Pasang badan

Renata mengembuskan napas perlahan lalu beringsut menuju kamar mandi. Dia tak ingin pernyataan Jendra barusan mengintimidasinya.

"Mau ke mana?"

"Kamar mandi. Kenapa?"

Jendra menatapnya lekat dari ujung rambut hingga kaki. Benar kata Mama, perempuan di depannya itu terlihat lebih kurus.

"Kamu harus makan yang banyak. Sayur, daging-dagingan dan susu!" tuturnya seraya tersenyum.

Mata Renata menyipit mendengar ucapan suaminya. Sejak kapan pria di depannya itu peduli pada makanannya? Mungkin beberapa waktu lalu Jendra memang menganjurkan untuk mengonsumsi sayuran padanya, tetapi tidak sedetail saat ini. Hal itu membuatnya heran.

"Mungkin asupan vitamin juga penting untuk ...."

"Mas, aku bukan pengidap busung lapar, sampai Mas harus sedetail itu memikirkan makananku. Lagian aku juga sudah ...." Renata menggantung kalimat. Nyaris saja dia mengungkapkan semuanya.

"Sudah? Sudah apa?" pancing Jendra berjalan mendekat.

Menggeleng cepat, Renata mengabaikan pertanyaan suaminya. Dia lalu kembali melangkah ke kamar mandi. Akan tetapi, Jendra menahan lengannya sehingga membuat perempuan itu kembali membalikkan badan.

Dengan tatapan lembut, Jendra perlahan menyingkirkan anak rambut yang berserak di dahi Renata. Paras itu tak lagi pucat seperti pagi tadi. Meski begitu, dia memang tidak terlihat baik-baik saja, hal itu tergambar dari matanya.

Tangan Jendra pelan mengusap lembut perut Renata yang masih datar, dengan tatapan tak berjeda tepat pada manik perempuan itu.

"Kenapa kamu sembunyikan semuanya dariku? Apa aku nggak berhak untuk tahu bahwa ada dia di sana?" tanyanya dengan suara lembut.

Renata segera membuat jarak saat mendengar pertanyaan suaminya.

"Maksudnya apa ini, Mas?" tanyanya gugup berusaha menjauh.

"Please, Renata. Aku suamimu dan ada anakku yang sedang tinggal di rahimmu, kan?"

Perempuan bermata indah itu menggeleng.

"Aku ... aku nggak ...."

"Sssttt ...." Jendra menempelkan telunjuknya di bibir sang isteri. Sambil menggeleng dia berkata, "Apa aku nggak pantas untuk merasakan kebahagiaan itu? Apa aku terlalu kotor di matamu sampai kamu merasa aku tidak berhak untuk tahu?"

Mereka saling menatap. Mata keduanya tak bisa menyembunyikan rasa yang sesungguhnya di hati masing-masing. Jika Jendra telah berkali-kali mencoba menjelaskan dan mengatakan perasaan yang sesungguhnya, tetapi tidak dengan Renata. Perempuan itu memilih menutupi perasaannya rapat-rapat.

"Aku tahu aku kotor. Aku tahu masa laluku buruk, tapi sampai saat ini aku terus berusaha untuk memperbaiki diri sampai bisa dianggap pria baik-baik di matamu dan orang tuamu. Please, Renata ... beri aku kesempatan untuk itu dan ... biarkan dia merasakan kehadiranku dan mendengar suara papanya," mohon Jendra.

Renata bergeming. Ada ketulusan yang teramat sangat dari suara suaminya. Memang terasa tidak adil bagi Jendra jika bahagia ini dia simpan sendiri. Akan tetapi, akan menjadi tidak adil baginya jika Jendra bisa dengan mudah mendapatkan bahagia itu sementara dirinya begitu luka.

Renata bergeming. Hati dan logikanya masih bertempur dengan berbagai alasan masih. Keegoisan dan perasaan sayang pada pria itu menjadi perdebatan di dirinya sendiri.

Jendra membingkai wajah sang istri dengan kedua telapak tangannya. "Jangan menyembunyikan bahagia itu dariku, Sayang."

Membasahi kerongkongan, Renata menunduk menatap karpet cokelat tebal yang dipijaknya.

"Apa Mas bersungguh-sungguh dengan apa yang Mas katakan?" tanyanya pelan.

"Tentu saja! Tentu saja aku bersungguh-sungguh. Apa yang kamu ragukan?"

"Apa Mas melakukan semua ini atas dasar kasihan atau sebagai penebus dosa atas kesalahan yang Mas tahu belakangan ini?" tanyanya perlahan mengangkat wajah membalas tatapan sang suami.

Jendra menggeleng cepat.

"Nggak ada di kepalaku seperti apa yang kamu katakan itu. Aku serius dan tulus! Aku pernah bilang, kan? Kalau aku ini banyak kesalahan di masa lampau dan terus berusaha untuk memperbaiki?"

Perempuan di hadapannya itu mengangguk samar.

"Aku siap menjalani hukuman karena memang pantas untuk dihukum, tapi jangan pernah pergi dariku."

Menarik napas dalam-dalam, Renata lalu mengambil tas tangannya, kemudian kembali duduk di bibir ranjang. Dia mengeluarkan testpack yang sebenarnya sudah diketahui oleh Jendra.

"Kamu benar hamil?" Wajah Jendra terlihat lega, meski sudah tahu sebelumnya. Akan tetapi, dia hanya ingin pengakuan dari sang istri tentang kondisinya.

Dia mengangguk pelan. Kondisi itu tak disia-siakan oleh Jendra. Pria bertubuh tinggi itu segera memeluk erat isterinya sembari mengucap syukur. Berkali-kali dia mencium puncak kepala Renata seraya mengucapkan terima kasih.

Dipeluk dan diperlakukan sedemikian rupa, Renata diam. Dia seperti membiarkan dirinya hanyut bersama dengan perasaan indahnya jauh ke dalam hati Jendra.

Ada kehangatan yang tak terungkap kala dia berada di dalam dekapan pria itu. Ada desir indah saat kembali menghidu dari dekat aroma maskulin di tubuh suaminya. Seluruh tubuhnya seakan sepakat untuk tidak memberontak, bahkan otaknya sekali pun!

Sementara Jendra, dia seperti ingin teriak dan bersorak merayakan kebahagiaannya. Pria itu merasa Tuhan lagi-lagi memberikan kebahagiaan yang berlipat padanya. Dan satu lagi, dia merasa bahagia bisa kembali memeluk isterinya.

"Kamu tahu, hari ini aku merasa mendapat jackpot!" ungkapnya sesaat setelah melepaskan pelukan.

"Jackpot?"

"Iya! Jackpot! Selain sudah tahu kondisimu sebenarnya, aku juga gembira bisa ...."

"Bisa apa?" tanya Renata mendongak menatap suaminya.

"Bisa memelukmu!" jawabnya masih dengan tangan kanan di bahu sang isteri. "Kamu tahu? Memelukmu adalah keinginan terbesarku sejak pertama kali bertemu saat kamu pergi dari rumah," imbuhnya.

Sontak paras Renata merona mendengar ucapan suaminya.

"Nggak perlu ngegombal!"

"Aku nggak ngegombal. Lagipula aku bicara apa yang kurasakan." Jendra mencubit lembut hidung mancung isterinya. "Eum ... apa papamu tahu soal ini?"

"Nggak ada yang tahu selain Bu Ida dan Karina juga ... Mas!"

Jendra memejamkan mata sejenak kemudian menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa?"

"Aku takut."

"Takut? Kenapa?"

"Papa ...."

"Ada aku, dan aku akan mengatasi semuanya. Percayalah!"

**

Diah menarik napas dalam-dalam melihat Romi memerintahkan kepada Dirga orang suruhannya untuk mendatangi kantor Jendra. Papa Renata itu menitahkan kepada pria berambut sedikit gondrong itu untuk memaksa suami Renata agar mau menandatangani surat perceraian yang sudah dia persiapkan.

"Kamu boleh gunakan kekerasan atau apa pun sampai dia mau! Aku nggak mau tahu yang penting surat itu selesai!"

"Papa!" seru Diah yang sejak tadi mencuri dengar dari ruang tengah. Perempuan paruh baya itu keluar menatap suaminya tajam.

"Cukup, Pa! Jangan buat semua makin rumit! Papa sadar nggak? Kalau sampai Renata tahu Papa melakukan hal ini, dia pasti makan marah dan kecewa!"

Romi bergeming, demikian pula dengan Dirga.

"Cukup sudah anak kita bersedih. Jangan tambah kesedihannya dengan perlakuan Papa!" sambungnya.

"Ma! Renata itu sudah lama menderita, kesalahan Papa adalah menikahkan dia dengan pria busuk seperti Jendra. Itu kesalahan terbesar Papa! dan sekarang ... Papa akan menebus semua dan memberikan kebahagiaan yang seharusnya untuk Renata!"

"Dirga, pergi! Lakukan apa yang aku perintahkan!" titah Romi lantang.

"Dirga tunggu! Kamu boleh ke kantor menantuku, tapi jangan pernah bikin onar di sana!" timpal Diah.

"Papa nggak nyuruh dia bikin onar, Ma. Kalau anak itu segera menandatangani surat itu, maka semua akan baik-baik saja!" sela Romi kalau mengalihkan pandangannya ke Dirga. "Segera pergi sekarang!"

Pria berambut sedikit gondrong itu membungkuk sopan.

"Jangan lupa! Semua berkas ada di meja kerjaku!"

"Siap. Permisi, Pak, Bu," pamitnya lalu bergegas meninggalkan kediaman bosnya.

Diah mendengkus kesal menatap suaminya.

"Papa kalau terus menekan seperti itu, Papa akan menyesal nanti!"

Romi menggeleng.

"Nggak! Untuk apa menyesal? Nggak ada sesal untuk menghukum pria pecundang seperti Jendra itu!"

"Papa, pernah nggak Papa berpikir bagaimana kalau anak kita mencintai suaminya?" Diah menatap Romi dengan tatapan kesal. Ibu dari Renata itu menyadari jika puterinya sudah mulai jatuh cinta pada Jendra. Hal itu diketahui dari beberapa kali dia memergoki Renata tengah menatap foto pernikahannya di ponsel.

"Nggak usah sok tahu tentang perasaan anak kita! Kamu seorang ibu dan kamu harus bisa merasakan bagaimana tersiksanya dia memiliki suami seperti cecunguk itu!"

**


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top