Intimate
Mengenakan baju terusan berwarna salem dengan rambut dibiarkan tergerai dan memoles tipis bibirnya dengan warna pink membuat tampilan Renata sangat menawan. Seperti yang sudah dijanjikan, Jendra akan datang menjemput sore itu.
Sebenarnya sang papa sudah mewanti-wanti agar dirinya tidak lagi bertemu Jendra, tetapi karena Renata memohon agar dia diizinkan untuk bertemu Ana karena mertuanya itu sedang sakit. Karena Romi tak ingin puterinya kecewa, akhirnya pria itu mengabulkan permohonan Renata meski dengan beberapa catatan.
"Mbak, Mas Jendra sudah datang," lapor Ida sembari mengetuk pintu kamar Renata.
Merapikan rambut kembali, kalau menyambar tas tangan, Renata membuka pintu.
"Saya berangkat dulu ya, Bu."
Ida mengangguk seraya tersenyum.
"Mbak cantik banget! Kata orang nih ya, aura ibu hamil itu sangat terpancar!" ungkapnya antusias.
"Tapi ...."
"Tapi kenapa, Bu?"
"Mbak Renata terlihat kurusan," jawabnya.
Nafsu makan Renata memang tidak baik semenjak kehamilannya. Dia hanya makan sehari sekali meski tak pernah lupa untuk mengonsumsi vitamin dari dokter.
"Kan saya udah makan buah-buahan juga, Bu. Kenyang!"
"Tapi Mbak itu butuh banyak asupan makanan, Mbak," timpalnya. "Nanti kalau baby-nya lahir kurang berat badannya kasihan, kan?"
Perempuan beraroma cherry itu mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, Bu. Nanti dicoba untuk makan teratur deh!"
Bibir Ida melebar, dia lalu mempersilakan Renata keluar. Renata melangkah menuju teras, langkahnya terhenti saat melihat Jendra tengah tersenyum menyambutnya dengan rangkaian bunga mawar merah. Sejenak dia hanya diam saat pria itu menyorongkan bunga indah itu ke arahnya.
"Untuk isteriku ...," ucapnya dengan senyum lebar.
Renata menerima kemudian mengucapkan terima kasih.
"Sebenarnya nggak perlu seperti ini setiap hari. Untuk apa?" protesnya. "Kalau menurut Mas itu akan mengubah pikiran Papa atau aku mungkin sulit!"
Jendra mengangguk paham kemudian dia menatap sang isteri.
"Sulit, kan? Itu artinya bisa dipecahkan, hanya sulit, dan aku yakin ada jalan keluarnya," tuturnya dengan kedua sudut bibir tertarik ke samping.
Menarik napas dalam-dalam, Renata melangkah menuju mobil yang pintunya sudah dibukakan sang suami.
"Mau ngapain?" tanya Renata ketus saat Jendra mendekatkan wajahnya.
"Sabuk pengaman," jawabnya dengan senyum. "Kebiasaan, kan?" imbuhnya. Renata menarik bibirnya singkat, beberapa bulan bersama, ternyata Jendra tidak lupa jika dirinya paling teledor untuk urusan seltbelt.
Kembali perempuan itu menarik napas dalam-dalam seolah mencoba menyembunyikan degub jantung yang tak beraturan. Aroma maskulin Jendra begitu memanjakan penciumannya. Aroma yang baru dia sadari ketika semuanya telah terungkap. Aroma pria yang malam itu telah membuatnya ternoda dan membuat hidupnya jauh dari kata baik-baik saja hingga saat ini.
Mobil meluncur menuju kediaman mertua Renata. Sudut mata Jendra tak henti-hentinya mencuri pandang ke samping. Penyesalan memang selalu datang belakangan, dan jika dia sadari hal itu dari awal tentulah nasib dia dan rumah tangganya tidak akan seperti ini. Entah kenapa, perubahan di tubuh Renata membuat dia sedikit khawatir. Perempuan yang dia cintai itu menurutnya sedikit lebih kurus.
"Kamu sehat, kan?"
"Sehat," sahutnya singkat.
Jendra menarik napas dalam-dalam.
"Kamu kurusan, Sayang."
Dipanggil sayang, sontak Renata membeku. Seluruh tubuhnya seperti bereaksi menghangat, tetapi ada sudut hati yang dingin seperti tersiram air es. Bercampur aduk!
Perempuan itu mengubah bersikap wajar meski dia seolah mendadak mati gaya saat itu.
"Maafin aku, Renata. Maafin aku. Aku tahu semua yang terjadi adalah karena aku. Aku mohon, tetap sehat, aku nggak bisa lihat kamu sakit atau ...."
"Aku nggak sakit! Aku baik-baik aja," tegasnya.
Pria berhidung mancung itu mengatupkan bibirnya kemudian mengangguk.
"Papamu tadi memintaku ke kantornya."
Mendengar ucapan suaminya tentang sang papa, dia memasang pendengaran dengan baik.
"Dia meminta aku untuk menandatangani surat perceraian," sambungnya melihat sekilas ke sang istri kemudian kembali menatap lurus ke depan.
Mendengar cerita Jendra tentang surat perceraian yang pernah diungkapkan papanya membuat sudut hatinya terasa nyeri. Aneh, kan? Perasaannya memang seaneh itu.
Ada ego yang memuncak yang ingin dia tunjukkan ke pria di sebelahnya, tetapi secara bersamaan ada hati yang melunak dan rapuh yang menginginkan Jendra mempertahankan hubungan mereka.
"Lalu?" tanyanya tanpa menatap.
Kedua sudut bibir suaminya tertarik. Sambil tersenyum dia mengedikkan bahu.
"Apa jika kita berpisah kamu bahagia?"
Deg! Kali ini pertanyaan Jendra sangat sulit untuk dijawab olehnya. Bahagiakah jika berpisah dengan Jendra? Setelah sekian masa bersama dan terbiasa dengan wajah dingin pria itu, bisakah dia bahagia? Dan dengan kehamilan yang tentu saja akan membutuhkan perhatian dari seorang pria yang kelak akan dipanggil papa oleh calon bayinya, apakah dia bisa bahagia tanpa Jendra?
Bisa! Tentu saja bisa. Karena dirinya dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Orang-orang yang selalu memberi support hingga dia bisa seperti saat ini. Akan tetapi, bagaimana dengan perasaan cinta yang Renata rasakan kian hari kian menguat? Apakah kembali dia akan merasakan betapa perihnya harus berpisah dengan pria yang dia cintai?
"Sayang? Melamun?" sapaan Jendra membuatnya menarik napas dalam-dalam.
"Sedih?" tanyanya lagi. Pria itu seperti bisa membaca kegalauan hatinya. Terlebih ada air yang menggenang di pelupuk yang tiba-tiba saja seperti ingin menunjukkan jika dirinya tidak ingin semua ini terjadi.
Jendra meraih jemari Renata, lalu menggenggam erat seperti ingin menegaskan jika dia tahu dan memahami apa yang dirasakan saat ini. Jujur, meski Renata bersikap tak acuh belakangan ini, tetapi dia justru semakin paham perasaan perempuan itu padanya.
"Kalau aku ... aku tidak akan pernah bahagia jika harus menandatangani surat itu. Aku sudah bilang berkali-kali padamu kalau aku nggak bisa, kan? Itu juga yang aku katakan ke papamu."
Mobil terus meluncur, mentari mulai menghilang pertanda hari akan gelap.
"Mungkin kamu berpikir selama ini aku pria yang gemar bermain-main di ranjang dengan banyak perempuan, iya, kan?" Pria itu menoleh saat Renata melepaskan jemari dari genggamannya.
"Nggak apa-apa. Pikiran itu wajar muncul karena memang banyak yang kenal aku siapa di masa itu."
Jendra berhenti saat lampu merah menyala.
"Tapi untuk tidur dan melakukan hal itu ... aku baru lakukan malam itu bersamamu," paparnya dengan mimik serius. "Aku mengatakan yang sejujurnya. Aku memang berengsek dan seperti pria berengsek lainnya yang senang menghabiskan malam dengan banyak wanita, tapi aku hanya ...."
"Cukup!" Renata mengangkat tangannya memberi isyarat agar pria di sebelahnya itu diam. "Aku nggak perlu mendengar dongengmu! Itu sama sekali tidak berpengaruh apa pun bagiku!"
Jendra mengusap tengkuknya kemudian menginjak gas dan mobil kembali berjalan.
"Aku mencintaimu, Renata. Aku siap melakukan apa pun asal jangan pernah meminta untuk pisah dariku." Pria itu menggeleng. "Aku nggak bisa!"
Renata membuang pandangannya ke luar jendela. Dibiarkannya air mata menetes membasahi pipi. Pengakuan Jendra bukannya membuat dia tenang, tetapi justru semakin mengaduk-aduk perasaannya.
"Andai kamu tahu sejak malam itu ... aku selalu ingin tahu siapa dia, tapi aku nggak tahu harus cari tahu ke mana dan ke siapa? Ranu? Kamu pasti kenal dia, kan? Ranu sama sekali tidak bisa kumintai penjelasan, lalu ... teman kamu itu ... Dea!" Jendra menggeleng. "Aku nggak bisa mendapatkan jawabannya juga sampai akhirnya aku curiga dengan mereka berdua."
Renata bergeming membiarkan pria di sebelahnya itu terus melanjutkan ucapannya.
"Tapi itu pun butuh bukti," imbuhnya kalau membuang napas perlahan.
"Maafkan aku. Aku memang egois, aku tahu sulit bagimu untuk bisa menerima maafku, tapi nggak apa-apa, asal kamu tidak memintaku untuk melepasmu, aku sudah bahagia."
"Aku tahu aku jauh dari kata sempurna. Aku buta selama ini, sehingga tidak menyadari jika ada seseorang yang dikirim Tuhan untuk menyempurnakan hidupku, dan itu kamu, Renata."
Mobil terus meluncur membelah jalan. Lampu jalanan sudah berpendar memberi cahaya menghias malam. Sama dengan hati Renata, meski masih samar, tetapi ada cahaya yang sinarnya cukup membuat nyaman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top