Luka
Sudah dua belas bulan Renata mengurung diri di kamar. Hidupnya seakan hancur seketika saat kejadian malam itu. Meski berlalu sudah cukup lama, tetap saja memorinya seakan tak hendak menghilangkan kejadian malam itu.
Malam yang awalnya membahagiakanmu berubah seperti neraka hingga saat ini. Pesta ulang tahun Dea di sebuah klub menjadi titik balik hidupnya. Malam itu dia pergi bersama beberapa orang teman yang juga teman Sena. Kebetulan Sena malam itu tak bisa ikut karena urusan pekerjaan di luar kota yang tak bisa ditinggal.
Renata tak begitu ingat kronologi pastinya, tetapi yang dia ingat adalah malam itu dia minum minuman yang diberi seseorang yang ada di sana, yang dia sendiri tidak begitu kenal.
Renata hanya tahu pria itu teman Dea. Setelah dia meneguk minuman itu, tak berapa lama dia kehilangan kesadaran. Ketika bangun, dia sudah berada di kamar apartemen Dea dalam keadaan lunglai dan nyeri di sekujur tubuh.
Saat Renata telah benar-benar tersadar, dia memekik sekuatnya memanggil Dea. Dia menangis sejadi-jadinya mempertanyakan apa yang terjadi.
Akan tetapi, Dea menggeleng perlahan dengan tatapan meminta maaf. Temannya itu pun tidak tahu apa yang terjadi, karena menurut Dea, seseorang mengantar Renata ke apartemennya dengan kondisi tak sadarkan diri.
Renata masih ingat bagaimana dia mencoba memaksa Dea untuk menunjukkan foto-foto orang yang datang di pestanya malam itu. Namun, sia-sia. Tak ada satu pun yang bisa dikenali oleh Renata.
Hancur, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Menjadi perempuan 'bekas' yang tak lagi punya harga diri kini menjadi momok Renata. Hingga dia memutus untuk berhubungan dengan dunia luar bahkan enggan sekadar berhubungan dengan teman-temannya meski melalui ponsel.
Kesedihan perempuan berparas cantik itu, tentu berjalan sejajar dengan rasa luka di hati orang tuanya. Penolakan keluarga besar Sena cukup membuat keluarga Romi Wijaya malu. Meski begitu mereka cukup berbesar hati menerima kondisi putri mereka.
Diah sang mama yang selama ini selalu sabar menghadapi psikologis putrinya terkadang hanya bisa menggeleng pelan tatkala melihat Renata yang ceria kini berubah murung. Meski tak keluar rumah selama dua belas bulan perempuan berambut sepunggung itu mengisi waktu dengan menulis artikel, puisi dan cerita pendek yang kemudian dia posting di blog-nya. Tentu dengan nama pena.
Seperti sore itu, Renata baru saja mengecat rambutnya dengan warna blue black yang membuat tampilannya berbeda. Dia memanggil hair stylist pribadi langganannya datang ke rumah untuk menata rambutnya.
"Tumben rambutnya diwarnai, Ren?" sapa mamanya saat dia duduk di kursi taman di belakang rumah.
Renata menoleh memamerkan dekikan di pipi kemudian kembali menatap laptop.
"Pengin aja, Ma."
Diah tersenyum mendekat. Perempuan paruh baya itu duduk di kursi yang dipisahkan
meja berukir berhadapan dengan putrinya.
"Cocok kok!" Diah tersenyum. "Anak Mama makin terlihat cantik?" imbuhnya.
Renata menarik bibirnya singkat kemudian mengedikkan bahu.
"Cantik tapi kotor buat apa, Ma," timpalnya.
"Renata! Kamu nggak boleh bicara begitu! Kamu tetap Renata yang dulu yang ...."
"Jangan coba hibur Renata, Ma. Siapa pun pasti jijik dengan Renata karena ...."
"Stop, Renata! Jangan diteruskan!" tegas Diah.
"Cukup sudah kamu menyesali semua yang terjadi. Sampai kapan kamu bersembunyi di dalam rumah seperti ini, Rena? Sampai kapan? Kamu juga berhak bahagia, Nak. Mama nggak mau lihat kami terus berdiam diri di rumah seperti ini."
Renata bergeming.
"Dua belas bulan sudah, Renata. Itu bukan waktu yang sebentar untuk kamu bersembunyi. Susun kembali bahagiamu dengan segenap rencana. Mama, Papa, kakakmu ... mereka pasti bahagia jika kamu kembali seperti semula, Sayang."
"Permisi, Nyonya, ini ada undangan barusan Pak Pono kasi ke saya." Suara Bik Ratmi muncul dari dalam. Perempuan bertubuh sedikit subur itu berjalan sopan mendekati Renata dan Diah.
"Undangan apa, Bik? Dari siapa?" tanya Dian saat menerima kertas tebal berwarna merah marun dengan pita emas itu.
Bik Ratmi menggeleng seraya berkata, "Dari keluarga Hardi Subakti, Nyonya."
Mendengar nama itu, Renata menatap lekat Diah kemudian kembali fokus ke layar tujuh belas inci di depannya.
"Oke, Bik. Makasih ya."
Bik Ratmi mengangguk sopan dia lalu menatap Renata.
"Mbak Renata, mi ayam pesanan Mbak baru datang. Saya bawa ke sini atau Mbak makan di meja makan?'
"Nanti Rena ke ruang makan aja, Bik. Makasih ya," sahutnya menyungging senyum.
"Sama-sama, Mbak. Permisi, Nyonya, Mbak."
Sepeninggal Bik Ratmi, Renata menatap Diah yang masih membaca undangan di tangannya.
"Sena ya, Ma? Dia menikah?" tanyanya lirih dengan senyum getir.
Diah menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng. "Tunangan."
"Kamu masih ...."
Renata menggeleng cepat.
"Dia sudah jadi masa lalu, Renata, Ma. Kalau Sena bisa begitu mudahnya membuang Rena, kenapa Rena nggak?" balasnya seraya bangkit dari duduk.
"Kamu mau kemana, Ren?"
Sambil merapikan rambut lurusnya, perempuan berhidung mancung itu menaikkan alisnya.
"Mi ayam Rena menunggu di meja makan, Ma."
Diah menghela napas lega kemudian mengangguk membiarkan putrinya masuk rumah untuk menikmati makanannya.
**
Romi menatap Pramudya meyakinkan ucapan rekan kerjanya itu. Setelah sekian lama berpikir soal Renata, akhirnya Romi menemukan ide yang menurutnya sangat baik. Pria paruh baya itu memutuskan untuk menikahkan Renata dengan putra rekan bisnisnya. Hal itu disambut baik oleh Pramudya.
Tentu saja bukan semata-mata menikahkan keduanya, tetapi ada transaksi bisnis di dalamnya. Perusahaan properti milik Pramudya memiliki utang besar kepada perusahaan Romi. Jika tak segera dilunasi, maka perusahaan Pramudya akan menjadi hak milik Romi.
Dengan utang yang semakin lama membengkak, akhirnya Romi melakukan penawaran yang tentu saja disambut baik oleh Pramudya. Ada kesepakatan tak tertulis meski Pramudya tahu jika putri Romi pernah menjadi korban kejahatan seksual di masa lampau.
"Tapi aku minta, jangan sampai anakmu menyia-nyiakan Renata putriku, sebab jika aku dengar Jendra berlaku buruk padanya ... aku pastikan perusahaan akan aku ambil alih," ancam Romi.
Pramudya, pria bertubuh tinggi hampir sama dengan Romi dan berperawakan agak gemuk itu mengangguk yakin. Dia kembali meyakinkan jika hal itu tidak akan terjadi pada Renata.
"Kamu tahu seperti apa Jendra, kan? Anak itu sudah banyak berubah sejak mamanya sakit-sakitan. Dia cukup memiliki tanggungjawab pada tugas apa pun yang diberikan padanya."
Romi mengangguk paham. Dia mengerti seperti apa Jendra beberapa waktu lalu. Berulangkali papanya harus berurusan dengan polisi karena ulah putranya itu.
Kenakalan Jendra sejak sekolah menengah atas hingga kuliah seperti sudah menjadi makanan sehari-hari Pramudya. Terakhir rekan bisnisnya itu mengeluh karena putranya makin tak bisa diandalkan.
Akan tetapi, belakangan Pramudya tampak bahagia karena Jendra sudah mulai perlahan memperbaiki diri.
"Mungkin dia sadar karena mamanya berulangkali harus keluar masuk rumah sakit karena memikirkan putranya itu, Rom!" Demikian Pramudya bercerita beberapa bulan lalu.
Mengingat itu, Romi berharap Jendra dan Renata bisa saling cocok, mengingat Renata memiliki trauma sementara Jendra punya catatan kelam yang kini dia hindari.
"Kita atur waktu untuk mempertemukan mereka. Bagaimana?"
Romi mengangguk.
"Aku bicarakan ini ke istriku. Aku rasa dia akan setuju karena dia kenal baik dengan istrimu, kan?"
Pramudya tersenyum kemudian mengangguk. Meski mungkin akan sulit bagi Jendra, tetapi dia yakin putranya akan menuruti rencana ini. Jendra sudah banyak berubah itu yang dia yakini.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top