Keputusan Romi
Ida melihat dari kejauhan apa yang terjadi di antara Romi dan suami Renata. Perempuan paruh baya itu menyipitkan matanya lalu cepat kembali meneruskan pekerjaannya. Sementara di dalam Renata yang tidak tahu jika papanya datang, sedang serius menelepon Karina di kamarnya yang tidak tertutup.
"Aku nggak nyangka, Karina. Aku sama sekali tidak pernah berpikir jika ternyata Jendra pelakunya! Aku malu pada diriku sendiri!" Terdengar suaranya bergetar.
"Tenang dulu, Renata. Ini bukan masalah malu atau apa pun itu, tapi masalah kejujuran dan siapa yang bermain di balik kejadian malam itu." Karina mencoba bersikap bijaksana.
Renata bergeming. Dia tak menyadari obrolannya barusan didengar jelas oleh papanya.
"Tapi Karina, dia sudah merusak semuanya! Dia sudah menjatuhkan harga diriku sejatuh-jatuhnya! Dia, Karina! Dia orangnya yang membuat aku hampir mati karena malu dan putus asa!" Tangisnya pecah. "Dia juga yang membuat Papa dan mamaku menanggung malu, rasa sedih dan semua rasa yang tidak menyenangkan!"
Romi yang sejak tadi berdiri di pintu terlihat semakin teraduk-aduk emosinya. Rahang pria paruh baya itu mengeras dengan mata berkilat dengan napas naik turun.
"Jadi pria busuk di depan itu yang menjadikan kami hampir kehilangan kamu, Renata?" Suara Romi terdengar dekat di belakangnya.
Mata Renata sontak membulat, dia kemudian menoleh masih dengan perasaan terkejut.
"Papa? Kok Papa datang pagi-pagi sekali?" tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Jadi Jendra yang melakukan hal nista setahun lalu kepadamu?"
Puterinya itu menunduk. Dia terlihat sedang berpikir untuk mencari jawaban yang tepat yang bisa sedikit meredam amarah papanya.
"Kenapa diam? Kamu masih mau membela pria itu? Kamu masih mau pasang badan untuk pria sombong dan merasa dirinya paling suci itu? Iya!" bentaknya.
Renata memejamkan mata seraya menggeleng.
"Papa dengarkan Renata dulu," tuturnya pelan.
"Apa lagi yang harus Papa dengar? Papa sudah mendengar semuanya! Kamu bilang kalau anak Pramudya itulah biang kerok dari semua permasalahan dalam hidup kamu sejak setahun lalu! Iya, kan?"
"Apalagi yang mau kamu bela? Bahkan kamu berhak memasukkan dia ke penjara sekarang, Renata! Dia pria pengecut yang nggak pantas kamu bela! Ingat! Dia sudah membuat Papa dan Mama harus bekerja keras untuk kembali memulihkan kondisi psikologismu! Dan kamu ... kamu nggak ingat berapa kali kamu hampir mengakhiri hidup?" Amarah Romi semakin menjadi.
Sejenak ruangan hening. Pria itu melangkah kemudian duduk di sofa yang terletak di dalam kamar puterinya. Sementara Renata masih mematung di ranjang dengan ponsel yang baru saja dimatikan.
"Kami sayang padamu, Nak. Kami nggak mau ada satu orang pun yang kembali menyakitimu." Romi menarik napas dalam-dalam. Suaranya kini tak setinggi tadi. "Cukup, Renata! Kali ini biarkan Papa yang mengambil alih masalahmu! Ini tentang harga diri kami sebagai orang tuamu dan perbuatan kriminal yang dilakukan pria itu! Ini bukan lagi masalah rumah tangga biasa!" tegasnya.
Renata mengusap air matanya, dia terlihat cemas karena ucapan sang papa. Perempuan itu tahu bagaimana papanya jika marah. Romi sangat menyayanginya dan akan melakukan apa aja untuk membuat Renata bahagia. Jadi jika tahu ada yang menyebabkan puterinya kecewa dia tidak akan berkompromi dengan apa pun.
"Papa, sekarang Papa sudah tahu. Renata nggak akan menyembunyikan apa pun lagi ke Papa," tuturnya hati-hati. "Tapi Renata mohon supaya Papa biarkan masalah ini selesai dengan baik ya, Pa. Jangan pakai kekerasan apalagi sampai melibatkan pada pemutusan kerjasama bisnis papa dengan Om Pram, karena papa Mas Jendra nggak punya andil apa pun di dalam masalah ini," mohonnya.
"Renata hanya mendudukkan posisi mereka, Pa. Renata yakin jika mereka tahu yang sebenarnya terjadi jauh-jauh hari ... mereka juga nggak mungkin membiarkan hal ini terjadi."
Romi menyimak penjelasan Renata dengan napas masih belum teratur. Orang tua mana yang rela anaknya direndahkan sementara belakangan tahu apa yang terjadi di masa lalu pada orang tersebut.
"Kamu bicara seperti ini karena kamu hormat dengan mertuamu atau kamu sudah jatuh cinta pada pria bodoh itu?"
Pertanyaan papanya membuat tenggorokannya tercekat.
"Papa."
"Ingat, Renata! Rasa cinta itu bisa membuat bahagia sekaligus bisa membunuhmu dalam waktu bersamaan!"
"Pa! Sekarang bukan hanya soal Renata, Pa!"
"Maksud kamu?"
Merasa salah dalam berucap, Renata mengatupkan bibirnya kemudian menggeleng.
"Maksud Renata, ini sudah menyangkut dua keluarga yang sudah lama berhubungan baik, Pa. Jadi bukan soal Renata dan Mas Jendra jelasnya seraya menghela napas lega.
"Lalu ngapain dia ada di sini? Kamu ngajak dia ke sini? Untuk apa?" cecarnya. "Untuk apa? Ingat! Dia itu pria berengsek!"
Renata menggeleng cepat kemudian menjelaskan apa dan bagaimana sehingga Jendra ada di kediamannya saat ini.
Romi tak menyahut, dia bangkit keluar dari kamar puterinya. Seolah paham, Renata ikut beringsut dari ranjang mengikuti papanya.
"Bu Ida!" serunya dengan mata mengedar ke seluruh ruangan.
Terlihat Ida tergopoh-gopoh mendatangi pria berdasi itu.
"Iya, Pak Romi?"
"Apa pria itu di depan itu masih ada?"
"Ada, Pak."
"Suruh dia masuk!" titahnya dingin.
Membungkuk sopan, Ida berjalan mengikuti perintah Romi.
"Papa mau apa, Pa?" Renata terlihat khawatir.
"Kenapa? Apa mau menyelesaikan tugas Papa sebagai orang tua! Tugas Papa sebagai orang tua yang anaknya dilecehkan bahkan sama sekali tidak dihargai!" jawabnya tegas.
"Papa nggak usah pakai kekerasan ya, Pa. Renata nggak mau itu terjadi," pintanya.
"Kenapa?" Sudut mata Romi menatap tajam ke puterinya. "Orang seperti itu nggak perlu kamu kasihani apa lagi kamu kasi hati!"
Dari arah pintu, Ida muncul, di belakangnya tampak Jendra berdiri. Tak ada kecemasan di paras pria itu meski terlihat di matanya rasa lelah yang teramat sangat.
Romi memberi isyarat agar Ida kembali ke dapur, lalu menoleh ke Renata.
"Masuk ke kamar, Renata!" titahnya tegas.
"Papa ...."
"Papa bilang masuk!"
Tampak mata Jendra dan Renata saling bersirobok. Akan tetapi, Renata segera memutusnya.
"Papa, Please ... ini urusan Renata juga. Biarkan Rena ...."
"Kamu Papa minta masuk kamar sekarang!"
Tak lagi membantah, dia melangkah menjauh dari tempat itu. Sementara Jendra masih berdiri di ruang tamu dekat dengan jendela.
"Duduk!" titah Romi dengan nada tak ramah.
Pria yang sejak kemarin belum berganti kemeja itu membungkuk sopan menuruti perintah mertuanya. Tampak kemudian Romi berjalan mendekat. Tanpa diduga satu tamparan keras mendarat di pipi Jendra membuat pria itu memejamkan mata mencoba tetap dia di posisi semula.
"Itu untuk perbuatanmu yang menganggap puteriku bukan perempuan baik-baik!" ujarnya penuh penekanan.
"Dan yang ini!" Kembali tangan dua kali itu menyapa pipi sebelah kirinya. "Dan itu untuk perbuatanmu yang hina setahun yang lalu terhadap Renata! Paham?"
Sudut bibir Jendra terlihat berdarah, pipinya juga tampak memerah, tetapi pria itu tetap bergeming dengan kepala menunduk.
Itu sebenarnya sangat tidak cukup!" imbuhnya memindai wajah Jendra.
Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam. Setelah puas menampar pria itu, Romi menjauh lalu duduk di sofa berseberangan dengan menantunya.
"Ngapain kamu ke sini? Sudah nggak ada gunanya lagi kamu berada di sini!"
Romi menarik napas dalam-dalam.
"Kalau kamu tidak mau mengurus perceraian, biarkan kami yang mengurusnya! Yang penting jiwa dan raga Renata aman!"
"Om, tolong maafkan saya, saya ...."
"Seorang pelaku pelecehan seperti kamu sangat kecil kemungkinannya untuk bisa jauh dari hal yang serupa! Dan saya tidak akan rela jika Renata harus hidup dengan pria sepertimu! Bisa saja kamu kembali merusak perempuan lain yang kemudian tentu itu akan sangat menyakiti hati puteriku!"
"Om, saya bukan pria seperti itu, Om. Saya sudah lama meninggalkan kehidupan seperti yang Om bilang, saya ...."
Romi mengangkat tangannya memberi isyarat agar Jendra diam. Pria itu lalu menggeleng cepat.
"Sayangnya aku tidak percaya denganmu! Sayangnya Renata merasa hatinya sudah sangat luka dan kamu ... jangan buang-buang waktu di tempat ini karena semuanya sudah selesai! Masalahmu sekarang denganku, Jendra. Dengan Romi papanya Renata!" ucapnya seraya bangkit dari duduk. "Sekarang kamu pergi! Itu akan lebih baik untuk kesehatan mental puteriku!"
Jendra terpekur membisu di tempatnya. Semuanya terasa begitu rumit dan sangat sulit untuk diuraikan satu per satu. Akan tetapi, dia berusaha bertahan meski sangat kecil kemungkinan Romi dan keluarganya untuk bisa membuka pintu maaf.
"Ngapain tetap di sini? Keluar!" usir Romi saat dia berada di pintu. Mata pria paruh baya itu menatap tajam ke Jendra yang masih duduk.
"Om, beri saya kesempatan untuk bicara dengan Renata. Sebentar saja, sebab sejak kemarin saya sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan puteri Om," mohonnya. "Saya ... saya sangat mencintai Renata, Om," imbuhnya dengan nada lirih penuh permohonan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top