Mulai menjauh


Jendra tidak menanggapi, dia lalu beringsut dari duduk.

"Terserah kamu aja! Aku harus kembali ke kantor!" ujarnya dengan ekspresi dingin. Dia kemudian melangkah menjauh meninggalkan Renata yang masih duduk mematung.

"Renata!" Seseorang memanggil namanya. Suara itu berasal dari belakang.

Seolah tubuhnya terperangkap dalam lingkaran masa silam, Renata menatap pria yang juga tengah menatapnya itu.

"Apa kabar?" sapanya mencoba ramah mengajak berjabat tangan.

"Aku tahu kamu marah, mungkin sampai detik ini bahkan tak akan termaafkan, tapi nggak ada salahnya aku tetap meminta maaf," imbuhnya masih dengan tangan terulur.

Tak menanggapi, Renata lalu bangkit meninggalkan pria berkemeja biru langit itu. Ada selaksa perasaan malu dan kecewa menggumpal di hatinya.

Dia merasa takdirnya seolah dikelilingi oleh pria yang sama sekali tak punya hati. Tidak ada satu pun yang bisa dibuatnya untuk sekadar bersandar dari penat diri. Tak ada seorang pria pun yang sudi memperlakukan dirinya seperti perempuan yang selayaknya dicintai.

Renata sampai pada satu titik, untuk apa berharap jika dirinya sudah merasa memang bukan lagi perempuan yang seharusnya dicintai.

Sena, pria yang baru saja menyapa itu dulu begitu mencintainya. Bahkan mungkin jika nyawanya diminta dengan senang hati akan diberikan. Namun, mungkin karena terlalu cinta itulah yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini.

Dicampakkan seperti perempuan kotor dan tidak kayak untuk mendampingi, itu sudah cukup membuat dirinya tercabik.

Sekarang ada Jendra, pria itu pun setali tiga uang dengan Sena, bahkan mungkin lebih egois. Tidak pernah mencintainya, angkuh, dan sama seperti Sena, menganggap dirinya perempuan murahan.

Mengingat itu semua, membuat luka yang masih basah itu kembali nyeri. Renata melangkah menjauh dari riuhnya acara siang itu. Dia menepi di sebuah bangku kayu di bawah pohon tabebuya. Musim panas saat ini membuat bunga pohon rindang itu mekar sempurna. Warna kuning cerah pada bunga itu melambangkan persahabatan, kesehatan, dan penghormatan.

"Konon, makna dari bunga warna kuning kepada seseorang dapat diartikan sebagai upaya berdamai dan berbaikan," tutur Sena menyodorkan beberapa kuntum bunga tabebuya ke arah Renata.

Tak menyangka pria itu mengekorinya, Renata melemparkan pandangan ke arah lain.

"Renata, aku datang bukan untuk bermusuhan, aku ingin bertanya banyak kepadamu," ujarnya masih dengan bunga di tangannya.

"Pergi! Aku nggak butuh kamu dan aku nggak mau menjawab apa pun pertanyaan kamu!" tegasnya tanpa menatap.

Sena menarik napas dalam-dalam. Dia menghenyakkan tubuhnya di bangku di samping Renata.

"Seperti yang aku bilang tadi. Aku tahu kamu marah, tapi asal kamu tahu jika selama ini aku nggak berhenti berpikir tentangmu, aku merasa ...."

"Cukup! Berhenti membuka obrolan unfaedah itu! Aku muak! Lagipula untuk apa kamu mendekati perempuan kotor seperti aku?" putusnya tegas.

Sena menyugar rambutnya seraya membuang napas kasar. Tampak terlihat jelas sesal tergambar di raut wajahnya. Entah mengapa belakangan ini dia merasa Renata tidak bersalah.

Dia merasa berdosa telah berbuat tidak adil kepada Renata dengan mengambil kesimpulan sepihak dan secepat itu memutuskan hubungan mereka. Sena sendiri merasa punya tanggung jawab untuk membuktikan semuanya saat ini. Mungkin memang terlambat, tetapi untuk menebus perbuatannya yang membuat Renata hancur, dia berjanji akan melakukannya.

"Renata, dengarkan aku. Nggak akan bosan aku meminta maaf padamu. Aku nggak peduli sebesar apa rasa bencimu, dan aku juga nggak peduli sebanyak apa penolakan yang aku terima, aku tetap akan ada untukmu!"

Hening, satu-satu bunga kuning itu dijatuhkan oleh embus angin. Tak ada satu pun dari keduanya bersuara. Masing-masing seperti berada pada kedalaman pikirannya.

"Renata, aku menyesal. Aku menyesal telah melepasmu. Aku menyesal telah percaya begitu saja dengan apa yang kudengar dan yang kulihat. Aku menyesal tidak percaya padamu dan tidak mau mendengar penjelasanmu saat itu." Sena menarik napas dalam-dalam. "Aku ...."

"Aku bilang cukup! Sekarang kamu pergi! Di tempat ini ada Mama dan mertuaku!"

"Aku tahu. Ada suamimu juga, kan? Apa dia memperlakukanmu dengan baik? Apa kamu mencintainya?" cecar Sena.

Renata bungkam.

"Apa pedulimu? Pergi sekarang!" Renata meradang. Matanya mulai berkaca-kaca dengan napas yang naik turun.

"Aku peduli, Renata. Aku peduli karena aku ...." Pria itu menggantung kalimatnya. "Karena aku menyesal dan entah kenapa aku merasa aku harus ada untukmu. Untuk melindungimu."

Renata bangkit. Kali ini dia membalikkan badan memberanikan diri menatap Sena. Pria yang sangat dicintainya sekaligus menjadi pria yang membuatnya merasa tak berguna.

Sejenak dia mengamati Sena. Pria itu masih seperti dulu. Setahun tidak mengubah kesukaannya soal warna. Dulu dia pikir Sena tak akan lagi menyukai warna favoritnya biru karena sama dengan warna kesukaannya. Akan tetapi, kemeja yang dia kenakan itu masih biru.

"Kamu ingat kemeja ini? Ini pemberianmu waktu ulang tahunku. Kamu pasti ingat!"

Renata membasahi kerongkongannya.

"Buat apa lagi kamu pakai baju pemberian dari perempuan nista menurutmu?"

"Renata, maafkan aku. Tolong!"

"Pergi! Aku nggak perlu dilindungi oleh siapa pun! Dan aku nggak butuh siapa pun! Kamu dengar itu, Sena!"

Sena kembali kembali menarik napas.

"Renata, jawab aku, apa kamu ingat apa yang kamu konsumsi malam itu? Apa kamu ingat siapa yang mengajak kamu minum?" cecarnya.

Tak menyahut, dia lantas mengayun langkah meninggalkan Sena. Seolah tak ingin kehilangan kesempatan, pria itu mengikutinya.

"Tolong jangan pergi, Renata. Aku butuh jawabanmu. Aku janji akan membersihkan tuduhan siapa pun tentangmu termasuk tuduhanku kepadamu saat itu. Aku janji," ujarnya setelah berhasil mencekal lengan Renata.

Merasa tak bisa melepaskan diri, sekuat tenaga Renata melepaskan tangan Sena.

"Lepaskan aku, Sena! Kamu akan terkena sial jika bersamaku seperti yang kamu utarakan dulu! Lepas!"

Dengan wajah menyesal Sena perlahan melepaskan tangannya, dan membiarkan Renata mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu.

**

Renata bergeming mendengar penuturan Karina. Sahabatnya itu meminta maaf jika Sena tiba-tiba muncul di acara bakti sosial siang tadi.

"Aku nggak tahu kalau dia juga ada di sana, Renata. Ternyata Sena juga termasuk dalam daftar donatur panti asuhan itu sejak lama, dan soal itu suamiku yang paham. Sumpah! Aku nggak tahu, Ren!" tuturnya mencoba meyakinkan sang sahabat.

"Aku lelah, Karina. Aku lelah dengan drama ini. Satu belum selesai, udah ada lagi yang datang. Aku ingin mengatur hidupku dengan baik. Itu aja sekarang," keluhnya seraya mengusap pipi yang basah.

Karina duduk tepat di samping Renata. Dia pun tahu bagaimana perasaan sahabatnya, tetapi apa yang terjadi siang tadi semua itu di luar kuasanya. Dia tidak mengerti kenapa Sena datang dan bertemu bahkan bercakap-cakap dengan perempuan yang tengah tersedu di dekatnya saat ini.

"Maafkan aku, Renata. Maafkan aku. Aku janji ini nggak akan terulang. Aku janji," tuturnya lirih seraya meraih bahu Renata.

"Aku mengerti, Karina. Aku tahu ini tentu bukan karena kamu sengaja. Aku tahu."

Acara bakti sosial sudah selesai. Semuanya sudah satu persatu dibereskan. Tenda dan perlengkapan lainnya sudah kembali ke kotak penyimpanan. Rico, suami Renata tampak berbincang-bincang dengan salah satu pengurus tempat itu.

Sementara langit sudah berwarna saga. Diah dan Ana sudah pulang sejak siang, setelah dia bertemu Sena, dan Jendra? Entah, pria itu menghilang begitu saja setelah perdebatan kecil mereka tadi.

"Karina."

"Iya, Ren?"

"Sena."

"Iya. Kenapa Sena?"

"Dia ingin aku menjawab pertanyaannya."

"Pertanyaan tentang apa?"

"Tentang malam itu."

Mata Karina menyipit mendengar penuturan Renata.

"Untuk apa dia bertanya soal itu? Apa yang akan dia lakukan?" tanyanya heran.

Renata menggeleng.

"Aku nggak tahu, tapi dia bilang ingin melindungiku dan membersihkan nama baikku dari berbagai tuduhan soal ...."

"Oke aku paham, tapi kenapa baru sekarang? Apa kamu nggak curiga, Ren?"

"Curiga? Curiga apa? Dan untuk apa?"

"Iya. Maksudku, apa kamu tidak berpikir kenapa baru sekarang Sena menginginkan penjelasan darimu? Apa iya dia menemukan hal yang membuat dia jadi ragu dengan kejadian yang dia dengar kala itu? Maksudnya nggak ada salahnya kalau dia berniat untuk membuka hal tersebut. Toh itu untuk kebaikanmu, Renata!"

Renata kembali menggeleng.

"Aku nggak tahu dan nggak mau tahu soal itu. Lagian aku sudah tidak lagi mau peduli. Itu sudah berlalu dan sekuat apa pun aku berdiri menatap masa depan ... tetap saja semua yang lama akan menjadi bayang-bayang. Jadi ... untuk bapa lagi aku menelisik dan mengurai satu persatu? Nggak akan ada gunanya, Karina, " ungkapnya sembari menarik napas dalam-dalam.

Karina tampak tidak setuju dengan pemikiran sahabatnya. Menurutnya tidak ada salahnya jika Sena ingin menyelidiki soal itu. Karena dia tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya menimpa Renata malam itu.

"Kamu cerita aja yang sebenernya, Renata. Aku pikir dia sedang menunjukkan penyesalan dan dia ingin tebus dengan pembuktian soal kamu. Itu sih yang kupikirkan," jelasnya hati-hati.

Renata menggeleng. Baginya sudah sangat tidak ada gunanya lagi mengupas kembali masa itu. Semuanya akan semakin membuat traumanya kembali menganga.

Belum lagi masalah pernikahannya yang semakin hari semakin absurd karena sikap sang suami, hal itu tentu akan semakin tidak keruan jika dia kembali harus berurusan dengan kejadian masa lalu.  Terlebih berurusan dengan Sena yang kini sudah menjadi suami Dea.

"Karina."

"Ya?"

"Ini tentang Dea."

"Kenapa, Dea?"

Menarik napas dalam-dalam, Renata menceritakan apa yang diucapkan Dea saat pernikahannya beberapa waktu lalu.

"Dia bicara begitu?" Mata Karina membulat.

"Apa berarti selama aku berhubungan dengan Sena, Dea ...."

"Dea menginginkan Sena! Begitu artinya!" sela Karina. "Apa itu artinya kamu dijebak?"

Renata menoleh kemudian membetulkan posisi duduknya menghadap Karina.

"Jika benar, apa itu perbuatan Dea?" tanya Renata menatap intens sahabatnya.

"Aku pikir begitu, tapi kita belum punya bukti," jawabnya.

Wajah Renata kembali murung.

"Lalu untuk apa dia menjebakku seperti itu, Karun. Dia bisa bilang ke aku. Kenapa dia setega itu ke aku?" tuturnya lirih dengan tatapan  menerawang.

Karina membuang napas perlahan. Dia pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Setahunya, Dea memang berteman baik dengan Renata. Tidak pernah masalah sejauh ini. Jika benar Dea adalah otak dari permasalahan Renata, dia pun tidak paham apa pemicunya.

"Renata."

Perempuan berambut tebal itu menoleh. Duka di matanya tak bisa disembunyikan.

"Apa mungkin memang karena dia ingin memiliki Sena?"

"Hanya itu?"

"Mungkin!"

Menarik napas dalam-dalam, dia mengangguk.

"Bisa jadi, dan sekarang keinginannya sudah terkabul, kan?"

"Kamu ingat pria yang bernama Ranu waktu pesta itu nggak?"

Karina mengernyit mencoba mengingat.

"Ranu teman Dea itu bukan?"

Renata mengangguk cepat.

"Emang kenapa dia?"

"Dia kenal sama Mas Jendra. Sepertinya mereka berteman."

Karina mencoba menajamkan intuisi. Masih dengan dahi berkerut, dia bertanya, "Apa ada mereka ini ada hubungannya satu sama lain?"

"Entah. Aku juga tidak tahu, tapi aku berharap ini semua akan mendapatkan titik temu," pungkasnya kala terdengar azan.

Hening. Azan Magrib menyapa telinga mereka.

"Kita salat dulu aja yuk!" ajak Karina yang ditanggapi anggukan dari Renata.

**

Jendra menikmati secangkir kopi yang baru saja dia buat saat terdengar pintu pagar dibuka. Pria beralis tebal itu menggerakkan bola matanya lalu kembali ke layar tujuh belas inci yang menyala tepat di depannya.

"Semalam ini dan kamu nggak kasi kabar?" sambut Jendra dingin.

"Maaf. Kalau Mas masih marah dan nggak mengizinkan aku pulang ke rumah ini, aku akan keluar sekarang," jawabnya dengan kepala menunduk.

"Bisa nggak sih kamu mencerna pertanyaanku?" Suaranya terdengar meninggi. "Emang ada ucapanku yang mengatakan seperti yang kamu ucapkan barusan?"

Tak menjawab, Renata menarik napas dalam-dalam.

"Pulang sama siapa tadi?"

"Diantar Karina sama suaminya."

"Kenapa nggak telepon? Kamu pikir kamu masih single? Kamu lupa sudah bersuami?" tanyanya menginterogasi.

"Maaf, tapi aku takut Mas sibuk jadi ...."

"Alasan yang sangat dibuat-buat, kan?" potongnya bangkit dari duduk kemudian melangkah ke ruang kerja seraya membawa secangkir kopi yang masih panas.

Sementara Renata mematung menatap Jendra yang melewatinya begitu saja.

"Ngapain masih berdiri di situ? Mandi, istirahat sana!" titahnya tanpa menoleh.

"Kalau makan, kamu bisa buat sendiri atau pesan aja. Aku nggak sediakan makanan."

Sedikit sungging senyum tercetak di bibir Renata,  di balik kesombongan pria itu ada sisi baik yang dia sendiri terkadang terkaget-kaget dibuatnya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top