Intimate 2


Malam merangkak naik, Renata terlihat sudah begitu lelah. Ana yang mengetahui hal itu meminta agar mereka bermalam di rumahnya. Tentu saja hal itu sontak membuat mata Renata kembali cerah. Dia lalu menoleh ke sang suami berharap menemukan alasan yang tepat untuk menolak permintaan Ana.

"Renata, nggak apa-apa, kan kalau malam ini kamu istirahat di rumah Mama? Besok siang kita bikin menu makan siang yang enak! Gimana?" Ana terlihat antusias dan penuh harap.

Jendra membalas tatapan isterinya, dia seperti membiarkan perempuan itu yang menentukan jawabannya. Lagi-lagi di titik ini dia harus bisa mengangguk mengabulkan permintaan mertua perempuannya.

"Syukurlah! Mama seneng kamu bersedia bermalam di sini! Sekarang sebaiknya kamu istirahat. Oh iya, ada baju ganti untuk kamu yang sengaja Mama siapkan kalau sewaktu-waktu kamu harus bermalam di sini! Semuanya ada di lemari di kamar kalian!"

Renata mengangguk seraya bangkit dari duduk. Jendra mengajaknya naik ke lantai atas kamarnya. Semenjak menikah, dia memang tidak pernah menginap di kediaman sang mertua, karena Jendra langsung mengajaknya tinggal di rumah pribadinya.

Pertama kali menginjakkan kaki di kamar sang suami saat masih lajang tentu menjadi hal yang tidak biasa baginya. Kamar itu luas, ada ranjang king size. Warna wallpaper biru gelas dipadu dengan putih membuat sedikit terkesan misterius sekaligus nyaman.

Sebuah meja kerja berada di sudut kamar di sebelahnya ada lemari built-in besar yang sepertinya cukup banyak menampung barang. Sementara di dinding tergantung layar televisi LED yang cukup besar yang terletak berhadapan dengan ranjang, dan tentu saja aroma maskulin menyeruak di kamar ini.

"Kamu bisa ambil baju yang Mama bilang di lemari itu, dan ... kamar mandi ada di sebelah sini," tuturnya mengalihkan perhatian Renata dari figura besar yang menempel di dinding tepat di sebelah meja kerjanya.

Renata mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke Jendra.

"Aku mau ganti baju, bisa keluar sebentar?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan itu, Jendra tampak berpikir. Bukankah perempuan di depannya itu masih isterinya dan akan selalu seperti itu? Bukankah dia pernah melihat sisi paling rahasia yang ada di tubuh isterinya? Lalu kenapa sekarang Renata memintanya untuk keluar kamar?

"Mas? Bisa, kan?"

"Eum ... kamu bisa ganti baju di kamar mandi, kan? Nanti kalau Mama tanya gimana?" elaknya.

Renata menggeleng. "Nggak akan terjadi apa- jika Mama bertanya dan Mas menjawab tanpa membuat Mama curiga!"tegasnya.

"Oke, oke, aku keluar. Eum ... tapi boleh aku tanya sesuatu?"

Renata kembali mendongak menatap sang suami.

"Tanya apa?"

"Aku suamimu, kan?"

Tak menjawab, Renata menarik napas panjang.

"Setahuku, nggak apa-apa suami berada di kamar saat isterinya berganti pakaian, lagipula ...."

"Mas mau keluar, atau aku yang keluar?" putusnya.

Wajah pria itu sontak berubah sendu mendengar ucapan Renata. Dia kemudian mengangguk dan tersenyum

"Aku keluar. Setengah jam aku boleh kembali?" tanyanya seraya memiringkan kepala menatap sang isteri.

Renata hanya mengangguk lalu cepat memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari pindaian Jendra.

**

Hampir dua puluh lima menit Renata memandang deretan baju yang bergantung di lemari. Semua baju itu hampir memiliki potongan dan bahan yang serupa. Berbahan satin dengan potongan dada rendah dan tanpa lengan! Perempuan itu menarik napas dalam-dalam. Bagaimana mungkin dia memakai baju itu di kamar berdua dengan suaminya?

Membuang napas perlahan dari mulut, Renata menggigit bibirnya. Suami? Iya, bukankah tidak masalah? Seperti kata Jendra tadi? Memang bukan masalah, hanya saja Renata yang merasa canggung jika harus berpakaian seperti itu sementara hubungannya dengan Jendra masih belum bisa dikatakan baik.

Ketukan di pintu terdengar. Suara Jendra lirih memanggilnya. Khawatir jika nanti didengar oleh mertuanya, gegas dia membuka pintu kamar dan bergeser memberi akses pria itu untuk masuk.

Mata pria itu menyipit karena melihat Renata masih mengenakan bathrobe.

"Kenapa belum ganti baju?" tanyanya heran.

Sambil merapatkan bathrobe dia mengedikkan bahu.

"Bajunya ...." Renata memberi isyarat dengan mata agar suaminya melihat ke lemari.

Jendra mengikuti titah sang isteri, dia membuka lemari dan mengulum senyum. Pria itu kemudian menoleh menatap paras Renata yang memerah.

"Kamu nggak suka dengan bajunya?" tanya Jendra masih dengan mengulum senyum.

Jendra lalu menutup kembali lemari di depannya.

"Kalau nggak suka kita bisa keluar sebentar cari baju yang kamu mau, gimana?" Pria itu berjalan mendekat.

Renata mundur mencoba membuat jarak.

"Nggak perlu, aku bisa tidur pakai ini!" jawabnya menggeleng cepat sembari melipat kedua tangannya di dada.

Alis Jendra bertaut. Dia kembali tersenyum.

"Yakin mau tidur pakai itu?" tanyanya kembali dengan mata mengerling nakal.

Perempuan di depannya itu mengembuskan napas perlahan. Dia merasa Jendra sedang menikmati kekikukannya.

"Oke, sudah malam, kamu istirahat ya. Eum ... yakin mau tidur pakai bathrobe?"

Ditelisik sedemikian rupa oleh sang suami, Renata tersadar jika akan lebih mudah bagi Jendra jika ingin melakukan hal yang dia sendiri tak ingin membayangkan. Karena hanya sekali tarik maka bathrobe ini akan terbuka. Memikirkan hal itu Renata memejamkan mata seraya menggeleng cepat.

"Kenapa?"

"Nggak! Aku mau ganti baju!"

"Aku keluar kamar lagi?"

Renata menggeleng melewati Jendra seraya berkata, "Aku ganti di kamar mandi!"

Pria beralis tebal itu merapatkan bibirnya menahan tawa yang sebenarnya sejak tadi ingin pecah.

Jendra melepas kemeja dan menggantinya dengan kaus oblong putih, mengenakan celana pendek sebatas lutut, dia lalu merebah tubuh di sofa yang terletak di kamar itu. Tak lama Renata keluar, terlihat dia melangkah ragu dengan baju yang menurutnya akan sangat risi jika dikenakan di saat yang tidak tepat.

Perempuan itu menatap Jendra yang berbaring dengan ponsel di tangannya.

"Kamu butuh sesuatu lagi?" Pria itu bangkit saat melihat sang isteri keluar dari kamar. Matanya memindai dari ujung rambut hingga kaki. Bohong jika dia tidak ingin merengkuh dan memberi kehangatan pada perempuan yang berdiri dua meter di hadapannya. Kaki jenjang, kulit bersih, dengan rambut yang dicepol acak dan tentu saja baju yang begitu mengundang membuat Jendra harus berulang-ulang menelan salivanya.

Melihat tatapan mata Jendra yang seolah hendak melahapnya, Renata berdehem pelan.

"Oh sori, eum ... kalau nggak butuh apa-apa, kamu bisa langsung istirahat," ujarnya tersadar saat mendengar deheman Renata.

"Mas tidur di ...." Perempuan itu menggantung kalimatnya.

"Tidur di ranjang, kenapa?" potong Jendra. Samar terlihat ada seringai nakal di wajahnya.

Renata menarik napas dalam-dalam, hal ini sudah ada di otaknya sejak tadi. Suasana yang paling ingin dia hindari akhirnya terjadi. Jika saja dia bisa memilih, tentu saat ini dia akan tidur di kamar lain yang kosong. Akan tetapi, tentu saja hal itu sangat tidak mungkin terjadi.

"Kamu keberatan aku tidur di sampingmu?" tanya Jendra yang tiba-tiba tanpa dia sadari sudah berada dekat di sampingnya.

"Eum ... aku ... aku ...."

Tersenyum lebar, pria itu meraih lembut bahu isterinya.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," tuturnya seraya menggeleng. "Aku janji nggak ngapa-ngapain!" imbuhnya seraya mengangkat tangan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Serius!"

Jendra lalu menggeser tubuhnya sedikit menjauh membiarkan sang isteri melangkah. Dia sadar cinta itu penuh pemberian, bukan meminta untuk diberikan. Cinta itu penuh ketulusan, bukan penuh dengan paksaan. Dia sendiri masih meraba-raba seperti apa perasaan perempuan itu padanya meski samar sorot mata Renata telah menjawab pertanyaannya.

Menarik napas dalam-dalam, Renata mengangguk samar. Dia lalu berjalan menuju tempat tidur dan bergegas merebahkan diri.

Demikian pula dengan Jendra, tetapi pria itu memang harus bekerja keras menahan sesuatu yang sejak tadi ingin di perhatikan. Terlebih saat baju yang dikenakan isterinya itu sedikit tersingkap naik ketika merebahkan tubuhnya. Jendra menarik napas dalam-dalam lalu menyelimuti Renata.

"Memakai selimut akan menjagamu dari gangguanku. Selamat tidur, Sayang," bisiknya tepat di telinga Renata.

Perempuan itu tak bereaksi, dia hanya merapatkan matanya mencoba meredakan debar hati yang semakin tak beraturan.

**

Sudah berbatang-batang rokok dihabiskan Dea, di depannya masih ada satu botol minuman keras yang masih utuh sementara beberapa botol lainnya sudah terlihat kosong. Di sampingnya ada beberapa pasangan yang sudah teler dan ada pula yang beranjak tetatih menuju kamar. Di sampingnya ada pria yang juga tak kalah teler dari yang lainnya.

Setelah Sena mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya, Dea menjadi semakin gila. Di sisi lain pembalasannya terhadap Renata bisa dikatakan gagal, sementara keinginan untuk hidup bersama Sena juga hampir pupus karena pria itu terlihat sangat membencinya. Pria itu juga tengah mengurus perceraiannya. Bercerai dengan Sena adalah puncak kecewanya.

Dea mengembuskan asap rokok ke udara, dia kemudian menuang kembali gelasnya dengan minuman keras di depannya. Namun, satu tamparan di pipi membuat Dea mendongak.

"Pulang! Papamu sekarat!" Sena menarik kasar perempuan itu.

Dea menyeringai.

"Kamu jemput aku? Kamu merindukan aku, Sena?" tanyanya.

Tak menjawab, Sena terus menarik perempuan itu hingga keluar dari klub.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top