Kembali ke rumah

Tak berbeda dengan di restoran tadi, di rumah pun Renata mendapatkan kejutan. Rumah di penuhi dengan bunga mawar putih yang mengeluarkan aroma wangi.

Ucapan selamat datang terdengar ramah dan sopan dari perempuan paruh baya yang ternyata sudah disediakan oleh Jendra untuk sang isteri.

"Dia Bik Tuti, dia akan menyiapkan dan membantu apa pun yang kamu butuhkan," terangnya.

Renata membalas senyum perempuan bertubuh subur itu seraya menyambut uluran tangannya.

"Mas, tapi bukannya Mas ...." Menggantung kalimatnya, Renata mengangkat wajahnya menatap sang suami.

"Nggak suka memakai asisten rumah tangga?"

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum.

"Untuk kasus kali ini, itu tidak berlaku, karena aku nggak mau kamu lelah dan harus fokus pada anak kita," jawabnya seraya mengusap perut Renata.

"Bik Tuti, tolong jangan sampai dia lelah ya. Saya nggak mau terjadi sesuatu padanya dan anak saya."

"Siap, Pak." Tuti mengangguk sopan.

"Sekarang ... kamu harus istirahat. Kita ke kamar sekarang!" ajaknya meraih bahu sang isteri.

**

Sena membuang napas kasar. Dirinya seolah perlahan mulai menerima hukuman dari apa yang diperbuat. Proses perceraiannya sudah hampir final, karena dia sudah benar-benar tidak ingin lagi bertemu perempuan itu.

Bagi Sena penyesalan terbesarnya adalah kebodohan yang pernah dia lakukan. Yaitu dengan pongahnya percaya apa pun yang dikatakan Dea. Kini Sena sudah benar-benar kehilangan Renata. Sosok perempuan yang pernah banyak mimpi dia rajut bersamanya kala itu.

Mira--mama Sena ikut menarik napas dalam-dalam.  Sebagai seorang ibu, dia tahu bagaimana perasaan puteranya. Semalam Sena bercerita panjang lebar secara detail tentang semuanya. Termasuk tentang penyesalan dan keinginannya.

"Sebaiknya kamu menepi, Sena. Nggak perlu ikut campur dengan kehidupan Renata lagi."

"Sena nggak bisa, Ma. Semua yang terjadi di hidup Renata, ada sangkut pautnya dengan Sena. Dia terpuruk, dia hancur dan Sena justru semakin membuatnya patah. Sena meninggalkannya begitu saja," tuturnya dengan penuh penyesalan.

"Lalu? Kamu mau apa? Kamu mau kembali padanya?"

Sena mendengkus mengepalkan tangannya. Cerita tentang Jendra yang menjadikan Renata bulan-bulanan karena status dia di masa lampau kembali memenuhi otaknya. Menurut Romi, Jendra selalu mempermasalahkan kejadian yang menimpanya setahun yang lalu.

Mungkin dia juga pernah melakukan hal yang sama, tetapi setidaknya Sena merasa lebih baik daripada pria itu. Karena status Jendra yang kini sebagai suami Renata, sudah seharusnya melindungi dan mengayomi sang isteri bagaimana pun keadaannya.

"Sebaiknya kamu berhenti berpikir tentang Renata. Kamu sendiri sudah tahu kalau dia sudah menikah dan ...."

"Tapi dia bersuami pria yang tidak bisa membuat dirinya bahagia, Ma!" selanya.

"Renata tidak bahagia di pernikahannya. Dia berhak bahagia, Ma."

"Dari mana kamu tahu soal kebahagiaan Renata? Apa dia pernah bicara padamu? Sebaiknya jangan memancing di air yang keruh, Sena!"

"Sena tidak sedang memancing di air yang keruh, Ma. Sena hanya mencoba berpikir realistis. Renata butuh dan berhak mendapatkan kebahagiaan. Selama ini dia terus dirundung sedih dan itu semua karena skenario Dea dan ulah suaminya!"

"Mama tanya, kamu tahu itu semua dari siapa?" Mira mencoba mengajak Semua untuk berpikir dengan baik.

"Om Romi, Ma. Papa Renata sendiri yang mengatakan ke Sena," paparnya mencoba meyakinkan sang mama.

Mira menatap puteranya dengan tatapan menyelidik. Dia tak menyangka  jika Romi sudah sedemikian rupa menjelaskan kondisi Renata kepada Sena.

"Kenapa Om Romi memberitahukan semuanya ke kamu, Sena?" selidiknya.

Sena membalas tatapan mamanya.

"Mungkin karena Om Romi merasa ingin ada orang yang bisa mendengar dan memahami apa yang dirasakan."

"Maksudnya?"

"Tante Diah tidak setuju dengan apa yang sudah jadi keputusan Om Romi untuk memisahkan Renata dan suaminya," papar Sena. Sejauh ini dia merasa Romi ada di pihaknya, setidaknya papa dari Renata itu terlihat menyimak dan mau mendengar semua yang dia sampaikan tentang hal yang dia ketahui soal kejadian setahun silam.

Mira menggeleng samar. Dia bisa paham reaksi Romi, tetapi untuk memisahkan pernikahan puterinya tentu itu bukan hak yang baik apa pun alasannya kecuali ada alasan yang sangat kuat untuk itu.

Jika menelaah apa yang diceritakan puteranya, biar bagaimanapun Jendra, pria itu tetap suami Renata terlepas dari semua catatan buruk di masa lalunya.

"Mama nggak setuju dengan rencanamu, Sena!"

Sena mengalihkan tatapannya ke sang mama.

"Mama nggak mau Sena menolong Om Romi? Sena nggak mau Renata semakin terpuruk, Ma.

"Apa kamu pernah berpikir jika Renata tidak suka jika kamu ikut campur dalam masalahnya?"

Pria berkaus polo putih itu membuang napas perlahan. Mamanya benar, belum tentu Renata suka jika dia ikut campur, tetapi dia kini sudah tidak seperti dulu.

Sena kini sudah tahu kebenaran yang terjadi waktu itu. Jadi menurutnya, adalah wajar dan sudah sepantasnya dia membantu agar Renata terbebas dari semua yang mengimpitnya.

"Sena."

"Iya, Ma?"

"Kamu yakin tujuanmu hanya ingin menolong Renata?"

"Maksud Mama?"

Mira tersenyum tipis. Dia lalu berpindah duduk tepat di samping puteranya.

"Kamu tidak sedang berpikir merebut Renata dari suaminya, kan?"

Sena bergeming. Merebut Renata dari Jendra adalah hal yang paling dia inginkan saat ini. Meski dia tahu tidak semudah apa yang dia pikir.

"Kenapa diam? Secepat itu perasaanmu berubah dari Dea lalu kembali ke Renata?"

Dea! Mengingat nama itu, Sena menarik napas dalam-dalam.

Bersama Dea yang tadinya dia banyak berharap, ternyata jauh dari apa yang dia inginkan. Berharap bisa memberi rasa seperti yang di rasakan Dea padanya, nyatanya sia-sia. Sekuat apa pun dia mencoba, tetap saja hambar yang dirasa. Terlebih saat mengetahui bahwa Dea adalah otak di balik kejadian yang menyebabkan hubungannya dan Renata kandas.

"Apa kamu yakin Renata masih memiliki rasa yang sama denganmu? Lalu apa kamu juga berpikir bagaimana papanya?" Mira menggeleng pelan. "Nggak semudah itu, Sena."

Sena mengusap tengkuknya seolah tersadar. Namun, ada sisi hatinya yang merasa yakin jika dia bisa kembali memenangkan hati Renata entah bagaimana caranya.

"Sudah! Kalau kamu memang mau membantu, bantu saja tanpa pamrih. Tapi ingat! Terkadang niat baik itu kadangkala tidak mendapatkan sambutan yang baik juga. Pesan Mama, berhenti bermain-main dengan kalimat ingin membantu."

**

Romi memggeram kesal, dia heran dengan keputusan puterinya untuk memilih ikut Jendra meski pria itu telah memperlakukannya dengan tidak baik. Dia sengaja tidak mengabarkan tentang kehamilan Renata pada sang isteri. Karena sudah pasti Dia akan lebih keras mencegah apa yang akan dia lakukan terhadap pernikahan puteri mereka.

"Jadi sekarang Renata kembali ke rumah Jendra?" Diah menatap suaminya.

"He em." Romi seperti tak acuh menjawab.

Mendengar kabar itu, Diah menggumam syukur.

"Mama ini, anaknya diperlakukan nggak baik kok malah bersyukur! Jangan mentang-mentang punya hubungan baik dengan mamanya Jendra, Mama malah nggak memikirkan kebaikan mental anak kita!" sambungnya dengan paras kesal.

"Papa, Papa bisa nggak sih berhenti memikirkan diri Papa sendiri?"

Romi menyipit mendengar ucapan isterinya.

"Memikirkan diri sendiri gimana? Papa ini sedang berpikir bagaimana anak kita itu bahagia tanpa cecunguk itu!"

"Pa! Papa bilang Renata sekarang berada di kediaman Jendra, kan?"

Romi mengangguk.

Diah tersenyum lalu menarik napas dalam-dalam.

"Itu artinya, Renata sudah menentukan sikap atas rumah tangganya, Pa. Renata sudah dewasa dan dia tahu apa yang menurutnya benar! Dia sudah matang ditempa masalah yang hampir membuatnya mengakhiri hidup! Dia sudah banyak belajar untuk bangkit dan memiliki pikiran positif, Pa. Apa Papa nggak berpikir ke arah sana?" celoteh Diah.

"Papa harus bisa terima jika pada akhirnya dia merasa nyaman bersama suaminya," imbuhnya seraya menyodorkan segelas kopi tanpa gula ke suaminya. "Hargai keputusannya."

Romi menyesap sedikit kopi hitamnya lalu meletakkan kembali ke meja.

"Tapi Papa tidak berpikir ke situ, Ma. Papa rasa dia memutuskan hal itu karena dia saat ini sedang hamil!"

Diah terdiam. Matanya memindai lekat sang suami. Perempuan itu mencoba memastikan jika pendengarannya tidak salah saat mendengar penuturan Romi barusan.

"Hamil? Renata hamil, Pa?"

Romi memijat pelipisnya menyesali perkataan baru saja keluar dari mulutnya.

"Papa? Papa bilang tadi anak kita hamil? Apa iya begitu?" tanya Diah mengulang.

Tak ada pilihan lain selain mengangguk untuk menjawab pertanyaan sang isteri.

"Iya. Anak kita hamil!"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top