Kabar tentang Sena
Ranu menyeringai kemudian menggeleng.
"Aku berhenti, Dea. Cukup! aku nggak mau kamu ikutkan dalam hal ini. Cukup sudah aku membantu kamu bisa merebut Sena dari Renata!"
Dea tertawa kecil kemudian menggeleng. "Kamu yakin? Kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran? Bukannya kamu ingin menghancurkan bisnis teman kamu itu?"
Pria bertato di lengan itu menaikkan alisnya.
"Kita buat Renata membenci suaminya. Kita buat mereka berpisah!"
Ranu masih bergeming. Dia menyimak apa yang akan di katakan oleh Dea.
"Yakin berhenti? Ada berapa proyek incaranmu yang diambil perusahaan dia?"
"Sial!" Ranu mengusap wajahnya kasar. "Jadi apa yang harus aku lakukan?"
Tawa Dea pecah seketika. Sambil bertepuk tangan dia berkata, "Sudah kuduga! Ayolah! Kita
akan baik-baik saja kalau kamu seperti ini, Ranu!"
Ranu mengangguk seraya tersenyum.
"Jadi, tanggal yang tertera di undangan itu beneran jadi?"
Dea mengaduk air jeruk di depannya sembari mengangguk.
"Jadi dong! Setelah ini aku bakal ketemu sama Sena untuk fitting baju di butik langganan keluarga besarnya!"
Ranu terkekeh.
"Sukses juga akhirnya! Sena benar-benar bertekuk lutut padamu!"
Mengerucutkan bibirnya, Dea lalu ikut tertawa.
**
Diah menyambut kedatangan anak dan menantunya dengan hangat. Perempuan paruh baya itu terlihat gembira melihat interaksi putrinya dengan Jendra.
"Ke sini kenapa nggak kasi kabar dulu?" tanyanya saat mereka semua duduk di ruang keluarga.
"Sengaja, Ma." Renata tersenyum.
Jendra melihat arloji lalu menatap Renata dan mertuanya bergantian.
"Renata, aku harus ke kantor. Tante, saya ke kantor dulu. Nanti Renata kalau pulang biar dijemput sopir," tuturnya seraya bangkit dari duduk.
Diah mengangguk. Tampak Renata meraih tangan sang suami lalu mencium punggung tangannya. Pemandangan di depannya kembali menjadi sebuah kebahagiaan bagi perempuan paruh baya itu.
Seusai melepas sang suami ke kantor, Renata kembali ke dalam.
"Masak apa, Ma?" tanyanya saat sang mama mengambil daging dari freezer.
"Mama mau bikin bistik. Nanti malam papamu ngundang rekan bisnisnya makan malam di rumah," jelas Diah. "Kamu udah sarapan, kan?"
Mengangguk cepat, Renata duduk di ruang makan. Matanya mengernyit menatap undangan berwarna kuning gading dengan tinta emas yang tergeletak tak jauh di hadapannya. Sedikit bangkit dia meraih benda itu untuk kemudian kembali duduk.
"Dea?" bisiknya membaca tulisan berukir di kertas tebal itu.
Menarik napas dalam-dalam, Renata kembali membaca nama di undangan tersebut. Jelas terbaca nama Aryasena Surbakti dan Dea Kamalia di sana. Tangannya mendadak bergetar, napasnya naik turun seiring dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Meski tidak mengetahui apa yang terjadi, tetapi jelas dari parasnya terlihat kesedihan dan amarah yang mendalam di sana.
Jelas Dea adalah teman baiknya yang seringkali bersama-sama di saat apa pun. Dea yang tak bosan mendengar kisah cintanya dengan Sena. Dea pula yang pertama kali tahu jika Sena melamarnya secara pribadi di sebuah acara makan malam intim mereka.
Namun, benarkah Dea dan Sena selama ini telah mempermainkannya? Jika iya, kenapa keduanya tega? Dan apa maksudnya? Apakah Sena memang telah menipunya? Atau apakah Dea yang memang mencoba merebut Sena darinya? Apakah Sena berselingkuh?
Beragam pertanyaan menari-nari di kepala Renata. Dadanya semakin berdebar kencang. Berkali-kali Renata menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosi yang bergejolak.
Sentuhan lembut di bahu menyadarkan Renata. Dia menoleh membalas tatapan Diah. Seolah tahu perasaan sang putri, perempuan paruh baya itu langsung memeluk Renata seraya berbisik, "Sabar. Kini kamu sudah memiliki Jendra."
Renata mengurai pelukan mamanya. Sambil mengusap air mata yang mengalir, dia berkata, "Tapi dia Dea, Ma. Dia Dea, Mama tahu, kan, siapa Dea?"
Mengangguk, Diah duduk di sebelah putrinya.
"Nggak perlu kamu ulik lagi masa itu, Renata. Kamu sudah punya kehidupan sendiri yang lebih baik, kan?"
Tak menyahut, Renata meraih gelas berisi air putih yang tadi dibawa mamanya. Setelah meneguk hingga habis, dia dia menarik napas dalam-dalam.
"Mama."
"Iya?"
"Apa Jendra tahu kondisi Renata sebelumnya?"
"Maksudnya?" Dia mengerutkan kening.
"Apa Jendra tahu kalau Renata pernah di ...."
"Renata, kenapa masih seputar itu yang kamu bahas, Nak? Bukannya suamimu telah memperlakukanmu dengan baik?"
"Untuk apa lagi kamu kembali bertanya soal itu?" imbuh Diah.
"Entah, Ma." Renata menatap gelas kosong di depannya. "Renata merasa Jendra belum tahu soal itu, tapi ...."
"Tapi apa?"
Renata menggeleng cepat kemudian tersenyum getir.
"Kamu mau datang di acara Sena?" Suara mamanya terdengar hati-hati. "Saran Mama sebaiknya kamu nggak perlu datang karena ...."
"Undangan itu untuk Renata, Ma. Renata harus datang!"
Diah menyipitkan matanya.
"Kamu yakin?"
"Tentu saja. Renata ingin melihat mereka berdua berbahagia."
Diah mengusap bahu putrinya.
"Terserah kamu saja, tapi Jendra bagaimana?"
"Kalau dia mau menemani Renata, nggak apa-apa, kalau dia nggak mau, Renata bisa berangkat sendiri," tuturnya tegas dengan mata kembali berkaca-kaca.
**
Jendra melirik sang istri. Perempuan berhidung mancung itu sejak tadi membisu. Meski pagi tadi dia mengatakan istrinya akan dijemput sopir, tetapi akhirnya Jendra sendiri yang menjemput Renata.
Tampak sesekali istrinya merapikan rambut seraya menghela napas dalam-dalam. Sejak ke keluar dari komplek rumahnya, Renata memilih melihat ke luar. Hanya sesekali saja dia menatap lurus.
Lampu jalanan sudah terlihat menyala tanda kehidupan malam di mulai. Jendra memperlambat laju mobil. Hal itu sengaja dia lakukan untuk memberi ruang bagi Renata menatap jalanan dari balik jendela.
"Mas."
"Hmm?"
"Kenapa jalannya pelan? Mas mau membeli sesuatu?" tanyanya saat melewati pujasera yang menjajakan aneka makanan.
"Nggak! Aku nggak suka makan di luar!"
Renata kembali menarik napas dalam-dalam.
"Kalau begitu kenapa jalannya lambat?"
"Mungkin kamu yang pengin beli sesuatu."
"Nggak."
Jendra menaikkan alisnya kemudian mengedikkan bahu.
"Oke. Kita pulang."
Mobil kembali meluncur cepat.
"Mas besok malam ada acara?"
"Dilarang berbicara dengan sopir!" jawab Jendra tanpa menatap.
Mendengar jawaban sang suami, Renata tersenyum geli. Benar kata Bik Sundari. Jendra memang pribadi yang menyenangkan dan perhatian, meski terkadang muncul sikap dingin dan menyebalkan.
**
Selepas makan malam, Jendra kembali ke ruangannya. Pria itu memilih ke sana karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan.
Setelah Renata selesai membereskan meja makan dia berniat untuk bicara soal undangan dari Sena.
"Mas aku mau bicara," ujar Renata seraya melangkah mendekati sang suami yang duduk ruang kerjanya.
"Duduk! Bicara aja!"
Mengangguk dia duduk di hadapan suaminya yang terpisah oleh meja kerja.
"Besok malam ada acara?"
"Nggak! Kenapa?" sahutnya masih sibuk membaca berkas di tangan.
"Aku diundang teman di pernikahannya."
"Lalu?"
Renata sejenak mengedarkan pandangan ke ruang kerja suaminya. Rapi! Ada beberapa rak berisi buku-buku berjajar di sana. Ruangan ini paling beda karena Jendra mendesainnya sangat detail. Perabot serba kayu dan dibiarkan dengan warna aslinya.
"Kau mau melanjutkan obrolan atau mau baca buku-buku itu?"
Senyum manis tersungging di wajahnya. Dia lalu kembali menatap sang suami.
"Aku boleh, kan datang ke acara itu besok malam?"
"Boleh."
Renata kembali tersenyum, meski ingin sekali dia meminta agar Jendra mau menemaninya untuk hadir di acara Sena.
"Udah selesai bicaranya?"
"Udah. Terima kasih," sahutnya dengan wajah kecewa.
Jendra tak menyahut, dia hanya mengangguk.
"Aku ke kamar. Selamat malam."
"Malam."
Perempuan berbaju rumahan berwarna hijau tua itu beranjak dari duduknya lalu melangkah menuju pintu.
"Jam berapa besok malam?" pertanyaan Jendra menghentikan langkahnya. Berbalik dia berkata, "Jam tujuh sampai jam sepuluh malam."
"Aku temani kamu besok!" ucapnya masih tanpa menoleh.
Ingin rasanya Renata bertepuk tangan dan menghambur memeluk sang suami, tetapi hal itu ditahannya. Dia tak ingin kembali diledek oleh pria itu.
"Kenapa masih berdiri di situ? Masih ada yang mau dibicarakan?"
Renata memamerkan dekikan di pipi seraya menggeleng.
"Kalau kamu butuh beli gaun untuk besok malam, kamu bisa cari besok pagi di butik punya teman mamaku. Besok pagi aku suruh sopir jemput kamu ke butik Tante Risma."
Lagi-lagi Jendra menunjukkan perhatiannya. Hal itu tentu menambah kebahagiaan Renata. Tuhan maha baik, setahun diberi kesedihan kini Dia telah mengganti semua lara dengan senyuman.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top