Menjauh
Devan melirik ke arah Jendra, pria yang sudah lama bekerja sama dengannya itu terlihat sangat kacau. Sementara Ardi memilih menopang dagu menatap Jendra. Tak biasanya seorang Jendra tampak tak berdaya di hadapan mereka. Ada rasa heran, kasihan bercampur geli melihat pria bermata tajam itu.
"Apa keluargamu sudah tahu?" Devan membuka pembicaraan setelah sekian lama mereka bertiga membisu.
"Belum, tapi mereka akan segera tahu!" jawabnya.
"Apa kamu mencintai Renata?" Ardi ikut bertanya.
Pertanyaan Ardi membuat Jendra menatapnya. Pria itu tak menjawab, tetapi garis wajahnya sulit diartikan.
"Ck! Jawab aja! Apa kamu mencintainya?" tanyanya mengulang.
"Itu bukan urusanmu! Ini soal nama baik dan image aku di depan orang banyak!"
"Maksudnya?" Devan tak mengerti.
"Iya! Siapa pun tahu siapa Renata, kan? Dia istriku dan kalau semua orang tahu dia kabur dari rumah? Apa yang ada di kepala rekan bisnisku? Rekan bisnis kita?" jelasnya.
"Lalu? Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ardi lagi.
"Aku pikir aku harus mencarinya dan mengajak dia untuk pulang!" jawabnya seraya membuang napas kasar dari mulut. "Mungkin akan kulakukan atau mungkin tidak!"
Devan membulatkan bibirnya seraya mengangguk.
"Memang apa yang sudah kamu lakukan sampai dia kabur?" selidiknya dengan mata melirik tajam.
"Nah itu! Apa yang sudah kamu lakukan!" timpal Ardi dengan mimik serius.
Jendra mendengkus menata kedua rekannya bergantian kemudian mengalihkan pandangannya ke sekeliling kafe. Sepi, tidak seramai biasanya.
"Tunggu tunggu! Apa ini ada hubungannya dengan pertanyaanmu soal Sofia?" Devan menginterupsi seraya mengangkat tangannya.
Pria berkemeja putih dengan lengan digulung hingga siku itu bergeming, sementara Ardi menyipitkan matanya menatap Devan.
"Apa hubungan sama Sofia-mu, Dev?"
Devan terkekeh geli kemudian melipat kedua tangannya lalu bersandar di punggung kursi.
"Jadi menurutmu Renata ketemuan sama mantannya begitu?"
Tak menjawab, Jendra memijit pelipisnya.
"Dan dia nggak terima akhirnya kabur, begitu?"
"Ck! Aku cuma tanya. Dia aja yang tersinggung!" elaknya membela diri.
"Jelas dia tersinggunglah, Jendra! Kamu bicara pakai tanda seru semua. Begitu, kan?" timpal Ardi yang mulai paham arah pembicaraan.
"Kalian di sini aku minta jalan keluar dari semua ini, bukan untuk menghakimi aku!" keluhnya dengan rahang mengeras.
Mengetahui rekannya sedang dalam emosi gak stabil, Devan dan Ardi mengedikkan bahu lalu mengangguk.
"Jendra, aku rasa kamu sedang dikacaukan oleh seseorang. Siapa seseorang itu, aku juga masih meraba-raba. Sementara kandidat kuat buatku adalah Ranu!" ujar Devan serius.
"Ranu? Ranu yang belakangan ini sering dapat tender itu?" Ardi menimpali.
"Iya, tapi ini butuh penyelidikan," jawab Devan.
Selanjutnya terlihat Devan dan Ardi saling bertukar pendapat. Mereka berdua terlibat obrolan serius seolah tidak ada Jendra di sana. Sementara Jendra memilih tak menanggapi obrolan kedua rekannya itu. Dia tampak berulang -ulang menggerutu karena menelepon seseorang dan selalu gagal.
"Ke mana, Jend?" tanya Devan dengan kening mengernyit saat melihat rekannya bangkit dari duduk.
"Aku harus bertemu Papa!"
"Anak Papa!" ledek Ardi yang langsung membuat Jendra mendengkus kesal.
"Ada hal yang mau aku tanyakan. Kalian berdua lanjutkan aja apa yang sedang kalau obrolkan! Nanti kasi aku kabar!" tuturnya lalu mengayun langkah meninggalkan kedua rekannya.
**
Renata sejak pagi merasa badannya tidak nyaman. Keringat dingin keluar membuat dirinya harus beristirahat di ranjang. Ida perempuan paruh baya yang dipercaya membersihkan rumah itu sibuk khawatir. Dia meminta agar Renata pergi ke dokter untuk memeriksakan kondisinya.
"Saya khawatir Mbak Renata kenapa-kenapa, Mbak. Ayo saya antar ke dokter ayo!" ajaknya.
"Saya baik-baik aja, Bu Ida. Jahe buatan ibu udah cukup bikin saya merasa lebih baik," ungkapnya seraya bersandar di bahu ranjang.
Ida menarik napas dalam-dalam. Bagaimana dia bisa berpikir jika Renata baik-baik saja sementara bibirnya masih tampak pucat?
"Apa Mbak nggak kasi kabar Mama aja, Mbak?"
Renata menggeleng cepat. Dia kemudian tersenyum.
"Mungkin nggak sekarang, saat ini saya mau sendiri dulu, Bu."
Perempuan bertubuh subur itu mengangguk.
"Kali begitu, Ibu ke dapur dulu ya. Nanti kalau Mbak butuh sesuatu, panggil saya aja," ujarnya ramah.
"Iya, Bu Ida. Terima kasih."
Sepeninggal Ida, Renata membuka laptopnya yang semalam setiap menemani hingga dia terlelap. Menulis adalah terapi paling baik menurutnya. Tangannya lincah mengetik menerjemahkan isi kepalanya menjadi sebuah naskah cerpen. Kedua sudut bibirnya tertarik saat menuangkan idenya.
Cerpen yang bercerita tentang perasaan cinta seseorang yang sama sekali tak berbalas, tetapi justru membuat perubahan besar bagi sang pencinta. Mungkin sekilas kisah itu sama dengan dirinya.
Perlahan, tapi pasti dia merasa mulai jatuh cinta kepada Jendra, meski pria itu bersikap dingin dan seperti mustahil memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. Akan tetapi, dia merasa banyak belajar untuk menjadi perempuan yang mandiri setelah sekian lama selalu tergantung pada asisten rumah tangga.
Jemarinya terhenti saat ingat jika sejak kemarin ponselnya tidak aktif. Renata menoleh ke meja kecil di sebelah ranjangnya. Menarik napas dalam-dalam, dia mengaktifkan alat komunikasi itu.
Ada puluhan panggilan tak terjawab juga pesan muncul seketika. Satu sudut bibirnya tertarik melihat panggilan paling banyak. Pria itu pasti sekarang sedang marah besar karena ulahnya. Akan tetapi, kini Renata sudah lelah. Lelah jika harus terus bertahan pada hubungan yang rapuh tanpa dasar. Tanpa saling menghargai dan menghormati dan ... tanpa cinta.
Mungkin bagi sebagian orang cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, dan dia merasa hal itu telah terjadi padanya, tetapi pada Jendra? Apakah hal itu sama?
Jendra bahkan terlalu angkuh untuk sekadar memuji masakannya. Pria itu begitu dingin untuk bisa mengungkapkan perasaannya.
Kembali Renata menarik bibirnya singkat saat membaca pesan template yang dikirim suaminya. Kaku, flat, egois! Itu gambaran Jendra di matanya.
**
"Kamu cari Renata sekarang! Kamu pikir kamu siapa, Jendra? Papa tahu semua yang kamu inginkan adalah untuk kebaikan masa depanmu dan keturunanmu, tapi itu bukan berarti kamu merasa semua orang yang punya masa lalu itu tidak berhak untuk memperbaiki! Cobalah kamu berkaca! Apa hidup kamu sejak dahulu baik-baik saja?" cecar papanya.
Jendra bergeming. Dia tetap merasa jika dirinya dikorbankan demi perusahaan yang sudah sejak lama dibangun sang papa. Jendra sebenarnya masih memiliki banyak hal yang ingin dilakukan untuk mempersiapkan masa depannya. Tentu saja termasuk siapa dan seperti apa pendampingnya kelak.
Namun, untuk menebus rasa bersalahnya kepada kedua orang tua, Jendra rela memupus semua kriteria calon istrinya, dia hanya mematok syarat agar perempuan itu perawan. Itu saja! Dan menurutnya itu sama sekali tidak berlebihan.
Jendra mengembuskan napas dari mulutnya. Ucapan papanya cukup mengena di hati. Mungkin Pramudya benar, tetapi tentu saja ada hal lain selain keutuhan rumah tangganya yang diinginkan sang papa. Apalagi jika bukan soal perusahaan.
"Kalau Jendra memutuskan untuk tidak mencari Renata. Apa yang Papa lakukan?" tanyanya sembari melipat kedua tangan di dada.
Pramudya diam.
"Papa bingung, kan? Papa bingung bukan karena rumah tangga anak Papa berantakan, tetapi lebih karena perusahaan ini akan diambil alih perusahaan papanya Renata. Betul, kan?" sindirnya.
Jendra menyeringai.
"Jendra tahu, Pa. Jendra sangat paham apa yang Papa pikirkan!"
"Demi perusahaan ini, Papa bahkan menikahkan anak papa sendiri dengan perempuan nggak benar! Padahal Jendra pikir Papa satu frekuensi saat memilih calon istri Jendra waktu itu. Termasuk syarat perawan yang Jendra ajukan tempo hari!" imbuhnya panjang lebar.
Pramudya menarik napas dalam-dalam. Akan laki-lakinya ini benar-benar keras kepala dan masih selalu merasa paling benar. Ada sesal yang hadir saat mengingat Renata sang menantu. Puteri dari Romi itu mendadak terlihat sangat buruk di mata puteranya. Padahal Renata adalah gambaran perempuan yang hampir sempurna meski jalan hidupnya yang jauh dari kata itu.
"Jendra! Papa minta maaf kalau selama ini kamu merasa Papa hanya mementingkan perusahaan ini. Maafkan Papa untuk itu, tapi percayalah! Renata itu perempuan baik, bahkan Papa yakin kamu akan menyesal jika melepaskannya."
Jendra menaikkan alisnya kemudian menyeringai.
"Itu karena Papa merasa tidak enak untuk menolak syarat yang diajukan Om Romi, kan, Pa? Papa merasa tidak berdaya, kan, Pa?" tampiknya santai.
"Cukup, Jendra! Asal kamu tahu Renata juga sebenarnya tidak ingin hal itu menimpanya. Dia hanya korban! Karena sebenarnya kejadian setahun yang lalu itu bukan keinginannya dan dia telah berada di tempat dan waktu yang salah!"
Jendra kembali menaikkan alisnya. Pria itu merasa heran kenapa Papa dan mamanya seolah berdiri di depan Renata. Bahkan kedua orang tuanya itu seolah lebih berpihak pada Renata dibanding kepada anaknya sendiri!
"Renata diperkosa, Jendra! Dia diperkosa oleh pria bajingan yang hingga detik ini tidak diketahui siapa orangnya. Dan karena pria itu, hidupnya menjadi berantakan hingga depresi!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top