwa malam itu, ada rasa sesal yang tak berkesudahan di hatinya.
"Om, saya sudah bilang berkali-kali jika saya mencintai puteri Om. Saya akan membuat dia bahagia dengan cara apa pun yang dia inginkan. Tolong, Om. Biarkan kami memulai semuanya dari nol," mohonnya. "Saya tidak berlagak seperti pahlawan, Om. Saya hanya ingin bahagia dengan Renata dan calon anak kami."
Romi menoleh ke Renata saat mendengar penuturan Jendra barusan. Kemudian pria itu kembali menatap menantunya.
"Kamu sedang membuat skenario baru? Kamu sedang bekerjasama dengan Dea untuk menghancurkan Renata dan keluarganya dengan mengarang cerita ini?"
Romi melepaskan tangannya dari lengan sang Puteri. Dia berjalan lambat mendekati Jendra.
"Kalau itu yang kamu rencanakan. Jangan mimpi! Kamu dan Dea juga yang terlibat akan membusuk di penjara! Paham kamu?"
Satu tinju melayang ke perut Jendra membuat pria itu mengerang. Melihat hal itu, Renata memekik berlari melindungi sang suami.
"Papa cukup! Renata nggak mau ikut Papa!" pekik Renata seraya menepis kuat pegangan tangan Romi. "Renata hamil, Pa! Renata hamil anak Mas Jendra!"
Romi mundur mendengar penuturan puterinya. Pria paruh baya itu terlihat tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Kamu?"
Renata mengangguk seraya membalas genggaman tangan Jendra.
"Iya, Pa. Renata hamil. Please, Pa. Jangan biarkan amarah dan dendam itu terus bercokol. Nggak ada gunanya, Pa."
Romi masih bungkam. Amarah di wajahnya berangsur reda meski tatapan matanya pada Jendra tak bisa dibohongi. Pria paruh baya itu masih meradang.
"Papa akan punya cucu, Pa," suara Renata terdengar lirih meski jelas bercampur nada bahagia di dalamnya.
Romi membisu. Dia seperti ingin pelan-pelan mengurai semua yang terjadi pada dia dan keluarganya, terlebih kepada Renata.
Jendra sudah membuat dirinya harus memangku amarah yang membuncah dan saat dia bisa menyalurkan, dirinya harus dihadapkan dengan kenyataan jika dia akan memiliki cucu darah daging pria yang telah mengubah hidup puterinya dan tentu saja keluarganya.
"Papa ... tolong, biarkan Renata membesarkan calon cucu Papa dengan tenang bersama Mas Jendra ya," mohonnya dengan mata berkaca-kaca. "Renata tahu, sangat tahu jika yang Papa lakukan adalah untuk Renata, tapi ... bukankah setiap orang berhak berubah, Pa? Bukannya Papa dulu juga pernah mengatakan hal ini?" imbuhnya.
Romi menarik napas dalam-dalam kemudian mundur kembali membuat jarak. Pria itu lalu menggeleng.
"Terserah kamu! Itu pilihanmu, Renata, tapi Papa tetap akan melakukan apa yang menurut Papa benar. Kalian akan tetap berpisah bagaimanapun caranya."
"Papa! Papa egois! Setiap anak tidak pernah menginginkan orang tuanya pisah, Pa! Ini cucu Papa yang ...."
"Ssst! Berhenti menceramahi Papa! Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah bisa masuk kembali ke keluarga kita!"
Romi lalu angkat kaki dari ruangan itu menuju pintu.
"Satu lagi, cucuku akan tetap jadi cucuku! Tapi kamu, Jendra ...." Romi menggeleng. "Kamu tahu siapa aku, kan?" ujarnya sesaat sebelum benar-benar meninggalkan kediaman sementara Renata.
"Papa, tunggu!" serunya.
"Sstt ... sudah, Sayang. Biarkan Papa meredakan emosinya. Biarkan papamu mengambil ruang untuk berpikir. Aku yakin, papamu tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan barusan. Percayalah!" tutur Jendra seraya merengkuh lembut bahu sang isteri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top