Penggalan masa lalu
Dea menatap Resti yang berulangkali menarik napas panjang. Resti bukan teman baru baginya, dia tahu siapa perempuan tangguh yang kini tengah diiris luka itu. Resti adalah sepupu jauh Dea.
Sore itu Resti tak sengaja bertemu Dea di sebuah pusat perbelanjaan. Di sana mereka berdua saling berbagi kisah hingga saling curhat. Berbagi cerita hingga sampai ke masalah rumah tangga Dea yang kandas, dan cerita lain muncul tentang kesendirian Resti hingga kini.
Dari perbincangan itu sampailah pada kesimpulannya jika dulu saat kuliah, Resti pernah dekat dengan perempuan pemilik restoran tersebut.
"Kamu bilang sekarang pria yang kamu sukai itu sudah menikah?"
Perempuan berambut sebahu itu mengangguk pelan.
"Kamu juga bilang dia pemilik Biantara grup? Anak perusahaan dari Pramudya corporation?"
Lagi-lagi Resti mengangguk, tapi kali ini matanya menatap lekat Dea.
"Kenapa, De? Kamu seperti kenal dengan orang yang kumaksud?"
Dea menaikkan alisnya kemudian mengangguk.
"Rajendra Biantara, kan? Dia, kan orang yang kamu maksud?" tebaknya dengan bibir melebar.
Resti terlihat kaget saat tahu Dea dengan mudahnya menebak nama pria yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di hatinya.
"Jadi kamu satu kampus sama Jendra? kamu baru ketemu Jendra sebulan belakangan ini?"
Resti mengangguk samar seraya tersenyum hambar.
Dea menggeleng cepat seraya tersenyum miring. Ternyata dunia sesempit itu. Lepas dari Ranu dan Sena, kini dia merasa memiliki teman yang sangat bisa diajak kompromi untuk melemahkan Renata.
"Kamu kenal, De?" tanyanya mengulang.
"Kenal! Kenal banget malah!" jawab Dea lalu meneguk cappucino di depannya.
Resti menyipitkan matanya. Dia seperti menunggu cerita Dea selanjutnya.
"Dia menikah dengan Renata, teman dekatku dulu."
"Dulu?"
Menaikkan alisnya lagi, Dea kemudian tersenyum getir.
"Iya. Dulu! Sekarang kami sudah berbeda pemikiran sejak ...."
"Sejak apa, De?" Resti terlihat penasaran.
Menarik napas dalam-dalam, Dea kemudian tersenyum lebar.
"Nggak penting! Itu sudah lewat, tapi ...."
"Tapi? Apa?" Kembali Resti bertanya.
"Apa kamu sampai sekarang masih mencintainya? Maksudku mencintai Jendra?" Dea memindai lekat wajah sepupu jauhnya itu.
Resti tak menjawab, meski begitu Dea tahu seperti apa perasaan perempuan yang duduk di depannya itu. Demi mendapatkan hati Jendra kala itu, Resti rela setiap hari membuat masakan atau penganan untuk pria pujaannya itu.
Akan tetapi, dia sadar bahwa dirinya bukan perempuan kriteria yang diinginkan Rajendra. Hingga akhirnya setelah wisuda, Resti mencoba menghapus perasaan itu dari hatinya.
Namun, bukannya melupa, Resti justru selalu membandingkan setiap pria yang datang mendekat dengan Jendra. Sampai akhirnya tidak ada satu pun pria yang bisa membuka hatinya sampai saat ini.
Besar keinginan Resti untuk bisa bertemu pria itu, dan bisa dibayangkan bagaimana hancur hatinya kala bisa bertemu tetapi, mengetahui jika ternyata Jendra sudah memiliki pendamping dan terlihat sangat dia cintai.
Melihat sepupunya bungkam, Dea tertawa kecil, tanpa dijawab pun dia sudah tahu apa yang ada di lubuk hati Resti.
"Oke, oke! Kamu masih mencintainya, kan?" tanyanya menyungging senyum.
Tentu saja bukan perkara mudah baginya untuk menjawab tidak pada pertanyaan Dea. Resti memang masih menyimpan rasa yang demikian besar kepada pria itu meski dia tahu Jendra sudah beristeri.
"Kamu mau impianmu terwujud?" Kembali Dea bertanya.
Mendengar pertanyaan sepupunya, Resti menaikkan alis dengan mata menyipit.
"Maksud kamu, De?"
Mengedikkan bahu, perempuan yang memakai t-shirt merah itu berkata, "Belum ngerti maksudku?"
Resti menggeleng.
"Kamu mau bisa mewujudkan Jendra menjadi milikmu?"
"What? Maksudnya kamu menyarankan aku untuk jadi pelakor begitu?" Perempuan berkulit cokelat itu menggeleng cepat. "Nggak, Dea! Kamu pikir aku perempuan seperti apa? Dia punya isteri dan kurasa dia sangat mencintai isterinya. Nggak, Dea!"
Seringai terlihat di bibir Dea. Dia sadar jika idenya mungkin terlalu bar-bar di telinga Resti. Maklum, kehidupan dia dan Resti sangat jauh bertolak belakang.
Resti berangkat dari keluarga sederhana dan tidak ada hal buruk dalam sejarah hidupnya. Meski ditempa dengan hidup yang sulit, diterjemahkan dia bisa melalui dengan baik hingga saat ini.
Bisa dibilang, Resti perempuan baik yang menjalani hidupnya dengan baik-baik sampai saat ini. Bahkan meskipun hatinya merasa tidak baik, dia tetap menunjukkan jika dirinya baik-baik saja.
"Bukan begitu maksudku, Res, tapi ... apa kamu tidak berpikir jika sebenarnya Jendra dulu bjuga mengagumimu?"
"Maksudmu?"
Menarik napas dalam-dalam, Dea kembali menyesap cappucinonya hingga tandas.
"Dari ceritamu tadi, beberapa kali Jendra mengantar kami pulang dan bahkan sempat membantu membayar biaya sekolah dia adikmu yang hampir dikeluarkan dari sekolah, kan?"
Resti mengangguk.
"Itu maksudku! Coba kamu pikir deh! Mana ada pria seperti itu jika nggak ada yang dia inginkan atau rasakan?"
Perempuan yang mengenakan blazer berwarna putih itu terlihat berpikir.
"Aku rasa itu hanya sisi kemanusiaan dia aja yang tersentuh, Dea. Biasa saja kalau aku pikir," tampiknya meski perlahan dia mulai kembali menelaah semua yang pernah terjadi antara dia dan Jendra.
Sejenak dia terdiam. Di otaknya kembali muncul potongan kebersamaan dirinya dan Jendra di masa lampau. Benar kata Dea, Jendra memang sangat perhatian padanya. Terkadang tak jarang Jendra ikut membantu menjualkan dagangannya agar dia segera bisa membawa pulang sejumlah uang untuk adik-adiknya.
Jendra adalah pria yang banyak menyita perhatian para mahasiswi, jadi tak sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan sehingga dagangannya habis tak bersisa.
Di lain waktu, saat dia sakit, Jendra adalah orang pertama yang bertanya dan sibuk mengajak ke dokter untuk memeriksakan dirinya.
"Kamu harus tetap sehat, Res. Demi adik-adikmu juga demi ... aku!"
Mendengar pernyataan itu, Resti sempat dijalari rasa hangat dan desir indah di relung hati. Akan tetapi, seolah sadar hal itu tak mungkin, segera dia enyahkan rasa itu. Tentu saja ucapan Jendra membuat wajahnya juga merasa hangat.
"Kenapa diam?" Jendra yang di balik kemudi, menoleh sekilas kemudian kembali menatap ke depan. "Kamu nggak tanya kenapa aku bicara seperti itu?"
Menata degup jantung yang tak keruan, Resti menoleh dan mencoba bertanya.
"Emang kenapa?"
Terkekeh geli, Jendra sedikit menaikkan kecepatan mobilnya.
"Karena kalau kamu sakit, siapa yang bawain makana. Yang enak-enak itu? Heum? Jujur, masakan kamu nggak ada yang nggak enak! Aku yakin suatu saat kamu bisa memiliki restoran sendiri!"
Mendengar jawaban Jendra, Resti menghela napas lega meski ada gumpal kecewa karena jawabannya jauh dari apa yang dipikirkan meski tentu saja dia sadar hal itu jauh dari kata mungkin.
Gerakan tangan Dea tepat di depan wajah menyadarkan Resti.
"Melamun? Sedang mengingat pria impian?" selorohnya sambil terkekeh.
"Ck! Ayolah, jangan siksa dirimu sendiri, Resti. Kamu itu juga berhak bahagia dengan impianmu!" imbuhnya.
Resti tersenyum tipis, dia merasa malu karena tebakan sepupunya itu sama sekali tidak meleset. Namun, untuk memupuk mimpi kembali dengan Jendra ... tentu bukan hal yang patut untuk diperbincangkan. Adalah tabu baginya untuk berharap sesuatu yang tidak mudah dan tidak mungkin.
"Nggak, Dea."
"Hei! Aku tidak sedang mengajakmu berbuat tidak baik, tapi aku ingin kamu menemukan bahagia yang seharusnya kamu punyai!"
Resti menarik napas dalam-dalam. Pagi tadi Jendra meneleponnya dan meminta agar dia membuatkan masakan spesial untuk dikirim ke rumahnya besok malam.
"Aku mau bikin kejutan. Karena besok malam adalah ulang tahun Renata. Jadi kamu harus buat makanannya semua istimewa."
"Oh iya, aku pesan ke kamu ini bukan karena apa-apa, tapi karena isteriku sangat menyukai makanan di restoranmu!"
Mengingat obrolannya dengan Jendra, Resti menggeleng pelan.
"Mungkin sisi sebelah dari diriku masih begitu sangat menginginkannya, Dea, tapi di sisi lain dari diriku mengatakan hal itu tidak mungkin aku lakukan," tuturnya lirih.
Mendengar ucapan sepupunya, Dea membuang napas perlahan lalu mengedikkan bahu.
"Jendra dan Renata itu dijodohkan, Resti. Sebelumnya Jendra bukan pria yang bisa dekat dengan perempuan mana pun. Apa kamu tahu itu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top