Bukan Bulan Madu 🔞🔞


Renata baru saja selesai membersihkan diri saat terdengar mobil berhenti. Tak ingin terlihat kacau di depan sang suami, cepat dia menukar bathrobe dengan baju rumahan sebatas lutut tanpa lengan berwarna biru gelap. Rambutnya dia biarkan tergerai begitu saja.

Senyum manis menyambut kedatangan Jendra. Pria itu sejenak menahan langkahnya melihat Renata sudah berada di depan pintu menyambut kedatangannya.

'Mungkin ini yang dimaksud Devan beda ada istri dan tidak ada,' tuturnya bermonolog.

"Kamu suka rumahnya?" Jendra bertanya sesaat setelah sang istri mencium punggung tangannya.

"Suka!" jawabnya sambil mengangguk.

"Syukurlah!" Jendra kemudian duduk di sofa yang berada di ruang tengah.

Rumah berkonsep minimalis itu terasa berbeda tatkala di setiap mejanya terdapat vas berisi bunga lily segar.

"Semoga kamu suka! Aku tadi memesan bunga-bunga itu untuk diletakkan di setiap meja, supaya ...."

"Aku suka! Jangan terlalu resmi menjelaskan. Aku nggak akan menghukummu karena itu," potongnya seraya melonggarkan dasinya.

Renata menghela napas lega.

"Mau aku bikinkan teh hangat?"

Jendra melirik ragu.

"Tenang aja. Kalau cuma teh hangat aku bisa, tapi kalau yang jus, sepertinya Mas harus bersabar," ujarnya seolah tahu apa yang ada di pikiran sang suami.

Jendra menaikkan alisnya kemudian mengangguk.

"Aku nggak suka teh manis!"

"Baik! Tanpa gula!"

Renata melangkah menuju dapur. Semenjak Jendra membuka ponselnya.

[Ngapain cari aku? Devan bilang kamu mau ketemu?]

Mata Jendra menyipit kemudian mengangguk.

[Ranu?]

[Selamat buat pernikahannya, Bro! Renata memang sudah jadi takdirmu!]

Lagi-lagi pria yang masih mengenakan kemeja kerja itu menyipitkan matanya.

[Takdirku?]

Pria bernama Ranu itu hanya mengirim emoticon tertawa. Sementara Jendra masih bertanya-tanya. Tak ingin kepalanya dipenuhi pertanyaan, dia mencoba menelepon Ranu.

"Tehnya, Mas!"

Suara sang istri menahannya. "Makasih!" Jendra meletakkan ponsel di meja.

"Mas mau makan sekarang atau mandi dulu?"

Tatapan Jendra kembali menyelidik.

"Kamu udah masak?"

Renata memamerkan dekikan di pipi seraya mengangguk samar.

"Cuma ayam goreng sih, nggih ada sayurnya," jawabnya lirih.

Jendra tertawa kecil kemudian menggeleng. "Nggak apa-apa!"

Mendengar jawaban Jendra, kening Renata mengernyit. Setahunya, Jendra tidak bisa makan jika tidak ada sayur.

"Kenapa lagi? Kenapa kamu selalu bengong?"

Senyum manis tercetak di bibir sang istri karena lagi-lagi dia kedapatan tengah memindai paras suaminya.

"Kata Bik Sundari ... Mas nggak bisa makan kalau ...."

"Nggak ada sayur?"

"Iya."

"Memang!"

"Lalu?"

"Kamu bisa pesan sayur di aplikasi, kan? Sementara aku mandi, kamu bisa selesaikan itu."

Tak menyangka jawaban suaminya seperti itu, tak urung akhirnya Renata mengangguk.

"Oke! Selesai masalah. Aku mandi dulu!"

Renata menarik napas dalam-dalam kemudian mengambil ponsel yang sejak tadi dia letakkan di meja. Tepat saat ponsel suaminya berdering.

Kening Renata berkerut saat melihat nama penelepon.

"Ranu? Sepertinya aku tahu nama itu!" gumamnya lirih dengan kening mengernyit. "Ck! Kenapa jadi mikirin nama itu?" Dia menggeleng cepat.

"Capcay! Pasti cocok dengan ayam goreng buatanku!"

Renata menarik bibirnya lebar setelah berhasil memesan sayur untuk makan malam perdana di kediaman Jendra.

**

"Mas, aku besok ke rumah Mama boleh?"

Jendra yang baru saja masuk ke kamar menoleh memindai sang istri yang tengah duduk bersandar di ranjang.

"Sama siapa?"

"Sendiri aja. Mas, kan kerja. Aku mau ambil laptopku dan ...."

"Biar diantar sopir!"

"Sopir? Tapi aku bisa bawa mobil sendiri."

"Itu mobilku, dan kamu belum tahu bagaimana cara bawa mobil itu!"

"Tapi sopir ...." Renata menghentikan kalimatnya karena dia tidak tahu sopir mana yang akan mengantarkan dia ke rumah orang tuanya.

"Aku bisa telepon sopir kantor untuk jemput kamu!"

"Bukannya nanti malah merepotkan?"

Jendra kembali memindai sang istri. Dia lalu melangkah mendekat.

"Memang merepotkan!"

Mendengar jawaban suaminya, Renata terlihat muram. Sementara Jendra justru tersenyum saat tahu istrinya kesal.

"Aku besok yang antar kamu. Jangan ngambek!"

Sontak mata Renata membulat mendengar ucapan Jendra. Spontan dia memeluk pria yang baru saja hendak merebahkan tubuhnya di kasur. Seraya mengucapkan terima kasih, Renata mengeratkan pelukannya. Mendapat perlakuan yang tak diduga, Jendra menahan napas.

"Ehem! Nggak usah modus kalau mau peluk, peluk aja!"

Sadar dirinya lepas kendali karena bahagia, secepat kilat Renata membuat jarak setelah melepaskan pelukannya.

"Kenapa dilepas?" ledeknya melirik sang istri.

"Nggak apa-apa! Maaf, aku lepas kendali."

Jendra sontak tertawa melihat ekspresi Renata yang serba salah.

"Kenapa emang kalau lepas kendali?" Dia menyeringai nakal. "Lepas kendali sama suami sendiri apa itu salah?" tanya Jendra mencoba membingkai wajah Renata.

Peristiwa di balkon villa kala itu kembali terjadi, tetapi kali ini ciuman lembut itu semakin menuntut. Hingga begitu saja tanpa disadari seluruh kancing baju Renata telah terlepas. Napas keduanya terdengar memburu.

"Kalau kamu belum siap, kamu bisa bilang sekarang," tuturnya dengan suara berat.

Renata bergeming, dia tak sanggup berkata-kata. Matanya memejam menahan erang yang disebabkan jari nakal suaminya. Keduanya larut dalam keintiman hingga mereka menyatu menikmati sucinya hubungan sebuah pernikahan.

**

Jendra menarik bibirnya singkat kemudian mengusap puncak kepala Renata.

"Morning!" sapanya lembut.

"Morning." Renata kemudian cepat menyembunyikan wajahnya ke dalam dekapan Jendra.

"Kenapa?" tanyanya meski tahu sang istri sedang malu.

"Bajuku ke mana? Kemarikan bajuku," pintanya masih dengan wajah menekuk.

"Lagian siapa yang semalam nantang?" ledeknya, "aku nggak tahu di mana bajumu. Mungkin di lantai."

Renata menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Sudah pagi, kan? Kenapa Mas belum siap-siap?"

Kedua alis Jendra bertaut. Sambil tertawa kecil dia berkata, "Bagaimana aku bisa bangkit kalau lenganku sudah beralih fungsi jadi bantalmu?"

Sontak Renata mengangkat kepala dan memberi isyarat agar sang suami menarik lengannya.

"Maaf," tuturnya lirih. "Aku sudah menyita waktumu," imbuhnya.

Bukannya menarik lengan, Jendra justru menahan sang istri untuk menjauh. Dia kembali merengkuh dan membenamkan tubuh ramping istrinya ke dalam dekapan.

"Kamu tahu, Renata? Kadang aku nggak percaya punya istri sepolos kamu."

Renata bergeming. Dadanya berdegup kencang menunggu ucapan selanjutnya dari sang suami.

"Yang aku tahu, perempuan sepertimu di luar sana sudah tidak canggung lagi di ranjang bersama pria."

Mendadak Renata merasa kerongkongannya kering. Ketakutan kembali merajai hatinya. Dia semakin yakin jika pria yang tengah mendekapnya itu belum mengetahui apa yang pernah terjadi padanya.

"Mas."

"Ya?"

"Mas yakin nggak mau ke kamar mandi?" tanyanya berharap sang suami melepas rengkuhannya.

"Kamu mau ke kamar mandi?" Dia balik bertanya.

Satu anggukan dari Renata menciptakan senyum di bibir Jendra. Pria itu merapatkan selimut ke dada sang istri.

"Kamu bisa membungkus tubuhmu dengan ini," ujarnya.

Seolah tahu apa yang dipikirkan istrinya, Jendra menaikkan alisnya seraya tersenyum.

"Jangan khawatir, aku bisa secepat kilat mengambil celanaku! Dan aku nggak perlu malu padamu."

**

Dea membeliak mendengar penuturan Ranu. Perempuan yang ulang tahunnya menyebabkan Renata hancur itu kini semakin kesal.

"Sepertinya rencanamu untuk dia nggak seperti yang kamu inginkan!" ujar Ranu terkekeh.

"Nggak! Aku nggak bisa membiarkan ini terjadi!" tukasnya dengan wajah meradang.

"Teman kamu si ...."

"Jendra? Kenapa?"

"Iya, dia harus tahu siapa istrinya itu!"

Ranu mengusap wajahnya lalu kembali tertawa.

"Mau apa lagi? Sena sudah berhasil kamu rebut dari Renata, kan?"

Dea bergeming.

"Dia nggak boleh bahagia! Dia harus tersiksa! Karena hanya dengan itu aku bisa membalaskan sakit hati orang tuaku kepada keluarganya!"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top