Mencoba Memahami
Renata menarik tangannya lalu membuat jarak.
"Renata ... apa aku nggak pantas mengutarakan perasaanku? Apa aku terlalu kotor untuk itu?"
Menarik napas dalam-dalam, Renata menarik bibirnya singkat.
"Secepat itu Mas mengubah perasaan? Mas lupa betapa dulu aku dianggap seperti perempuan sampah yang tidak seharusnya ada?"
"Rena ...."
"Apa ini hanya sandiwara supaya semua terlihat seperti drama? Apa ini satu dari permohonan maaf Mas?"
"Kamu ragu dengan perasaanku?"
"Aku ragu dengan semuanya," jawabnya.
"Katakan dengan apa aku bisa meyakinkanmu?"
Perempuan bermata indah itu menggeleng.
"Aku nggak tahu!"
Jendra menarik napas dalam-dalam, kemudian menyugar rambutnya.
"Oke, aku akan cari tahu apa yang akan kulakukan untuk membuatmu yakin."
Sejenak ruangan itu hening. Masing-masing dari mereka saling diam dengan pikirannya.
"Aku boleh tanya sesuatu?" Jendra memecah keheningan.
"Tanya apa?"
"Kemarin malam aku lihat ada beberapa kotak susu untuk ibu hamil, boleh aku tahu itu milik siapa?"
Tenggorokan Renata seolah mengering seketika mendengar pertanyaan pria itu. Ternyata malam itu Jendra mengetahui dan melihat deretan kotak susu di meja seperti yang dia sangka.
"Apa itu milikmu?" tanyanya lirih dengan tatapan mata penuh kehangatan.
"Bukan! Itu bukan punyaku!"
Masih dengan tatapan hangat, kembali Jendra bertanya, "Bukan punyamu?" Dia menarik napas dalam-dalam. "Kamu tahu, semalam aku sempat berpikir kalau itu milikmu, aku sempat membayangkan jika itu terjadi itu artinya ... aku akan menjadi seorang Papa! Aku merasa bangga karena anakku lahir dari seorang perempuan yang baik dan berhati mulia."
Hati Renata menghangat mendengar penuturan suaminya. Tak bisa dipungkiri dirinya merasa tersanjung meski mungkin pria itu sedang melancarkan rayuan mautnya.
"Jadi itu bukan punyamu?"
"Ck! Bukan!"
"Kalau bukan apa itu artinya Bu Ida sedang hamil?"
Hampir saja tawa Renata pecah mendengar pertanyaan Jendra kalau saja tidak muncul tiba-tiba Karina di pintu.
"Itu ... susu itu punya Karina! Iya, kan, Karina?"
Sahabat Renata yang baru datang itu mengernyit heran tak mengerti apa yang dimaksud perempuan yang tengah duduk bersebelahan dengan Jendra itu.
"Susu apaan? Aku baru juga datang, Ren! Susu apaan?" tanyanya heran.
"Susu! Susu hamil! Iya, susu hamil, kan kamu titip aku kemarin di sini, kan?" Renata memberi isyarat agar Karina bisa segera paham sandiwaranya.
"Oh ... maksudnya ... kamu ...."
"Kamu lagi hamil?" Jendra menatap Karina yang baru mulai paham drama yang dimainkan Renata.
"Aku nggak hamil cuma ...."
Jendra kembali memalingkan wajah ke perempuan di sampingnya.
"Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu, Renata? Apa aku benar-benar tidak boleh tahu apa yang sedang kamu alami?"
"Cukup, Mas! Aku nggak menyembunyikan apa pun darimu. Lagipula apa salah kalau di meja itu ada susu hamil?"
Jendra tersenyum tipis kemudian mengangguk membenarkan.
"Iya juga. Kamu benar. Mungkin aku terlampau berekspektasi terlalu jauh. Aku hanya terlalu berharap saja mungkin!" tuturnya.
"Sekarang sebaiknya Mas pergi! Papa mungkin nanti akan kembali untuk mengetahui apa Mas masih di sini atau nggak!"
Jendra mengangguk.
"Baik, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik ya. Tolong, bisa, kan untuk tidak menolak telepon dariku?"
Renata hanya mengangguk samar.
"Aku rindu kamu, Renata. Aku merasa separuh dari jiwaku hilang begitu kamu tidak ada di rumah kita," tuturnya lembut dengan mata memindai penuh kerinduan.
"Pergi, Mas!"
Jendra tersenyum getir, baru kali ini dia dibuat luluh lantak karena seorang perempuan dan perempuan itu adalah isterinya.
Sepeninggal Jendra, Karina menaikkan alisnya kemudian menggeleng.
"Kamu menutupi kehamilanmu darinya?"
Renata mengangguk.
"Kenapa? Dia, kan papa calon anak kalian?"
"Aku nggak mau dia iba padaku!"
"Iba?" Kening Karina mengernyit. "Iba kenapa?"
"Aku nggak mau dia mengasihaniku karena aku hamil anaknya, Karina. Aku nggak mau dia bertahan hanya karena anak ini!"
Karina diam.
"Aku bisa membesarkan anak ini sendiri tanpa dia!"
"Tapi dia mencintaimu, Renata. Aku tahu dari gesture-nya."
Renata menggeleng. "Aku nggak bisa percaya itu."
"Kamu egois, Re!"
"Apa dia juga nggak egois, Karina? Apa dia nggak egois saat tahu bahwa dia pelakunya dan kini ingin menebus kesalahan hanya dengan segudang rayuan dan pemberian ini?" Renata mengarahkan pandangannya ke meja. Ada berbagai kiriman dari Jendra masih tersusun di sana. Bahkan beberapa di antaranya belum dibuka.
Menarik napas dalam-dalam, Karina memilih bungkam.
**
Dea melempar apa saja yang ada di sampingnya. Kekesalannya sudah di ubun-ubun dan tak bisa dibendung saat Sena mengetahui jika dirinyalah otak dari keterpurukan Renata.
Belakangan ini Sena memang terus berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh isterinya. Beberapa kali dia memergoki Dea tengah menelepon Ranu dan seseorang yang dia tidak tahu siapa.
Dari mencuri dengar obrolan itu dia lalu mencoba menyadap ponsel Dea hingga akhirnya terkuak apa yang selama ini disembunyikan.
"Kamu benar-benar licik, Dea! Aku sama sekali nggak menyangka kamu bisa selicik itu dengan temanmu sendiri!" tegasnya dengan amarah yang meradang. "Kamu juga sengaja memperalat aku hingga membuat aku benci pada Renata. Iya, kan?" cecarnya.
Dea tertawa sinis lalu mengedikkan bahu.
"Kalau iya, kenapa? Toh semuanya sudah terjadi dan kamu juga nggak mungkin bisa kembali padanya, kan?" ejeknya dengan tawa. "Ternyata cintamu cuma sebatas keperawanan, Sena!"
Sena meradang, dia terlihat semakin naik pitam. Hampir saja sebuah tamparan mendarat di pipi Dea jika saja dia tak segera sadar.
"Kenapa? Mau tampar aku? Tampar! Ayo tampar!" Dea menantang. "Aku akan bicara pada kedua orang tuamu jika kamu sudah memperlakukan aku sewenang-wenang!" imbuhnya menyeringai.
"Dea! Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu begitu ingin menghancurkan Renata dan ... siapa Jendra? Apakah dia juga salah satu orang yang kamu peralat untuk membuat Renata hancur?"
Dea memajukan bibirnya sembari kembali mengedikkan bahu. "Apa pedulimu? Kenapa kamu bertanya soal itu? Atau jangan-jangan ... kamu diam-diam mencari tahu soal Renata?"
Sena mengeratkan rahangnya, lalu tanpa bicara dia keluar dari kamar mereka.
"Kamu mau ke mana, Sena?" teriaknya.
Pria berambut tebal itu tak memedulikan teriakan isterinya. Bagi Sena sudah cukup dirinya menjadi pria bodoh yang hidup di bawah skenario perempuan yang jauh dari kata baik.
"Sena!" serunya lagi, tetapi pria itu sudah menghilang bersama mobilnya meninggalkan Dea yang gak berhenti memaki.
**
Renata membisu menatap rinai senja itu. Pagi hingga menjelang sore tadi, Jendra kembali datang. Dia membawa bunga serta berbagai macam hadiah untuk Renata. Salah satunya adalah buku resep masakan tradisional Indonesia yang pernah beberapa waktu lalu dia mengutarakan untuk bisa belajar masak makanan Indonesia.
Meski Romi sudah mengultimatum pria itu, tetapi rupanya hal itu tak menyurutkan keinginan Jendra untuk memperbaiki kesalahan seperti yang dia pernah utarakan.
Langit saga sudah hampir menghilang berganti gelap. ponselnya kembali bergetar, siapa lagi jika bukan dari suaminya. Renata memang tidak pernah membalas pesan Jendra meski pria itu tak pernah bosan bertanya apa pun tentang kondisinya.
Tak jarang Jendra akan menuliskan panjang lebar tentang masalah di kantor. Terkadang pula Jendra mengirim pesan tentang kerinduannya kepada Renata.
Akan tetapi, sama sekali perempuan itu tidak pernah membalas atau pun merespon pesan-pesan tersebut. Dia hanya memenuhi janjinya untuk menerima telepon atau pesan dari Jendra. Hanya itu!
Beberapa kali pernah Jendra protes karena Renata tak membalas apa pun pesan darinya, tetapi dia kemudian memilih mengalah daripada sang isteri memutuskan kembali komunikasi mereka. Ternyata Jendra harus bekerja keras untuk menaklukkan hati perempuan yang tanpa dia ketahui tengah mengandung anaknya itu.
[Renata, Mama ingin bertemu. Beliau sakit sejak kemarin. Aku harap kamu mau datang. Kalau pun bukan untukku, setidaknya datanglah untuk Mama. Kumohon.]
Renata kembali meletakkan ponsel itu di sampingnya. Bayangan senyum ramah dan hangat mertua perempuannya itu terlintas. Perhatian dan ketulusan Ana begitu membekas di hatinya. Renata sangat bisa merasakan rasa sayang mama Jendra itu padanya.
Ponselnya kembali bergetar, kali ini panggilan masuk dari Jendra.
"Halo, Renata."
Senyap. Perempuan itu hanya mendengarkan saja, tampak dia ragu untuk menjawab.
"Please, aku jemput kamu sore nanti. Mama sakit dan ingin bertemu. Tolong, Renata."
Menarik napas dalam-dalam. Renata mencoba memposisikan dirinya sebagai Ana. Perempuan yang memiliki riwayat penyakit jantung itu begitu rapuh jika tahu kondisi rumah tangga puteranya yang sebenarnya.
"Iya. Aku datang untuk Mama."
Terdengar helaan napas lega dari Jendra. Suaranya terdengar gembira.
"Terima kasih, Renata. Terima kasih."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top