Jujur

"Aku nggak mau pulang ke rumahmu, Mas!" tutur Renata saat mobil berbelok ke arah kediamannya.

"Kenapa?"

"Itu bukan rumahku!" jawabnya tegas.

"Itu rumahmu, Renata. Rumah kita!"

Renata bergeming, lalu dengan cepat dia menggeleng. Melihat itu, Jendra menepikan mobilnya. Setelah mobil berhenti, dia membuka sabuk pengaman lalu memiringkan tubuhnya menghadap sang isteri.

"Renata, aku tahu kamu sangat marah dan ... jujur beberapa hari kamu pergi, aku merasa ada yang hilang," ungkapnya mencoba meraih tangan isterinya tetapi Renata cepat menarik tangannya menjauh.

Jendra membuang napas perlahan dari mulut. Kali ini dia benar-benar terkunci tak bisa berkata apa-apa selain ingin agar Renata membuka pintu maaf untuknya.

Kesalahan yang dia lakukan terlalu besar untuk bisa dipahami oleh Renata. Jendra siap dan bisa memahami jika nanti isterinya tidak bisa menerima semua itu. Saat ini Jendra hanya berharap agar perempuan di depannya belum tahu jika dialah pria berengsek yang menyebabkan hidupnya hancur sejak malam itu.

"Turunin aku di sini!" pintanya tegas.

"Kamu mau ke mana?"

"Ke tempat di mana aku dihargai dan diharapkan."

Jendra tersindir. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Maafkan aku," ucapnya lirih seraya mengusap tengkuk. Jelas selaksa sesal tergambar di sana.

"Kalau kamu tidak mau pulang ke rumah kita, setidaknya biarkan aku tahu di mana kamu tinggal," mohonnya. "Aku nggak memaksamu, meski aku menginginkannya."

"Untuk apa Mas mau tahu tempat tinggalku? Bukannya aku nggak pantas untuk dicari? Bukannya aku perempuan yang tidak pernah ada dalam harapmu?"

Jendra menggeleng cepat lalu meletakkan jari ke bibirnya memberi isyarat agar Renata menghentikan ucapannya.

"Maafkan aku. Aku nggak akan bosan mengatakan ini padamu, tapi aku berharap kamu aku kembali ke rumah, Renata."

Ada kehangatan terasa dari kalimat yang diucapkan Jendra barusan. Dia mendengar kalimat tulus yang muncul dari dasar hati. Akan tetapi, dia tak ingin persangkaannya kembali menyudutkan dirinya.

"Aku butuh waktu, Mas. Lagipula ... Papa sudah tahu semuanya. Kalau Mas mau membawaku kembali, sebaiknya bicara ke Papa."

Jendra tersudut. Apa yang dikhawatirkan terjadi. Suka tidak suka dia pasti akan berhadapan dengan mertuanya. Dia tahu tentu tidak ada orang tua yang rela anaknya diperlakukan seperti yang pernah dia lakukan kepada Renata.

"Renata."

Perempuan di sebelahnya itu menoleh.

"Oke, aku terima apa pun yang kamu ingin lakukan padaku. Aku bersedia dan bisa memahami itu."

Hening. Di luar langit sudah berganti warna hitam. Lampu mulai memainkan perannya menerangi semesta. Renata masih bermain-main dengan perasaannya, pun demikian dengan Jendra. Dia ingin menceritakan hal yang terjadi sebenarnya kepada perempuan itu, tetapi dia khawatir Renata akan semakin membencinya.

"Aku capek, Mas, aku mau istirahat. Aku mau turun di sini!" Dia mengemas tas tangan lalu meminta Jendra membuka kunci pintu mobilnya.

"Oke dengarkan aku. Ada hal yang kamu harus tahu."

"Soal apa?"

Jendra terlihat hati-hati kali ini. Namun, akan lebih baik jika isterinya tahu soal yang sebenarnya dari mulutnya daripada dari orang lain.

"Kamu mau makan sesuatu atau minum yang segar?"

Tak menoleh, Renata mengedikkan bahu.

"Katakan saja apa yang kamu mau katakan!

"Ini akan butuh waktu lama dan ...."

"Terserah Mas aja!" potongnya.

Jendra menghela napas lega.

"Di depan ada kafe baru, aku pikir lebih baik kita ke sana!"

Mobil berjalan pelan hingga sampai di pelataran kafe. Seolah takut kehilangan momen, dia segera membuka pintu untuk Renata.

Jendra memilih meja di sudut yang agak terpisah dengan meja lainnya. Setelah memesan menu andalan kafe itu mereka sejenak saling diam.

"Katakan apa yang Mas mau bilang!"

"Kamu nggak mau menunggu makanan datang?"

Tak menjawab, Renata mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam tas.

[Renata! Seriusan kamu hamil? Kali di mana sekarang? Aku tadi ke rumah, tapi kata Bu Ida kamu keluar sejak pagi? Kamu benar hamil?]

Kedua sudut bibirnya tertarik membaca deret pertanyaan dari Karina.

[Iya, tapi please jangan bilang ke siapa pun ya!]

[Beres! Kamu sekarang di mana, Ren?]

[Masih di luar. Aku lagi makan.]

[Wuaahh, yang menikmati hidup sekarang! Eh kamu sendirian?]

Renata berhenti mengetik, maniknya bergerak menatap pria yang sejak tadi tanpa dia sadari tengah menatapnya. Seketika wajahnya memerah malu.

[Hei! Kenapa nggak dijawab? Hayoo! Kamu lagi sama siapa?] Kembali pesan masuk ke ponselnya.

Renata keluar dari aplikasi chatting saat pelayan membawa pesanan mereka. Kening Renata berkerut melihat pesanan Jendra. Ayam goreng crispy dengan saus pedas! Tentu itu bukan makanan favoritnya karena tidak ada sayur di sana.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Kok nggak makan sayur?" tanya Renata ragu menatap sang suami.

"Kenapa? Sesekali boleh, kan? Eum ... lagian nggak tahu kenapa belakangan ini aku jadi suka makanan seperti ini," jawabnya asal.

'Orang hamil itu kadang unik, Mbak. Kadang suami justru yang jadi aneh-aneh kesukaannya. Yang tadinya nggak suka apa malah jadi kebiasaan.' Ucapan Bu Ida beberapa waktu lalu kembali terngiang di telinganya.

Mengingat itu, Renata tak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Kenapa? Apa ada yang lucu? Atau kamu sedang meledekku?"

Gelagapan, Renata cepat menggeleng lalu mempersilakan Jendra makan. Mengedikkan bahu, pria itu mulai menikmati makanan yang terhidang.

Jika Jendra begitu lahap menikmati makanannya, tidak demikian dengan Renata. Makanan yang paling dia gemari sudah di depan mata, tetapi dia sama sekali tidak berselera. Namun, seperti tak ingin membuat Jendra lebih kecewa, dia mencoba menikmati hidangan itu meski tidak sampai habis.

"Kenapa nggak dihabiskan?"

"Nggak apa-apa, aku sudah kenyang minum jus ini," jawabnya seraya mengangkat segelas jus alpukat yang sudah tersisa sedikit.

Jendra mengangguk paham. Dianjuga terlihat kenyang dan mengeser piringnya ke samping.

"Jadi apa yang mau kamu katakan?" Renata meletakkan gelas jus ke sampingnya.

Setelah meneguk air putih, Jendra menarik napas dalam-dalam.

"Oke, aku mau cerita dari awal, dan kumohon jangan putus ceritaku sampai aku selesai." Pria itu menatap isterinya dengan tatapan memohon.

Renata mengangguk lalu menyangga dagu dengan tangan kanannya. Meski dengan perasaan bercampur aduk dan dipenuhi dengan keraguan dan rasa khawatir, akhirnya Jendra memulai kisahnya.

Perlahan cerita tentang malam itu versi Jendra mengalir tanpa jeda seperti yang diminta. Renata terlihat sangat shock mendengar penuturan Jendra. Meski begitu dia bertahan dengan janjinya untuk tidak menyela hingga Jendra selesai bercerita.

"Maafkan aku, sumpah demi apa pun, aku nggak tahu apa yang terjadi dan siapa yang ada bersamaku malam itu. Aku lupa, dan tidak bisa mengingat, aku hanya ...."

Jendra menghentikan ucapannya saat tangan Renata mendarat di pipinya. Beruntung mereka duduk di paling sudut sehingga tidak mengundang perhatian pengunjung kafe itu. Seolah tak puas dengan satu tamparan, Renata kembali melakukan hal yang sama ke pipi Jendra satu lagi.

Tak ada perlawanan atau ucapan kasar yang keluar dari mulut pria itu. Jendra hanya dia membiarkan apa yang dilakukan Renata terhadapnya. Bahkan seolah dia menunggu isterinya kembali menamparnya berkali-kali  hingga puas.

Renata sampai pada puncak amarah dan kecewa. Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak yang meradang. Mata indahnya berkilat seperti hendak menghancurkan pria yang terduduk lesu di depannya.

Di kepalanya muncul kembali rekam yang dia ingat tentang kejadian setahun silam, tidak jelas memang, karena dia juga dalam pengaruh minuman yang entah berisi apa.

Akan tetapi, sakitnya hati saat direndahkan oleh Sena dan banyak orang membuat kembali nuraninya terluka. Belum lagi ucapan suaminya sendiri yang menghakimi dirinya sedemikian rupa yang ternyata adalah pelaku malam itu. Semuanya terasa kembali mengoyak hatinya.

Marah! Cuma itu yang ada di kepala dan hatinya, tetapi ada di tempat paling sunyi di dirinya mengingatkan jika ada benih pria itu tengah tumbuh di rahimnya. Seolah diingatkan, perlahan emosinya mereda. Meski dia kemudian bangkit mengemas tasnya.

Dunia kadang sedrama itu, kita dipaksa untuk mempunyai dua perasaan sekaligus. Kita bisa meletakkan kebencian dengan selimut kasih sayang. Entahlah, terkadang sesekali memang kita dipaksa untuk menjadi munafik versi masing-masing.

"Renata kamu mau ke mana?" Jendra ikut bangkit setelah meletakkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah di meja.

Tak menyahut, Renata melangkah lebih cepat keluar dari kafe. Sementara Jendra terus mengikuti dan mencoba meraih lengan isterinya.

"Lepas!" sentaknya seraya menepis tangan sang suami lalu menjauh.

"Renata, please! Kamu mau ke mana? Aku antar," mohonnya dengan wajah memelas.

Tak peduli, perempuan di depannya itu terus berjalan cepat mendahuluinya. "Renata." Dia seolah tak putus asa menahannya.

"Lepasin!" sentaknya seraya membalikkan badan menghadap Jendra. "Kamu tahu? Terkadang aku berharap semua yang terjadi ini cuma mimpi! Dan kenyataan yang sekarang kuhadapi ini hanya cuplikan dari cerita yang kubuat! Tetapi ternyata aku salah! Ini kisahku! Kisah yang ingin kubuang jauh atau bahkan ingin kulenyapkan sampai ke akarnya!"

Jendra menarik napas dalam-dalam.

"Aku benci kamu, Mas! Kamu sudah membuat duniaku hitam! Kamu sudah membuat aku hampir mati karena putus asa!"

"Kamu tahu? Jika ditanya siapa orang yang paling aku benci saat ini, jawabnya adalah kamu! Paham?"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top